Berbarengan Mengurai Zat-zat Adiktif di Berbagai Bidang
Eladalah yang muncul malah suaranya Mas Doni menembangkan “lir-ilir… lir ilir... tandure wis sumilir.. Tak ijo royo-royo…”
Ternyata ini malah Stairway To Ilir-Ilir. Saya menertawakan diri saya yang kecelik. Aslinya kecelik sejarah pada diri dan negeri kita banyak sekali, hampir mustahil diurai satu persatu. Sumpah pemuda sempat disebut Mbah Nun dengan sedikit mengkritisi. Sesungguhnyalah pada logika paling mendasar, Sumpah Pemuda yang kita raya-rayakan terus itu hanyalah berkumpulnya sekumpulan pemuda berbagai jong yang telah mencapai strata kelas menengah alias ter-Eropakan kesadarannya.
Kita tidak begitu paham mana yang benar-benar betul, dan kalau ada mungkin membuka segala kesalahan sejarah hanya akan membuat sakit hati beberapa pihak yang terlanjur mencandu sejarah versinya. Kalau kebenaran akan menyakiti orang lain, sudahlah kita simpan saja dulu.
Kita hanya bisa berupaya menciptakan lingkungan kondusif di mana kenikmatan sejarah tidak berasal dari romantisme kebesaran, tapi kenangan yang benar-benar jernih. Bahwa ada hal-hal yang layak dikenang, ada hal-hal yang perlu dikontinuasi, dan ada hal-hal yang perlu diperbaiki. Di sini kita masing-masing belajar, menemukan pemaknaan masing-masing dan mempertemukannya dalam wadah kebersamaan. Tak mungkin seragam dan memang tidak ada keinginan untuk diseragamkan.
Mas Doni tetap melantunkan ilir-ilir, dengan nada itu. Dalam batin saya tetap menyanyikan “There’s a sign on the wall.. But she wants to be sure.. Cause you know sometimes words have two meanings...In a tree by the brook...There’s a songbird who sings...Sometimes all of our thoughts are missgiving…”
“Cah angon, cah angon penekno blimbing kuwi...Lunyu-lunyu penekno kanggo….” aduh saya lupa liriknya.
Mbah Nun mengingatkan kita sekali lagi, sebagai anak cucu, bahwa kita dikepung keadaan yang selalu menggoda kita untuk mabuk, condong, berat sebelah, cinta mati dan membenci terus. Kita selalu digoda untuk kecanduan berbagai hal, untuk doyong dan hilang keseimbangan. Maka selalu jaga kebersamaan, silaturrohim agar selalu ada daya upaya untuk menjangkep saling melengkapi.
Kalau kita makin lengkap, makin imbang kita tidak mudah termabuk oleh apapun baik oleh peta golongan, NKRI, maupun pilpres dan demokrasi-demokrasiannya. Nomor “Duh Gusti” melantun lembut, mengingatkan kita agar tatap waspada dalam segala pencarian.