Berbarengan Mengurai Zat-zat Adiktif di Berbagai Bidang
Negara memang posisinya harus bisa mengurai kesemrawutan bisnis kartel dan hampir tidak mungkin kalau tidak dilakukan dari pengawasan ketat permodalan. BNN dari tingkat pusat hingga tingkat daerah hanya akan kerepotan terus-menerus kalau pengawasan modal, praktik money laundring terus terjadi tanpa ada penelusuran.
Kita perlu mengurai zat-zat adiktif itu ada di mana saja, pada bidang apa saja dan kartel yang bermain siapa saja. Demikian kemudian kita telusuri praktik-praktiknya dari metode cuci modal, sampai talbis-talbis pengelolaan developmantalism, praktik pendidikan yang menyeragamkan, permainan anggaran hingga tingkat-tingkat tertentu. Kalau kita konsentrasi pada usaha mengurai zat-zatnya, kita mungkin akan lupa sendiri untuk menjadi bagian dari pecandu itu sendiri.
Memaknai Tembang, Beda Tholabul ‘Ilmi dengan Pecandu Kajian
Berapa banyak dari kita yang mau lebih aktif mempelajari urut-urutan permodalan yang masuk ke negeri ini? Yang itu sudah berlangsung sejak akhir abad 19. Ketika sesi trio Pak Jijit, Mas Doni dan Pak Nevi, ada tembang yang biasanya tidak terlalu saya perhatikan liriknya, terutama karena bahasa Jawa saya terbatas. Dilagukan oleh Pak Nevi “sesok setu tukokno tebu ayo bu…” Saya baru sadar, jangan-jangan para sesepuh kita tahu cara menyempilkan kode tertentu dalam tembang dolanan.
“Tukokno tebu..” Pada masa tertentu di negeri ini bisnis tebu terutama tebu hitam, yang benihnya dikembangkan ke wilayah Jawa bagian timur, adalah lahan masuknya investor luar negeri. Dari Eropa-Amerika ke tanah Jawa dan Sumatera melalui hak milik tanah pribadi yang disahkan pada waktu berdekatan oleh Hindia-Belanda. Di kemudian hari, krisis dunia (Great Depression) di tahun 1920 sampai 1930 adalah akibat jatuhnya harga tebu dunia. Sebab komoditas dagang utama beralih ke minyak dan gas bumi. Amerika salah satu yang paling merana karena saham dari sana kebanyakan bermain pada bisnis tebu. Kita ikut menanggung krisis tanpa mengerti kenapa.
Perlawanan-perlawanan pada era menjelang kedatangan Nippon, lebih banyak berkutat soal ekonomi sulit akibat krisis dunia ini sebenarnya. Perjuangan yang bukan atas dasar derita ekonomi, masih belum ada lagi rasanya sejak terakhir kali Diponegoro dan Perang Aceh. Sebab selain itu kebanyakan urusannya sekadar tidak tahan lapar dan haus kelas ekonomi. Atau jangan-jangan ini pemaknaan saya saja yang berlebihan?
Tapi Mbah Nun membangkitkan rasa percaya diri bahwa dalam belajar kita sebaiknya aktif memaknai. Dengan begitu kita terhindar dari candu-candu makna yang datang melalui candu-candu sosok keramat dan kesakralan citra manusia. Kalau memang akhirnya saya memaknai tembang itu sebagai uraian singkat UU Agraria dan UU Gula, boleh kan? Kalau ternyata saya salah nanti saya introspeksi sendiri. Pembaca yang budiman tentu bisa, boleh dan sebaiknya punya pemaknaan sendiri. Soalnya saya tidak begitu bisa memahami lanjutan tembang itu.
Sinau Bareng membuat kita menyadari bedanya semangat tholabul ‘ilmi dengan sekadar massa fans pengajian. Jauh sekali perbedaannya. Gelar Sinau Bareng ini tentu tidak punya daya untuk mengurai satu persatu bisnis kartel dan mekanisme pencucian modal yang ditalbiskan dalam bentuk-bentuk (yang dianggap) paling suci. Kalau memang memutuskan untuk bernegara, maka para pemangku kebijakanlah yang tugasnya di situ.
Sinau Bareng konsentrasi pada kemandirian manusia. Sebab “Selama ini belum ada yang mengurusi manusianya,” ungkap Mbah Nun. Seolah-olah lembaga pendidikan tapi sekadar pabrik teori. Seolah-olah pesantren tapi sekadar pemilik lahan produktif. Seolah-olah pengajian tapi sekadar pentradisian konsumersime makna-makna.
Kita, satu persatu dari kita semua, perlu berdaya sendiri-sendiri memaknai. Hindari kecanduan dalam bidang apapun. Sempat juga Mbah Nun menyampaikan, dari semua bentuk kriminal yang paling kejam adalah kirminal halus, dalam bentuk pencitraan dan pikiran untuk menguasai dan memanipulasi. Hal ini bisa kita maknai lebih lebar tentu saja, melihat pada era ini kita lihat antara kalimat suci yang satu bisa berbenturan dengan kalimat suci lain. Al-Qur`an dibenturkan dengan Bhinneka Tunggal Ika. Aswaja dibenturkan dengan wahabi. NU bermusuhan dengan HTI. Ulama bagi satu golongan bukan ulama bagi ulama lainnya padahal ulama itu terminologi tuhan sendiri via bahasa arab.
Kenapa? Karena rupanya, banyak yang berlangsung di negeri ini bukan mau mengajak orang untuk mandiri berpikir, tapi selalu berhasrat dianut dengan sepenuh hati oleh sebanyak mungkin massa. Belum ada yang mau sedia melihat manusia sebagai keunikannya dan pencariannya masing-masing. Maka dalam Sinau Bareng, yang dibangun adalah manusianya dulu. Perjalanan pencarian, kebenaran dan pemahaman biar nemu sedaya jangkau masing-masing. Karena kalau dicekokin, nanti jadi candu juga dong.