Berjalan Menuju Kiblat
Saya membaca Tajuk berjudul “Allah Pusat Simpul Maiyah” dengan pertanyaan dan kepayahan mencerna di sana-sini. Awalnya saya meraba melalui Google yang berujung nestapa. Tadinya berniat untuk memaparkan tiap poin istilah digeser menuju murni tadabbur saya atas wacana yang ada. “Sampaikan yang kamu pahami, bukan yang belum kamu lakoni” saya jadikan pegangan. Semoga saya tidak “salah terkam” dengan maksud Mbah Nun dalam tajuk itu.
Kali pertama saya membaca, memilih langsung mengacuhkan sebab tengah dalam situasi harus berkonsentrasi tinggi. Setelah ada momen tenang beberapa hari kemudian, saya sempatkan membaca lagi. Pertama membaca, mumet. Tidak menyerah, saya coba mengklasifikasian jenis tulisan Mbah Nun ke dalam puisi, setidaknya pidato dengan intonasi khas beliau. Klop. Saya temukan irama di dalamnya.
Setelah menulis dengan anggapan bahwa tiap istilah itu adalah anak tangga, tiba-tiba muncul keraguan. Bagaimana jika itu bukan tahapan melainkan sesuatu yang saling menyertai satu sama lain seperti perbekalan untuk perjalanan panjang? Ndil-Allah diperjalankan bersua Gus Aniq di acara ngaji kitab rutin yang digelar RKSS. Meski telat sebab kehadiran beberapa kawan di rumah menjelang keberangkatan, akhirnya murni konsultasi. Jadilah tujuannya diganti, dari yang tadinya bertingkat menjadi wilayah yang setara.
Dalam tajuk itu Mbah Nun menyebut Maiyah sebagai cermin tidak pandang bulu, yang sejati akan terlihat tanpa dimintai. Jujur, tidak seperti cermin sihir dalam dongeng Cinderella. Meski kejujuran itu sendiri kadang ambil posisi dengan menyembunyikan pendapat pribadi. Bukan berbohong, melainkan jika ia ditampilkan akan berbuntut panjang. Ini salah satu alasan saya menapaki jalan anti-mainstream bernama Maiyah.
Jika pada awal saya ikut Maiyahan untuk mencari “second opinion” dari berbagai isu kekinian, beberapa tahun setelahnya justru untuk introspeksi diri. Efeknya tak sebatas pada saya sebagai individu, perlahan bertambah sebagai anggota keluarga, sebagai teman, dan bagian dari lingkungan. Pertanyaan berbasis kesadaran dimunculkan untuk tetap “waras” di tengah zaman konyol yang dimunculkan cermin Maiyah. Terkesan ciri khas pemikir, walau pada kenyataannya setiap manusia terbiasa dengan pengambilan keputusan berdasarkan banyak pertimbangan. Entah untuk beli rokok, pakai kuota data, sampai registrasi SIM-Card butuh pemikiran.
Tetapkan Tujuan dan Rencanakan
Kanjeng Nabi “bercemin” di Gua Hira berpuluh tahun sebelum akhirnya disapa “bacalah”. Dalam proses membaca diri yang serupa Nabi Ibrahim mencari Tuhan itu, tiap pertanyaan menuntut jawaban. Dimulai dari apakah Allah masih menjadi patokan kesadaran, tujuan hidup, sampai tali hidayah-Nya masih mengikat kita menuju Dia. Inilah karakter “Ahsanu Taqwim”, bekal pertama yang harus dibawa menuju Gusti Allah melalui jalan Maiyah. Di sini kita harus tahu tujuan sebelum lakukan perjalanan.
Sesudah mencari Gusti Allah dalam kehidupan batin, remeh-temeh duniawi diinterogasi. Dimulai dari sumber penghasilan untuk menghidupi sehari-hari, apakah juga untuk memperjuangkan hak orang lain atau murni ambisi pribadi? Ditelusuri apakah bisa menyikapi dunia dengan “batas Allahumma Tekno, Allahumma Tuhno“. Pas membutuhkan ada, ketika sebatas keinginan kebetulan tidak ada. Inilah karakter pembelajar, “Muta’allimul Maiyah” yang harus ikut serta ke manapun diri pergi. Inilah tahapan merancang rencana menuju tujuan.
Dunia memang tidak wajib ditalak tiga seperti langkah ekstrem Sayyidina Ali, Putra Pak Abu Thalib. Hidup berkecukupan bahkan berkelimpahan seperti Sayyidina Ustman Putra Pak Affan juga sah saja. Batasan “halal-haram”-nya bukan pada tumpukan harta melainkan dilihat dari hati ketika menyikapi.
Menantu Kanjeng Nabi yang super malu pada Gusti Allah sampai mandi saja tidak berani menanggalkan pakaian itu, bisa perlakukan materi dunia untuk akhirat. Suami Sayyidatina Fatimah itu bisa kuat prihatin dan tetap bahagia dalam sabar dan syukur meski pekerjaannya serabutan. Mereka tidak lupa pada alasan dan tujuan hidup.
Penjelasan Gus Aniq untuk poin ini adalah “ngilmuni dulu, baru lakoni”. Kaitan ini sebagai ilmuan. Sayyidina Ali bersudut pandang ilmuan sedangkan Sayyidina Ustman selaku dagang. Setali tiga uang dengan konsep kasta di masyarakat Hindu. “Satria pinandito” harus ada. Imam Hanafi adalah ahli dagang yang ahli fikih. Maka tak heran jika beliau paling disiplin soal hukum dagang atau muamalah. Imam Syafi’i sangat menonjol soal ibadah. Mbah Sahal juga seorang faqih yang jago berjualan. Punya banyak kebun di banyak tempat seperti Abu Hasan Syadzali. Warga negeri Maiyah sudah semestinya ahli di bidangnya di dunia dengan tidak lupa pada Allah dan Kanjeng Nabi.
Lepas Landas Menuju Jalanan
“Tatag” didapat ketika sudah rampung soal niat dan tujuan. Tidak ada lagi keraguan tentang hal pokok. Berani sesumbar “pantang pulang sebelum paham”. Sembari berlatih merendahkan hati saat dikritik, diberi saran, mengakui kekhilafan, dan langsung mengejek diri jika merasa hebat. Berani begitu karena hanya Gusti Allah tujuannya. Tiap peristiwa dimaknai sebagai cara Dia mengajari ilmu. Inilah “Salikul Maiyah”, hasil yang tampak dari dua bekal sebelumnya.