CakNun.com

Benin-Benih Peradaban Akhlaq Al-Ngoko Karimah

Reportase Sinau Bareng CNKK di Desa Trimulyo, Bantul, 3 Oktober 2018
Muhammad Zuriat Fadil
Waktu baca ± 7 menit

Mbah Nun tidak memberi resep praktis seperti lakukan ini dan jangan lakukan itu. Peradaban resep-resepan semacam ini sudah membuat kita manja berabad-abad, sehingga potensi daya pikir dan roso kita tidak terpakai secara efektif. Mbah Nun memberi benih-benih, pilihan sikap, apa yang kudu dilakoni semua putuskan sendiri. Kalau Mbah Nun mengisahkan pengalaman-pengalaman beliau, itu adalah referensi bagi kita, bukan acuan baku. Gawat kita ini kalau semua orang yang kita cintai, kita bakukan rumusan hidupnya. Dan itulah yang terjadi selama ini.

Persoalan yang ditanyakan oleh Mas ini, memang fenomena umum. Mbah Nun menyampaikan, “Itu persoalan dalam banyak bidang, tidak hanya dalam lingkungan kampus Mas.” Memang kesalahkaprahan pola pikir kita sudah berlapis-lapis, berlipat-lipat. Rata-rata organsasi kampus yang ada di zaman sekarang adalah tinggalan bentukan tahun-tahun lampau, dan kenapa masih perlu ada? Jarang ada yang mempersoalkan.

Itu juga sejak dulu, ketika NKRI ini akan berdiri proklamasi dan mendaku diri melakukan revolusi (saya masih tahap mikir-mikir apakah layak disebut revolusi). Semua yang terbentuk pada masa-masa manis bersama Hindia-Belanda masih mempertahankan eksistensinya sebagai golongan, komunitas, organisasi. Artinya tidak ada kesediaan untuk “khataman”.

Coba saja daftar semua organisasi yang berdiri sejak 1900-1945 dan saksikan bahwa mereka semua tetap ada, membentuk elitenya masing-masing, dan tentu membuat mitos-mitos perjuangannya sendiri-sendiri. Andai dulu Nippon tidak dibom oleh Amerika, saya rasa kaum-kaum ini juga tetap akan melahirkan mitos betapa setianya proyek perang Asia Timur Raya.

Untung proklamasi dibacakan di pulau Jawa tanpa begitu banyak yang tahu juga. Andai dia dibacakan di daerah-daerah yang belum terlalu menyerap gentlemanship keningratan Eropa yang membuat kasta bawah tertunduk-tunduk, andai proklamasi itu dibacakan di daerah yang masih punya lambe bandelnya Nusantara, mungkin adegannya akan berbeda. Bisa-bisa itu pembacaan diinterupsi di tengah jalan, diprotes dan seterusnya.

Intinya ini memang persolan bersama bahwa terlalu banyak keberadaan yang tidak begitu ada pengaruhnya pada hidup manusia tapi dipaksa-paksa keberadaan, eksistensinya, sehingga pada perkembangannya yang dibangun adalah militansi-militansi golongan. Kalau kita bingung kenapa polarisasi politik terlalu padat benturannya belakangan ini, coba tengok pola pikir adik-adik mahasiswa kita dalam pergerakan-pergerakan itu. Banyak hal bermula dari cekokan pikiran yang sudah doyong sejak awal.

Zaman sudah begini, mahasiswa belajar naik gunung tidak perlu ikut Mapala. Belajar menulis tak perlu lewat Persma. Belajar akting bisa di mana-mana. Diskusi cari teman saja sebanyak mungkin. Kalau kita belum berani mempertanyakan urgensi lingkar-lingkar sekecil itu saja, kapan orang punya keberanian untuk mengajukan tanya apakah bentuk NKRI ini masih relevan apa tidak.

Sayangnya memang sejak awal, negeri ini dikendalikan oleh kaum ningrat penganut kromo inggil dari ningrat politik, ningrat pergerakan, dan ningrat agamawan. Mereka pikir mereka bisa menjadi penyambung lidah rakyat tapi jelas tidak. Sebab, rasa lidah kita sudah berbeda sejak mula dengan kaum elite tersebut. Sehingga relevansi keberadaan mereka kemudian dibuat-buat, diada-adakan bahkan puncaknya belakangan dimitos-mitoskan.

Maka yang dibangun dalam Sinau Bareng bukan soal bentuknya apa, tapi ingin melakukan apa. Lakukan, perjuangkan. Kalau mau revolusi, kalau mau makar yang total dan sendirian aja ndak usah ngajak-ngajak. Kalau memang yakin pada pengabdian, mengabdilah dan tak usah mengeluh. Lakukan semua sesuai keyakinan dan tekad sepenuh-penuh. Hidup yang penuh, yang total. Jadi manusia yang mandiri, otentik, dan berdaulat.

Maka bahasan di awal mengenai peradaban, budaya, etika, akhlaq pun mendapat urgensinya malam itu. Mbah Nun menjelaskan bahwa peradaban berasal dari kata “adab”. Sesuatu yang sebesar jangkauan peradaban itu dimulai dari hal-hal kecil, sikap, lelaku, tindak-tanduk. Akhlaq justru adalah–dan bahasan ini kemudian dilengkapi oleh Kiai Muzammil yang turut hadir malam itu–satu akar kata dengan “khaliq” pencipta dan “makhluq” ciptaan.

Lainnya

KiaiKanjeng of the Unhidden Hand

KiaiKanjeng of the Unhidden Hand

Sejak jum’at siang (8/5) KiaiKanjeng sudah berada di Jakarta untuk malamnya menghadiri Kenduri Cinta, setelah menjalani rangkaian Maiyahan di Jawa Timur, mulai tanggal 4 Mei 2015 di Universitas Airlangga Surabaya, kemudian 5 Mei 2015 di Universitas PGRI Adibuana Surabaya, dilanjutkan tanggal 6 Mei-nya di Sidoarjo.

Kenduri Cinta
Kenduri Cinta
Exit mobile version