CakNun.com

Bercinta di Kampus, Sementara NKRI Defisit Cinta dan Surplus Kecemasan

Sinau Bareng CNKK “Risalah Cinta untuk Pemuda”, PKKH UGM, 5 November 2018
Muhammad Zuriat Fadil
Waktu baca ± 12 menit

Kita berhadapan dengan klasifikasi beku yang semana-mena dan puncaknya adalah saling bertubrukan bertabrakan dan saling mengenyahkan. Cinta yang tidak membumi, sekedar syair-syair sufi dengan kelihaian kalimat-kalimat ilahi lama-lama juga bisa dikendarai oleh kebencian. Cinta menjadi alasan pemusnahan, apa itu bukan masalah? Di majelis Sinau Bareng, kita lepaskan dulu. Kita tarik jarak dari dunia dan sudut pandangnya, kita coba tarik nafas kemesraan dan menghembuskan tawa setinggi langit. Yah, bikin reportase mengenai malam yang penuh cinta entah kenapa membuat saya jadi lebih puitis dari biasanya, saya perlu menahan diri untuk tidak terlalu romantis menuliskan ini.

Di Jakarta, pusat kecarut-marutan politik nasional itu, menurut Mbah Nun orang saling mempertentangkan klasifikasinya yang, kalau boleh kita bilang: delusif. Semua soal stigma, bahwa FPI dan HTI itu anti Pancasila, PDIP dikesankan PKI komunis dan seterusnya dan seterusnya terus saja berantem bila tak ada cinta. “Tapi di bawah, hal-hal semacam itu tidak terjadi,” ujar Mbah Nun. Entah kenapa kalimat sederhana ini disambut tepuk tangan meriah dari seantero arah para hadirin. Mungkin ribuan pasang mata dan telinga, nyawa dan jiwa malam itu merasa terwakili dengan kalimat itu. Kalimat yang sederhana saja, tapi bobotnya penuh pemahaman cinta.

Lantas di mana persambungan cinta dengan hukum? Hukum adalah jurusan adik-adik kita yang menyelenggarakan Sinau Bareng malam ini. Bila terlalu jauh dia ada di langit-langit cakrawala, bisa-bisa cinta tak punya aplikasi apa-apa di bumi. Dan kehilangan sisi aplikatif adalah bencana bagi kemesraan dan keilmuan. Betapa banyak syair cinta yang tidak ada fungsi riilnya dalam hidup kita? Betapa banyak penutur yang mengudar ceramah tanpa keberfungsian dalam ekosospolbud kita sehari-hari? Bencana ilmu dimulai dari situ.

Hukum ada pada tataran paling rendah menurut Mbah Nun. Keadilan adalah tujuannya. Hukum hanya salah satu alat untuk menuju keadilan. “Anda tidak nyolong, tidak membunuh, tidak melukai harga diri orang kan tidak butuh hapal pasal-pasalnya,” kata Mbah Nun. Hukum ada pada tataran paling rendah dan di atasnya ada moral, akhlak dan banyak hal lagi hingga pada cakrawala cinta. Keadilan adalah tujuan jangka pendek, agak menengah kesejahteraan dan lebih jauh lagi yang perlu kita jangkau adalah surga cinta itu sendiri. Tapi tentu, menyadari bahwa hukum berada pada tataran terendah bukan berarti kita harus merendahkan.

“Justru hukum ditegakkan, sebagai landasan cinta pada pelanggar hukum.” Kita mencintai sang koruptor, para penserakah kehidupan, para pembakar provokasi, menyayangi para penggusur hak hidup para jelata dengan cara mengaplikasikan hukum secara benar pada dirinya. Tapi hukum sedang tidak berjalan dengan ideal? Di situ cinta perlu radikal!

Kalau hukumnya ideal, mungkin dia bisa melihat bahwa sesengit-sengitnya persaingan antar capres, toh dua-duanya sama-sama berniat baik untuk bangsanya. Bila hukum itu ideal, dia mestinya bisa mengakomodir agar dua pasang aduhai yang sedang sengit kadang akting mesra itu untuk menjabat saja semuanya.

“Bahwa itu melanggar konstitusi? Ya ubah konstitusinya! Konstitusi kok dibiarkan berjalan ke arah yang menghancurkan kita semua?” kalimat Mbah Nun ini memang saya tulis dengan diakhiri dengan tanda tanya, tapi bukan jawaban kata-kata yang muncul. Namun, sekali lagi, gemuruh tepuk tangan tak sudah-sudah menyambut tanya itu. Mbah Nun melanjutkan bahwa kita sering tertukar dalam banyak hal.

Soalan yang mestinya bisa diubah kita pasti-pastikan dan bekukan, sedangkan hal yang mestinya kita sudah pasti malah kita ubah-ubah. “Apa yang harusnya bukan jadi persoalan malah rame, tapi yang semestinya bisa dipersoalkan malah tenang-tenang saja.” Banyak sekali persolan yang kita hadapi tidak muncul ke permukaan. Barusan terjadi kecelakaan pesawat Lion Air, dan hampir tak terdengar tuntutan untuk mengaudit atau mengevaluasi kelayakan izin perusahaan yang bersangkutan. Ketika beberapa waktu lalu terjadi penipuan jamaah umroh, tak ada terdengar tuntuan agar pemerintah mengevaluasi pengawasan modal usaha dan lalu lintasnya. Warga medsos cukup senang dengan bisa menghujat-hujat pelakunya sambil menanti siapa yang selanjutnya enak buat di-bully. Seorang wartawan Arab dibunuh kita cukup berkesimpulan karena pemerintahan Saudi memang kejam. Defisit cinta rupanya persoalannya real, presisi pandang kita tidak imbang dan pembacaan gejala persoalan kita selalu berat sebelah.

Lainnya

Exit mobile version