Bercinta di Kampus, Sementara NKRI Defisit Cinta dan Surplus Kecemasan
Oh jadi saya mulai mengerti bahwa Mbak kemarin jadi redaktur dadakan di Desa Sariharjo ternyata juga ikut pada Sianu Bareng di gedung PKKH UGM pada malam 5 Novemer 2018 M ini. Mbak Saidah ini (di)naik(kan) ke panggung lagi saat sesi workshop digelar. Tampaknya beliau memang langganan. Sudah dua kali menjadi bahan bintang panggung. Mungkin kalau sampai jadi tiga kali, kita perlu memikirkan kemungkinan caknun.com punya edisi khusus Mbak Saidah. Tentu saja ide ini tidak diniatkan untuk menjadi terlaksana.
Melacak seseorang di media sosial cukup mudah, dengan segera saya dapat nomer WA Mbak Saidah, nama akun IG-nya dan menjadi salah seorang followers-nya. Kalau istri saya baca reportase ini, tolong jangan salah paham. Pada malam Sinau Bareng ini digelar, istri saya sedang merayakan ulang tahunnya sendiri. Karena suaminya lupa ulang tahun istrinya, dia pergi nonton film Bohemian Raphsody yang sedang tayang di bioskop. Film tentang band QUEEN itu lho. Reportase ini ditulis pukul 15.00 WIB pada keesokan hari setelah Sinau Bareng di PKKH UGM digelar dan dari story IG kita bisa tahu bahwa 9 jam yang lalu beliau (Mbak Saidah, bukan istri saya) sedang berada di stasiun kereta, Tugu mungkin. Pertanyaannya, ke manakah Mbak Saidah hari ini? Ini pertanyaan yang tidak penting-penting amat dijawab kecuali pembaca yang budiman memang punya perhatian khusus pada mbak pejalan-juang Sinau Bareng satu ini.
Kita membuka bahasan dari sini, untuk kita sambungkan pada pengantar awal dari Mbah Nun mengenai fenomena generasi zaman now. Mereka, menurut Mbah Nun, kebanyakan punya banyak teman di media sosial tapi justru jarang bergaul dengan tatap muka. Jadi kita bisa ajukan pertanyaan dari sini, apakah memang kehendak zamannya demikian? Apakah kita hanya sedang kaget pada zaman baru yang sedang membuka? Atau memang ada sesuatu yang bisa kita lakukan untuk menahan laju efek negatif dari hal-hal semacam ini? Apa saja efek negatifnya?
Tahun 1869 Terusan Suez (Qana al-Suways) dibuka, jalur pelayaran baru ini membuat durasi perjalanan laut yang dulunya mesti mengitari Afrika bisa memotong jalur sehingga waktu perjalanan lebih singkat. Beberapa orang mengeluhkan juga bahwa surat antar negara yang bisa sampai dalam waktu hanya dua minggu dirasa menjadi kurang menarik. Kabar dari Eropa bisa langsung terdengar ke Asia dalam waktu kurang lebih satu-dua bulan. Itu dulunya adalah revolusi informasi yang radikal, tapi sekarang? Menanti kabar selama satu sampai dua minggu itu rasanya seperti membeku dalam penantian abadi. Puitis sekali bukan?
Lonjakan revolusi informasi menurut juga pada kecepatan lajunya, dari membukanya terusan Suez, butuh beberapa dekade hingga jalur telegram, kemudian telepon, masih butuh beberapa dekade dari telepon kemudian televisi, komputer. Tiba-tiba semuanya melaju, lonjakan-lonjakan tidak lagi terjadi dalam dekade. Hitungan tahun, bulan, hari, jam hingga sekarang ini. Kita hidup pada masa di mana kejadian di belahan dunia manapun bisa kita ketahui dalam hitungan jam bahkan menit, begitu Donald Trump mengumumkan sesuatu via akun Twitter resmi kepresidenan US, notifikasi di hape kita bisa langsung memberi kabar.
Ada satu reportase Sinau Bareng yang saya tulis sambil menyaksikan terjadinya penggulingan kekuasaan di Zimbabwe langsung, sampai ketika reportasenya terbit juga saya masih sambil memperhatikan naiknya Presiden Mugabe di negeri yang saya kenal juga tidak di sana itu. Isi kepala kita sudah berjejal-jejal sekarang ini. Kita jadi seperti Saddam Husein yang konon, bisa mengatur strategi pada Perang Teluk hanya dari informasi yang didapatnya melalui siaran langsung CNN. Untung Saddam Husein belum kenal Facebook dan Twitter.
Kabar-kabar berseliweran, kita tak tahu arah dan juntrungannya. Banjir bandang informasi yang tak kunjung terolah dengan matang membuat kita limbung, kadang kurang seimbang mempresisikan mana yang urgen mana yang tidak begitu penting, mana yang tidak perlu dicemaskan dan mana yang wajib diwaspadai. “Saya minta anda siap berpikir. Kita sekarang pada kondisi dimana ada pertengkaran, lantas lupa karena ada pertengkaran yang baru,” begitu Mbah Nun menyapa.
Dalam waktu yang baru saja satu bulan berlalu ini, kita sudah mengalami beberapa jenis pertengkaran yang tidak naik mutu. Masih segar dalam ingatan kita soal kasus pembakaran bendera, sekarang sudah persolan “tampang Boyolali”. Anehnya, semua itu jadi bahan bakar untuk bertengkar terus, dari bahasa paling sindir halus kromo sampai yang jelas-jelas mengibarkan narasi pemusnahan. Ini adalah masa di mana pertikaian ndak mutu-mutu amat, tapi dibahas seolah layak diomongkan.