Berbarengan Mengurai Zat-zat Adiktif di Berbagai Bidang
Presisikan Dosis Takaran, Aktif Memaknai, Luaskan Pecarian
Tiga kelompok yang dibentuk di awal, cukup menggambarkan persoalan ini ketika presentasi. Kita masih punya persoalan betul dalam presisi pikir, penyusunan takaran emosi komunikasi, pemetaan persoalan hingga kadar dan dosis penyampaian. Bukankah zat adikitif juga karena ketidaksesuaian dosis dan takaran? Satu kelompok yang membabarkan soal persoalan narkoba adalah akibat dari krisis spiritual massal di negeri ini.
Rasanya saya sering sekali mendengar hal serupa dan cukup gumun, bahwa kok tidak pernah ada yang meminta pertanggungjawaban dari pihak-pihak yang mendaku diri sebagai ulama atau kumpulan ulama? Jadi aslinya, narkoba kita itu sudah pada berapa bidang sebenarnya? Salah kaprah dosis, ukuran, istilah dan sejarah?
Anjuran takaran misal adalah bagaimana kita mengelola kebenaran yang letaknya di dapur, lalu diukur-ukur kapan mengeluarkan sikap dalam bentuk kebaikan, keindahan dan kebenaran. Artinya dalam hidup kita mesti selalu punya pemaknaan. “Orang yang kena narkoba adalah orang yang nggak punya kemampuan untuk memaknai sesuatu. Sehingga dia harus mencari sesuatu dari luar dirinya. Maka belajar memaknai, itu kreatif-produktif”.
Maka jangan jadi konsumen makna-makna belaka. Ambil data seluas-luasnya, pembacaan data dari orang lain, dari intelektual, dari agamawan (bila data berbentuk ayat dan hadits, misalnya) dari sejarahwan bahkan dari Mbah Nun saat Maiyahan sendiri jadikan referensi untuk menambah variabel perhitungan. Dengan begitu kita tidak kecanduan, banyak hal yang mencandu tidak sehat. Kemandirian memaknai bisa jadi zat pengurainya, peringatan belakangan agar kita tidak terjebak pada sikap “Emha mania” adalah bisa kita maknai anjuran takaran dan dosis.
Cari Kebenaran, Bukan Tercandu Obat Kuat Pembenaran Ideologi dan Ormas
Sambil menikmati kemesraan-kemesraan malam itu, saya coba menengok di instagram, karena sebelumnya habis posting foto sama istri sendiri. Rupanya salah satu akun IG yang saya follow akun @banggaber memposting komik singkat. Gambarnya seorang bersarung, kaosan pada ruangan yang khas kamar mahasiswa, duduk di depan laptop. Tokoh komik itu mengenakan peci putih-merah yang dikenali sebagian followers-nya sebagai peci Maiyah. Komik itu bertulis “Jamaah Yutup” dengan caption “Belajar bisa di mana saja dan kapan saja. Terima kasih tuhan atas nikmat socmed yang kau berikan”.
Saya tidak tau apakah komik itu memang menujukan pada jamaah Maiyah atau tidak. Tidak pernah ada kesepakatan juga bahwa peci seperti itu adalah peci Maiyah. Tapi seorang komikus handal biasanya memang mengerti cara menyempilkan kode dan simbol. Hanya saya sepakat pada captionnya, tentu pada komen-komen yang muncul kemudian khas netizen, nasihat-nasihat bermunculan tanpa konteks. Ini juga candu sebenarnya, candu komen.
Saya juga seringnya mencari bahan di internet, kuliah Youtube dan sejenisnya. Kenapa? Karena atmosfer keilmuan dari ahli-ahli dan agamawan yang ada di dunia nyata sekitar saya kurang asik. Setiap ilmuwan dan agamawan rasanya seperti sudah punya ideologi dan menganut ormas bawaan, sehingga kuliah akademis maupun pengkajian kitab-kitab hanya sekadar artikulasi akademis untuk mengokohkan pendapat ideologi-ormasnya sejak mula.
Alias, bagi kebanyakan ilmuwan dan agamawan kita, posisi keilmuwanan hanyalah “obat kuat” untuk membenarkan dirinya. Hampir tidak ada penjelasan mengenai peta mazhab dan thoriqot misalnya, yang tanpa si ahlinya mau menggamblangkan sekadar peta tanpa embel-embel menyalahkan golongan lain dan atau menguatkan kebenaran versi golongannya sendiri. Obat kuat bisa nyandu juga bukan? Jangan salahkan generasi muda yang lari ke Youtube dan internet dong kalau atmosfer ilmu memang tidak terbangun di dunia nyata.
Atmosfer Kreatif, Stairway To Ilir-Ilir
Senada pula, Mbah Nun menjabarkan bahwa posisi wong sepuh, para orang tua, adalah perlu menciptakan suasana yang kondusif di rumah, di kampung-kampung agar anak-anak muda punya kemampuan untuk bisa menikmati apa saja, bisa kreatif memaknai. Dari situ kemudian para generasi muda menjadi mandiri memproduksi makna dan tidak tergantung pada stimulus kenikmatan dari luar.
Sinau Bareng adalah nikmat. Kadang kecelek dan menertawakan diri sendiri, karena mencari apa yang benar sangat bisa berarti menemukan kesilapan diri. Saat sesi pembabaran oleh Mas Doni, Pak Jijit dan Pak Nevi sebagai Mbah Geol. Saya sudah bertepuk tangan sendiri sekencangnya, antusias! Ketika nada-nada denting berpadu dengan embus yang diganti gesekan biola Pak Blotong memainkan nada-nada pembukaan satu nomer Led Zeppelin. Saya sudah akan siap ikut bernyanyi “There’s a lady who’s sure.. All that glitter is gold.. And she’s buying a stairway to heaven…”
Lagu abadi sejuta ummat classic rock, yang bener-bener classy. Tangga-tangga nada menuju ke surga, yang dibeli dengan kekecewaan pemahaman dan kesalahan sejarah. Entah, lagu ini selalu mengingatkan pada masa-masa kongsi dagang hingga kolonialis, hubungannya? Entah apa. Kita maknai saja begitu dulu. Beberapa memaknainya dengan okultisme, argumen yang juga cukup kuat mengingat tahun 70-an adalah sisa-sisa turunan kaum teosof, spiritual new age bersebaran di Asia, terutama di India dan Jawa yang mereka akui sebagai tanah suci peradaban yang hilang. Entahlah, saya kurang tertarik ke arah situ. Semestinya lirik Stairway To Heaven mengalun.