Belum Benar-Benar Jadi Manusia
Pada Maiyahan Mocopat Syafaat beberapa tahun lalu, menjelang teater Nabi Darurat Rasul Ad Hoc dipentaskan, Mas Sabrang melemparkan sebuah jokes ringan menyikapi kondisi manusia yang semakin hari justru semakin saling sikut-sikutan hanya untuk kepentingan dunia. “Dadi kewan ae durung lulus, kok!” (Jadi binatang saja belum lulus, kok!). Kira-kira seperti itu candaan yang dilemparkan Mas Sabrang saat itu. Spontan saja, jamaah Mocopat Syafaat tertawa mendengar ungkapan itu.
Bagaimana ini kerangka logikanya? Manusia kok dianggap belum lulus jadi binatang? Dalam pergaulan masyarakat Jawa, terdapat istilah pasemon. Kemudian kita juga mengenal istilah sarkasme. Kalimat yang diungkapkan oleh Mas Sabrang itu merupakan kalimat sarkas yang dilontarkan menyikapi perilaku manusia sekarang ini. Dalam Ilmu Mantiq disebutkan bahwa Manusia adalah binatang yang berpikir. Kemudian ada juga yang menyebutkan bahwa manusia adalah binatang yang memiliki akal.
Kita sudah mengetahui salah satu “gugatan” malaikat ketika Allah menciptakan Adam As adalah bahwa pandangan visioner malaikat yang sudah mengetahui pekerjaan manusia kelak hanyalah merusak bumi dan menumpahkan darah. Sebuas-buas binatang yang kita ketahui, tak mungkin ia rakus. Binatang, menjalani kehidupan mereka dalam rangkat taat kepada sunnatullah yang berlaku. Harimau, memang ditakdirkan untuk memakan daging, sehingga binatang yang lebih lemah selalu menjadi mangsa. Sementara kambing, ditakdirkan memakan rumput dan dedaunan. Tetapi, mereka tidak rakus seperti manusia.
“Sungguh, Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”, Allah memperingatkan malaikat bahwa kekhawatiran yang mereka ungkapkan terhadap manusia itu juga sudah diketahui oleh Allah, tetapi Allah lebih mengetahui apa yang akan terjadi kemudian. Apa yag dikhawatirkan oleh malaikat mungkin sudah terbukti, pertumpahan darah dan perusakan bumi memang sudah terjadi, semua dilakukan oleh manusia demi memuaskan hasrat dan hawa nafsu belaka.
Dan memang binatang adalah senior manusia, jauh sebelum manusia diciptakan, binatang sudah lebih dulu ada di bumi. Maka di Maiyah kita dibekali oleh Cak Nun bahwa perabadan manusia diawali oleh kesadaran sebagai makhluk (yang diciptakan), kemudian naik menjadi kesadaran bertumbuh, sehingga tumbuhan juga merupakan makhluk yang lebih senior dari manusia. Kemudian muncul kesadaran binatang, bagaimana bertahan hidup dengan kehidupan yang lebih dinamis. Jika tumbuhan, dari sebuah benih, ia tumbuh. Taat kepada ekosistem, disuburkan oleh alam. Kapan harus tumbuh, ia tumbuh. Kapan harus berbuah, ia berbuah. Kapan harus layu, ia layu. Tak ada negosiasi.
Binatang, mengalami dinamika kehidupan yang lebih dinamis dari tumbuhan. Ia diberi sedikit hak untuk mempertahankan hidup. Kemudian berkembang biak, hidup dalam sekumpulan koloni. Bahkan dalam sekelompok binatang, sudah ada sistem pemilihan siapa yang berhak menjadi pemimpin. Kesadaran binatang lebih tinggi dari kesadaran tumbuhan. Karena ada sedikit hak yang diberikan oleh Tuhan.
Manusia adalah makhluk yang lebih canggih dari binatang. Maka kemudian ada ayat yang menyebutkan bahwa manusia adalah ahsanu taqwim, sebaik-baik bentuk peciptaan. Manusia memiliki akal, sehingga ia diberi kemampuan untuk berpikir. Maka, kesadaran hidup manusia bukan hanya kesadaran makhluk, kesadaran tumbuhan, dan kesadaran binatang saja. Tetapi juga kesadaran manusia. Kalau diurut, manusia ini paling yunior, tetapi peran dan fungsi manusia justru lebih lengkap dibanding para senior-senior yang sudah diciptakan terlebih dahulu oleh Tuhan.
Setelah kesadaran manusia, ada kesadaran Abdullah dan Khalifatullah. Singkatnya, kesadaran sebagai Hamba Allah dan sebagai Khalifah Allah di muka bumi. Tetapi, kembali ke tema tulisan ini, bahwa kita ini jangan-jangan jadi binatang saja belum lulus, seperti yang diungkapkan oleh Mas Sabrang.
Kok belum lulus? Memangnya ada ijazahnya yang menandakan kita sudah lulus? Atau juga ada prosesi wisudanya juga? Bagaimana ujian yang harus dilalui agar kita lulus, kemudian masuk ke fase manusia?
Tentu saja tidak difahami seperti itu metodenya. Kita sebagai manusia setelah diberi akal untuk berpikir dan didayagunakan serta disinergikan dengan hati dan nafsu kita. Seharusnya, kesemuanya selaras dan seimbang. Namun demikian, ternyata yang terjadi tidak sesuai dengan apa yang kita harapkan. Nafsu manusia lebih mendominasi dalam dirinya. Kita terheran-heran dengan perilaku manusia yang menumpuk harta sedemikian banyaknya, bahkan dengan cara-cara yang tidak beradab.
Hewan saja, jika sudah kenyang, ia akan berhenti makan. Harimau, baru akan menerkam mangsa yang lain saat ia merasa lapar. Bukan ketika ia sudah kenyang, agar semakin puas, kemudian mencari mangsa baru. Tidak. Tetapi manusia, justru dengan anugerah yang lebih lengkap dari binatang seringkali gagal mengelola keseimbangan dalam hidup.
Ketika malaikat menyampaikan gugatan bahwa manusia hanya akan merusak bumi dan menumpahkan darah, Tuhan sudah menyiapkan formula bagi manusia bernama Puasa. Yang kemudian oleh Rasulullah Saw diaplikasikan dalam pola makan yang teratur, makan ketika lapar dan berhenti makan sebelum kenyang. Alhamdulillah, kita di Maiyah kemudian dijangkepi pemahaman tentang Puasa itu oleh Cak Nun, bahwa konsep lapar itu baik dalam rangkat metode latihan dan tirakat, karena yang tidak baik adalah kelaparan.
Hanya saja, kita sebagai manusia kerap memahami bahwa puasa itu sekadar urusan penundaan waktu makan atau sekadar urusan menahan lapar saja. Padahal, jika diaplikasikan dalam kehidupan kita sehari-hari, Puasa benar-benar menjadi rumusan yang dahsyat bagi kita agar kita mampu untuk “naik kelas”, menuju kesadaran Abdullah, dan puncaknya kita benar-benar mencapai titik Khalifatullah.
Namun demikian, sepertinya ada benarnya joke ringan yang dilontarkan Mas Sabrang beberapa tahun lalu, Dadi kewan ae durung lulus, kok!