Bercinta di Kampus, Sementara NKRI Defisit Cinta dan Surplus Kecemasan
Kita juga boleh sebenarnya sesekali bertanya, kapankah ada demokrasi yang diputuskan untuk dipakai dalam satu sistem negara, dengan memakai metode yang demokratis? Artinya tanpa kelas-kelas elite yang menentukan bahwa sistem inilah yang perlu dipakai? Bahasa sederhananya, pernahkah ada pemilihan umum untuk memilih sistem? Atau bisakah suatu masyarakat justru sangat demokratis, tanpa mengenal istilah demokrasi itu?
Demokrasi sudah lahir, walau masih sangat tradisional, di Yunani jauh sebelum Muhammad Saw bersama-sama (dan bersama di sini bukan basa-basi, betul-betul bersama) masyarakat Madinah merumuskan Piagam Madinah. Bahwa Piagam Madinah sangat demokratis tanpa menggunakan istilah demokrasi. Jangan dipikir karena istilah itu tidak pernah terdengar sekalipun mungkin sayup-sayup oleh Sang Rasul pembawa Risalah Cinta Saw. Muhammad Saw memilih tidak memakai istilah itu, tidak mengarabkan demokrasi juga tidak selalu mengambil posisi elite mriyayeni yang harus dipatuhi. Bahkan Muhammad Saw tidak lantas mengangkat murid, semua disapa sebagai sahabat. Semua hubungannya cinta tanpa tangga-tangga pengkastaan yang padat. Bagaimana kita?
Dari cinta kita bisa memandang dengan keluasan. Keluasan itu membuat kita tidak terkungkung pada penjara-penjara istilah yang mengungkung. Mbah Nun, nampaknya sedikit bereksperimen, dan saya melihat keliaran eksperimental ijtihadi yang sangat sastra dalam diri beliau, ini bukan membungkus kekaguman dan ghuluw. Semoga kita terhindar dari menghinakan beliau dengan mengkultuskan. Hanya kalau bisa saya ingin mengajak pembaca yang budiman untuk belajar dari hal-hal semacam ini dari diri Mbah Nun.
“Siapa di antara anda yang liberal?” sepi tak ada tanggapaan dari hadirin yang di dalam gedung, sebenarnya di luar, di sisi sebelah kanan panggung ada seorang pemuda yang mengacungkan tangan. Mbah Nun melanjutkan, “Siapa di antara anda yang radikal?” Eh rupanya pemuda itu mengacungkan tangan lagi dan begitupun setelah dilanjutkan, “Siapa yang ekstrimis? Yang fundamentalis? Tradisionalis? Moderat?” Pemuda itu mengacungkan tangan terus, jadi kalau dibaca dalam peta akademis, dia mestinya masuk dalam golongan: liberal sekaligus radikal, sekaligus ekstremis, sekaligus fundamentalis yang sedang berada pada majelis Sinau Bareng, yang lantunan shalawatnya beberapa justru lekat dengan kesan tradisionalis.
Kesimpulannya, kita sulit menjawab hal semacam itu. Karena itu istilah yang dbuat oleh para akademisi untuk memudahkan pemetaan pembacaan penelitian saja. Semua akademisi tahu betapa terbatasnya pembacaan pola dengan pengistilahan semacam ini. Bahwa dia tetap dipakai dalam pembahasan ilmiah memang karena begitulah kita punya keterbatasan bahasa. Yang gawat adalah ketika dia dianut tanpa lambaran keluasan dalam diri, seolah sudah pasti begitu itu.
Mbah Nun merangkum dalam kalimat singkat, “Wajar kalau tidak bisa menjawab, karena istilah itu tidak tepat-tepat amat menggambarkan diri kita”. Mana ada klasifikasi Islam liberal? Jihadis? Islam moderat? Islam ramah vs Islam marah? Islam sejuk dan Islam panas? Lho? Apa itu begitu? Semua orang punya potensi itu tergantung kondisi, pra kondisi dan konteks maqom pijak ruang-waktunya. Dengan bercinta, kita menolak menjadi manusia setengah-setengah, apalagi seperempat, seperlima, seperenam, seper… Yah seperti yang berantem-berantem di sana itu.
Kita bercinta agar kita lebih jangkep, lebih komplit sebagai makhluk-Nya. Syarat bercinta secara kodrati adalah dengan yang berbeda jenis tapi satu spesies, kenapa? Karena itulah nanti evolusi terjadi, proses menuju perbaikan demi perbaikan makhluk hidup, dari generasi ke generasi melantunlah itu risalah cinta. Kalau reproduksi hanya sama yang seragam itu bukan bercinta. Itu makhluk bersel tunggal, proses evolusinya mandek. Sudah cukup jadi jomblo, tak perlu jadi amuba.
Sekarang, kalau ada wacana yang berkembang untuk berjihad melawan Wahabi, lantas siapa yang jihadis dong? Itu kita belum masuk soal setuju atau tidak, karena rasanya pada kesadaran Maiyah, pada berbagai elaborasi, kita tidak pernah memusuhi Wahabi. Yang kita lawan adalah kebodohan, kedangkalan, kekurangjangkepan yang melahirkan hal semacam Wahabi. Jadi kalau untuk melawan Wahabi lantas kita memakai kebodohan dan kekonyolan serupa, kepatuhan tanpa syarat pada komando agamawan, kembali jadi massa tanpa kesadaran jam’iyah, rasanya kita juga kurang sudi. Perang kita berlangsung hebat dalam diri masing-masing, di Sinau Bareng kita kendorkan sedikit syaraf dan perbarui amunisi-amunisi perang kita. Perang menghadapi siapa? Ya menghadapi diri sendiri, eling ben waspada.