Beragam Jenis Mahasiswa(i) Hingga Revolusi Tempe Penyet
Mungkin Mbah Nun walau di panggung, dapat merasakan atmosfer keberagaman manusia yang hadir di sekitar Universitas AMIKOM. Memang beragam, seperti juga di Sinau Bareng pada banyak tempat lain. Tapi memang malam ini, 20 Oktober 2018 M, simbol yang sangat beragam itu terasa sekali. Baru sejenak saya duduk. Agak dekat ke gerbang kampus, dari tempat saya duduk slonjoran hanya berapa puluh meter sudah jalan Ring Road Utara yang menderu-deru suara kendaraan lalu-lalang.
Barusan saja, saya melalui rimba jalan raya Yogya, dari bilangan Kasongan, Bantul menuju lokasi Sinau Bareng malam ini. Saya lupa kalau malam minggu kota Yogya sering macet. Pukul 20.30 WIB saya sampai, KiaiKanjeng sedang membawakan nomor “Annabi shollu ‘alaik, sholawatullahi alaik…” untuk kemudian melantunkan Shalawat Badr. Saat itulah Mbah Nun naik ke panggung bersama rektor dan sesepuh Universitas AMIKOM.
Ini yang saya sebut atmosfer yang sangat beragam. Barusan beberapa gerombol muda-mudi lewat dengan busana khas mahasiswa zaman now. Ada itu sekeluarga dengan anak banyak yang prianya berserban dengan gamis di atas mata kaki mengendong anaknya yang masih kecil bersama istri dan putri-putrinya (mungkin) yang mengenakan cadar hitam. Ada juga segerombol mahasiswi (mungkin) yang walau juga mengenakan cadar tapi auranya lebih fashionable, memutuskan duduk di dekat layar yang menyorotkan tampilan dari panggung. Beberapa pemuda dengan peci Melayu bersarung, beberapa mahasiswa yang tampak sangat hipster juga ada.
Oiya, kampus ini kan memang terkenal sarangnya para hipster Yogya, coba tanya Mas Adin yang setiap Sinau Bareng bertugas mengambil jeprat-kepret foto itu, beliau konon alumni kampus ini. Bagi yang terbiasa dengan kehidupan kampus Yogyakarta, menandai mana mahasiswa tipe ber-IP tinggi, mana mahasiswa gerakan, mana mahasiswa hipster anti-mainstream dan berbagai jenis spesies mahasiswa lainnya rasanya bukan masalah, kan? Malam ini komplit, ragam-ragam itu ada semua.
Mungkin Mbah Nun sagat menyadari hal ini, maka sejak awal Mbah Nun berpesan bahwa “Saya ini bacaannya cuma Al-Qur`an. Kalaupun ada sedikit lainnya (bacaan) paling Nogososro Sabuk Inten, beberapa Kho Ping Hoo dan Winnetou.” Mbah Nun sedang menjelaskan, dengan sedikit memohon maaf, bahwa kalau pada acara Sinau Bareng memang akan lebih banyak bersentuhan dengan Al-Qur`an. Dan bila sedang mengutip Al-Qur`an, posisinya bukan tafsir golongan tertentu, atau mengkhususkan untuk agama tertentu. Al-Qur`an kita pakai dalam posisinya sebagai petunjuk bagi semua manusia.
“Continuous innovation, collaboration and ccreativity“. Tema yang sedang digagas oleh AMIKOM kali ini. Acara Sinau Bareng malam ini pun sebenarnya adalah kontinuasi dari sarasehan budaya tadi pagi, dan juga bisa jadi adalah kontinuasi dari Sinau Bareng sekitar setahun lalu di lokasi yang sama.
Ini Dies Natalis AMIKOM yang kedua puluh empat, kalau universitasnya belum setua itu usianya. Mbah Nun sempat menegaskan ini sebagai bagian aplikasi dari kontinuasi dan kesadaran sejarah. Beberapa hal memang perlu dari yang dekat dan kecil-kecil.
Soal inovasi, Mbah Nun mencontohkan dari tempe penyet. Bahwa di era ketika Mbah Nun menggelandang di Malioboro, tempe penyet tampaknya belum ada. “Dari tempe penyet saja, itu sudah revolusioner,” ungkap Mbah Nun. Untuk bisa mensyukuri inovasi revolusi tempe penyet dan agar kota bisa mengkontinuasi, maka memang kita perlu paham sejarah keberadaanya.