Berbarengan Mengurai Zat-zat Adiktif di Berbagai Bidang
Waspada Khamr di Politik Nasional dan Medsos
Mendekati penghujung acara, Kiai Muzammil sempat menyampaikan pembabaran dalam teknis bahasa bahwa yang disebut “khamr” dalam Al-Qur`an adalah segala yang sifatnya membuat mabuk dan membikin kita nagih, tercandu alias adiktif. Dalam psikologi modern diketahui bahwa yang disebut kecanduan itu adalah ketika satu pola perilaku berulang atau terus diulang sehingga ketika pola tersebut tidak berjalan dengan tradisi kebiasaannya. Orang jadi mengalami ketidaknyamanan yang akut bahkan mendekati kecemasan.
Tentu saja dalam definisi BNN, yang disikapi secara khusus adalah adiksi dalam bentuk zat-zat kimia. Tapi bukankah, kecanduan kita telah berlangsung berabad-abad dalam pikiran. Dan kecanduan pada materi kimia adalah produk sikap dari atmosfer kecanduan yang sudah ada itu.
“Sekarang ini, dalam politik nasional khamr-nya banyak sekali”, pungkas Mbah Nun melengkapi segala bahasan elaborasi malam itu pada gelar Sinau Bareng Cak Nun dan KiaiKanjeng bersama BNN, 21 September 2018 M di lapangan Trirenggo, Bantul. Kalimat “Khamr di politik nasional” ini, kalau kita dalami lagi tampaknya diperparah dengan militansi dangkal, kemelekatan kelompok, kecanduan pada moralitas kawanan, dan ditumbuhsuburkan dengan narasi nafas pendek reaktif di medsos.
Sebelumnya, penggalian dilakukan bersama-sama. Ini menjadi ciri khas dari Sinau Bareng. Persoalan dibabarkan, digali dan dicari bersama. Pemaknaan akan bergantung pada tiap individu itu sendiri. Saya bersama istri saya malam itu, yang baginya menghadiri acara-acara Maiyahan atau Sinau Bareng selalu adalah meng-upgrade kemampuan konselingnya dalam pendampingan psikologi berbasis gender. Aslinya, saya juga tidak terlalu paham bagaimana mekanismenya.
Mbah Nun memulakan penggalian persoalan pada Bapak Brigjen Pol. Drs. Triwarno Atmojo yang menduduki jabatan sebagai kepala BNNP DIY, megenai di mana letak Indonesia dalam pasar perdagangan, produsen, hingga distribusi narkoba. “Di Indonesia, ada kartel atau produsen ndak?” tanya Cak Nun. Pak Triwarno Atmojo menjawab dengan suka hati dan sukarela, bahwa untuk jenis narkoba golongan A, belum ada (ya kalau bisa jangan ada juga si yah). Tapi kalau golongan lain yang di bawahnya yang kualitasnya tidak sebaik itu dan posisinya lebih pada zat penyusun narkoba golongan A memang ada.
Jawaban ini juga kemudian dilengkapi oleh Pak Gubernur AAU, “Indonesia ini konon pasar paling besar. Karena orang-orangnya konsumtif.”
Uraikan Segala Zat Adiktif, Jangan Jadi Korban Kartel
Buat saya pribadi, konsumtif adalah kata kunci. Sering sekali saya dengar orang bertanya dengan nada heran, bagaimana sebuah negara dengan tingkat ekonomi pas-pasan seperti Indonesia tapi selalu punya daya kosumsi yang juga gila-gilaan. Hampir semua mobil mewah limited edition keluaran pabrik-pabrik Eropa, salah satu pemesan paling awalnya sering orang Indonesia. Sedang nama-nama pemesan lain bisanya adalah kepala negara, jenderal, pengusaha multinasional dan sejenisnya yang berasal dari negara dengan ekonomi yang cukup stabil. Hal ini bahkan tetap terjadi pada saat sedang krisis.
Mungkin, konsumtif dan daya beli memang dua hal berbeda. Sejatinya kita telah dididik untuk konsumtif sejak dalam pikiran, sejak kecil dan sejak kere paling dini. Kita sudah manja sejak di sekolahan, sejak di keluarga sampai ketika datang ke pengajian-pengajian kita menunggu seseorang mengulumkan ilmu dari berbagai pencarian untuk kemudian kita telan tanpa perlu mengunyah.
Apa yang lebih konsumtif dari itu? Kita datang pada pembahasan kitab-kitab atau orang-orang keramat berilmu, dengan gelora nafsunya adalah bahwa akan ada jawaban baku atas segala persoalan hidup yang tinggal kita terima, tinggal konsumsi. Sekali lagi, apa yang lebih kosumtif dari itu?
“Bapak-bapak dan ibu-ibu sekalian. Mohon jangan kena narkoba dalam bidang apapun,” pesan Mbah Nun. Benarlah, hampir dalam semua bidang kita ini sedang kecanduan narkoba. Bahwa pada tataran fisik, ada narkoba yang memang berbentuk pil, serbuk atau apapaun zat kimia, itu sebenarnya hanyalah panenan buruk dari atmosfer yang telah kita bangun sejak lama. Adanya kartel-kartel dari Kolombia sampai Cina kemudian, hanyalah pupuk penyuburnya dan faktor pendorong yang menjadi makin beringas.
Mendengar nama kartel Kolombia disebut, mau tidak mau saya teringat dua-tiga tahun belakangan, film-film Hollywood rajin sekali mengangkat sosok Pablo Escobar, pemimpin kartel Medeilin, kartel terbesar di Kolombia. Tapi kalau boleh menyarankan, untuk mendapat yang cukup komplit mengenainya lebih baik mengikuti serial NARCOS karena menurut saya produsernya memang orang Amerika Latin, Jose Padilha yang sangat rapih mempelajari segala aspek dari ekosospolbud hingga tingkat kospirasi tertentu di atasnya tanpa jatuh jadi penganut conspiracy theory yang berlebihan.