CakNun.com

Benin-Benih Peradaban Akhlaq Al-Ngoko Karimah

Reportase Sinau Bareng CNKK di Desa Trimulyo, Bantul, 3 Oktober 2018
Muhammad Zuriat Fadil
Waktu baca ± 7 menit

Jadi akhlaq sesungguhnya sesuatu yang sudah inheren dalam diri. Dan dia adalah serat syaraf kehidupan yang sangat halus, sehingga untuk menyadari akhlaqnya manusia mesti taqwa, waspada bahwa segala tindak-tanduknya akang berefek pada hal-hal yang bahkan mungkin di luar jangkauan pikirannya.

Akhlaq bukan sekadar etika unggah-ungguh. Ada satu respons dari Mbah Nun ketika menjawab seorang penanya yang bingung, antara mau unggah-ungguh kromo sama orang tua tapi justru merasa berjarak kalau dengan teknis semacam itu. Menurut Mbah Nun, akhlaq tidak letaknya pada tata cara yang konvensi mainstream seperti itu. Bahwa itu dikenal secara umum begitu ndak apa tapi, “Setiap keluarga boleh merumuskan cara-cara kemesraannya sendiri. Boleh membuat custom di dalam default kebudayaan.”

Fenomena di Yogya memang tidak selalu linier dengan etiket kromo inggil kraton. Menurut Mbah Nun sejak dulu di Yogya memang banyak pemuda yang kalau bicara ke orang tuanya ngoko, tapi ke tetangga atau orang lain malah kromo dan itu wajar saja. Itu namanya kemesraan. Ketika seorang pemuda menyambar rokok Mbah Nun, kemesraan tampil dalam bentuk “asuui”. Mungkin memang ada mangkelnya sedikit, tapi sapuan cinta lebih dominan tampaknya. Cinta tidak bergantung bentuk, bukan?

Keluarga istri saya juga tidak membiasakan anak-anaknya untuk kromo pada orang tua. Dan saya teringat seorang sahabat saya, namanya Edo, biasanya dia ikut Maiyahan tapi malam ini tidak. Edo dulu pernah cerita bapaknya pernah bilang, “Kowe ora boso karo aku, ra masalah. Sing penting aku karo anak-anakku kabeh jadi tidak berjarak.” Mungkin hal semacam ini yang ditangkap oleh Mbah Nun. Jawa tidak dinilai dari kromonya, Nusantara tidak dilihat dari tradisinya saja. Tapi lihat isi di akal dan jiwanya. Itu.

Kalau kita terjebak selalu memandang budaya dan peradaban pada bentuk, itulah kita selalu mengira Islam adalah diwakili kantor berita Muawiyah hingga Turki Utsmani. Kita mengira harus mengadopsi pluralisme, padahal menurut Mbah Nun, “Orang Indonesia sudah jagonya beragam.” Malah wacana keberagaman dalam pluralisme dan multikulturalisme itu adalah yang masih sangat dangkal.

Kita beragam hingga diri kita sendiri pun kita sadari keberagamannya. Masyarakat yang sudah sehari-hari beragam tentu tak damatis-dramatis amat pada wacana keberagaman. Tapi kita melulu, kembali terjebak pada bentuk. Kita belum khatam pada pelembagan maupun pengorganisasian yang tampak sehingga pluralisme itu perlu diraya-rayakan, digaungkan. Sehingga tak jarang narasi keberagaman malah dipakai untuk menghantam yang berbeda keyakinan dari narasi keberagaman itu. Ini juga sebenarnya adalah bentuk kromo dalam artikulasi yang berbeda, tapi kita sebenarnya sehari-hari adalah lugas ngoko.

Sementara sajian-sajian kemesraan terus berlangsung, sementara benin-benih keilmuan terus disemai, saya jalan-jalan keliling lapangan. Tempat saya ngopi sudah penuh manusia, jadi rasanya kurang enak duduk di kursi sementara yang lain lesehan. Orang Bugis-Makassar bilang ini namanya ajo’. Salah satu bentuknya kalau orang duduk di bawah kita risih kalau duduk di atas sendiri. Tapi, itu hanya salah satu bentuknya.

Kalau tadi Mbah Nun bilang bahwa akhlaq adalah sesuatu yang sangat lembut, begitu juga sebenarnya ajo’ dalam budaya kami. Kadang penerapannya hanya sekadar anggukan kecil samar, atau menggeser posisi duduk, atau apapun tak ada rumus baku. Intinya anda bergerak untuk membuat orang lain tahu bahwa anda tahu (sebentar, kenapa ini jadi terdengar rumit ya?) bahwa dia ada di situ. Menghargai keberadaan orang, nah itu mungkin sederhananya.

Saya sempat lihat-lihat ke sebelah lapangan, hanya dibatasi aliran pengairan kecil di situ langsung sawah. Genangan air di sawah, memantulkan kegelapan malam di sini. Padi-padi baru saja ditanami kembali, belum benar-benar menjulang tapi sudah terlihat akan hidup.

Benih-benih sedang disemai, tanah Nusantara masih subur. Sesuatu yang baru akan terus tumbuh, sudah lumrahnya pola alam bahwa dengan munculnya tunas baru, yang lama harus layu dan gugur. Orang desa, baik penanam padi di sini maupun penanam gandum di pedesaan Eropa, rata-rata paham bahwa segalanya ada pranata mangsanya. Saya menoleh ke arah panggung. Benar, benih-benih baru sedang disemai.

Lainnya

KiaiKanjeng of the Unhidden Hand

KiaiKanjeng of the Unhidden Hand

Sejak jum’at siang (8/5) KiaiKanjeng sudah berada di Jakarta untuk malamnya menghadiri Kenduri Cinta, setelah menjalani rangkaian Maiyahan di Jawa Timur, mulai tanggal 4 Mei 2015 di Universitas Airlangga Surabaya, kemudian 5 Mei 2015 di Universitas PGRI Adibuana Surabaya, dilanjutkan tanggal 6 Mei-nya di Sidoarjo.

Kenduri Cinta
Kenduri Cinta
Exit mobile version