CakNun.com

Bercinta di Kampus, Sementara NKRI Defisit Cinta dan Surplus Kecemasan

Sinau Bareng CNKK “Risalah Cinta untuk Pemuda”, PKKH UGM, 5 November 2018
Muhammad Zuriat Fadil
Waktu baca ± 12 menit

Kita di Sinau Bareng saja, NKRI tampaknya defisit cinta dan surplus kecemasan. Sebelumnya juga Mbah Nun memberi apresiasi tajuk acara yang dipilih oleh panitia “Risalah Cinta Untuk Pemuda”. Risalah, kabar. Bukankah kabar-kabar itu yang sedang mengepung kita, dari beranda media sosial, running text di tivi, di layar smartphone dan berbagai hal lainnya. Tapi kabar, mereka, pemuda-pemuda ini, mereka memilih kabar risalah cinta. Seberapa urgencinta pada masa ini? Seberapa sering intensitas percintaan para pemuda ini?

Pemuda yang saya maksud adalah mahasiswa-mahasiswi Keluarga Muslim Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada yang disingkat, KMFH UGM. Ada urusan apa cinta dibawa-bawa ke hukum? Dan ada urusan apa hukum mengundang cinta? Ada hubungan apa di antara mereka berdua? Apakah memang perlu percintaan di kampus?

Elaborasi cinta dengan metode percintaan Sinau Bareng membawa kita pada olah pikir dan rasa, menemukan makna-makna dan aktif memaknai bukan melulu dicekoki makna dari pengunyah sebelumnya. “Why don’t we give love one more change?” kata lagunya Queen yang duet dengan David Bowie, salah satu duet paling pas sepanjang sejarah mungkin. Istri saya yang baru saja habis nonton filmnya di bioskop akhirnya datang juga. Tak lama, Veri sahabat lama saya, pihak yang dulu pertama kali mengajak saya ke Mocopat Syafaat juga datang, seperti biasa saya suka menagih dia sedang meneliti atau membaca apa belakangan ini. Veri bilang, “Orang kita ini punya kecendrungan suka pada titik ekstrem, tapi belakangan ada fenomena baru di mana ada pihak yang merasa ekstrem di tengah.” Secara bahasa itu membuat kami terbahak-bahak, lantas kami bertiga mencari tempat yang pas menikmati sajian Sinau Bareng, masing-masing kami; saya, istri saya, dan Veri punya pemaknaan yang berbeda. Pun rasanya wajar saja bila seluruh hadirin malam itu juga yang membludak memenuhi lantai satu gedung, lantai dua dan halaman PKKH UGM punya penemuannya sendiri-sendiri.

Malam ini penuh cinta, kemesraan, kinasih dan persahabatan. Ya, kita mesti memberi cinta kesempatan untuk hadir di tengah-tengah kita. Selalu percaya itu.

Jamuan percintaan yang disajikan dalam Sinau Bareng membuat saya memahami bahwa cinta tak sekadar romantisme dan dramatisasi belaka, walau romantis juga perlu. Bukan kegiatan urakan dan mesum di kos-kosan tanpa pengawasan akibat himpitan ekonomi yang membelit pengusaha kos. Cinta yang disajikan adalah cinta melatih presisi pikir, kesimbangan, ketepatan dan pencarian tiada henti kepada Sang Maha Cinta melalui jalur thoriqot masing-masing nafas kit. Bukan pemahaman thoriqot-isme yang telah membekukan cinta pada bentuk yang padat. Hanya cinta memang sering ternoda oleh nafsu, ambisi, birahi dan kemapanan posisi.

“Kita sering dengar bahwa nanti 2019 ini adalah tahun politik,” Mbah Nun, malam ini berpakaian hitam-hitam dengan peci coklat yang mirip topi bulu ala Rusia, mulai mengajukan tantangan bagi kognitif hadirin. Mbah Nun punya cara unik sebenarnya dalam berbusana, dimensinya berbeda-beda hampir setiap acara. Coba bandingkan dengan banyak tokoh yang kalau sudah ada trademark-nya lantas gaya busananya selalu tidak jauh dari gaya tersebut, tapi itu nanti saja kita bahas. Fokus dulu pada bahasan cinta, hukum dan politik.

Apa itu politik? Kita kembalikan pada makna asali dan substansinya bahwa dia adalah seni untuk membuat kebijakan, dari kebijaksanaan-kebijaksanaan agar hidup bermsyarakat menjadi lebih baik. Kehidupan yang lebih baik dalam ukuran modernitas adalah kesejahteraan, hitungan statistiknya nanti dulu, saya belum lancar ilmu statistik.

Benarkah tahun 2019 adalah tahun politik? Benarkah ini adalah perebutan untuk membijaksanai kondisi sosial kemasyarakatan? Mbah Nun mengajukan pertanyaan pada hadirin, “Apakah pilpres berpotensi membawa kesejahteraan?” Koor kompak, hampir menggetarkan gedung menjawab “Tidaaaakkk” dan kemudian lanjut ditanyakan oleh Mbah Nun, “Ini pesta demokrasi atau pesta ambisi?” Koor menjawab, kali ini benar-benar menggetarkan “AMBISIIIII…”.

Lainnya

Maiyah Penangkal Petir

Maiyah Penangkal Petir

Memasuki tahun 2022, Kenduri Cinta kembali diselenggarakan secara offline.

Kenduri Cinta
Kenduri Cinta