CakNun.com

Bergembira dalam Keseimbangan Atmosfer Basyiiran dan Nadziiran

Reportase Majelis Maiyah Padhangmbulan, 25 September 2018
Achmad Saifullah Syahid
Waktu baca ± 5 menit

Bagaimana dengan tadabbur dan tadzakkur? Tadabbur adalah upaya pemaknaan atas segala sesuatu. “Jangan terburu-buru menyatakan sesuatu itu baik atau buruk,” saran Mbah Nun. “Semua bergantung pada bagaimana upayamu memaknainya.”

Tadzakkur yang asal katanya adalah dzikr atau ingat disimulasikan Mbah Nun secara gamblang. “Kalau kamu melihat nasi, ingat pula beras. Kalau kamu ingat beras, ingat pula padi,” jelas Mbah Nun. Maka dzikr sebagai laku berpikir akan mengantarkan kita ingat kepada Allah Swt.

“Sindiran” yang disampaikan Allah dalam bentuk pertanyaan negatif (istifham inkari) itu ditujukan kepada siapa? Siapa subjek atau pelaku dari afalaa ta’qiluun, afalaa tatafakkaruun dan afalaa tatadabbarun? Subjeknya adalah manusia yang telah diberi akal.

“Jadi, di Padhangmbulan–yang terserah mau disebut sebagai pengajian, pembelajaran, sinau–siapa pelaku yang berpikir itu?” tanya Mbah Nun. Atau kalau menggunakan gaya istifham inkary (pertanyaan negatif) seperti dalam Al Quran, modifikasinya adalah “Tidakkah jamaah juga ikut berpikir, bertadabbur dan berdzikir?”

Pertanyaan tersebut cukup kontras dengan fakta pengajian, ceramah, kuliah umum manakala yang “wajib” berpikir adalah penceramah, mubaligh, dosen. Sedangkan jamaah atau hadirin cukup menjadi mustami’in atau pendengar.

Mbah Nun kembali menegaskan bahwa yang kita kerjakan adalah pemaknaan atas segala sesuatu–sebagaimana tahapan itu adalah bagian dari proses Ta’dib. Untuk itu, kita sama-sama aktif mencari dan menemukan pemaknaan-pemaknaan baru.

Malam itu pengajian Padhangmbulan tak henti membuka kesadaran agar kita tidak pasif mendengar dan menelan mentah-mentah apa yang disampaikan “narasumber”. Hingga di atas panggung ada empat belas jamaah yang siap merespon dalam bentuk pertanyaan, cerita atau berbagi pengalaman.

Satu hal yang malam itu tidak berubah: raut wajah mereka tampak bergembira. “Seandainya malam ini apa yang kita lakukan tidak ada muatan ilmunya sama sekali,” tutur Mbah Nun, “Setidaknya Anda semua sudah bergembira. Dan semoga Allah juga senang dengan kegembiraan kita.”

Kalimat Beliau tentu tidak cukup dipahami secara “perabot” apalagi “garis”. Diperlukan kesadaran “ruang” untuk menampung dan mengerti. Dan malam ini kita semua belajar memproses diri menjadi manusia ruang tanpa harus kehilangan kegembiraan, karena Islam dihadirkan bukan hanya sebagai nadziiran tetapi juga sebagai basyiiran.[]

Lainnya

Exit mobile version