CakNun.com

Belajar Akar Kehidupan Bangsa Kita

Catatan Majelis Ilmu Suluk Surakartan, 28 April 2018
Suluk Surakartan
Waktu baca ± 5 menit
Suluk Surakartan, 28 April 2018

Kita adalah Bangsa Unggul dan Beradab

Sebuah pohon yang besar, tentunya memiliki akar-akar yang menghujam kuat ke dasar tanah. Begitu pula dengan sebuah peradaban. Sebuah peradaban yang besar, tentunya memiliki akar kehidupan yang begitu kuat. Besarnya sebuah peradaban tak bisa kita nilai hanya dari satu sisi kehidupannya semata. Entah itu dari sisi teknologi, politik, ekonomi dan lain sebagainya. Namun itu semua harus dinilai secara utuh dari berbagai aspek, ya dari sistem politik, hukum, ekonomi, budaya hingga benda-benda peninggalannya.

Pada pertemuan sinau bareng majelis Suluk Surakartan yang ke 27 beberapa waktu yang lalu, kita sebisa mungkin secara bersama-sama mempelajari kembali akar kehidupan kita (peradaban leluhur kita). Melalui buku Desa Purwa karya Mas Agus Wibowo, Penggiat Majelis Maiyah Gugur Gunung. Dalam poin-poin dari buku yang dinarasikan oleh Mas Agus, secara umum menjelaskan tentang konsep-konsep tata kehidupan leluhur kita.

Kenapa kita harus mempelajari peradaban simbah-simbah kita dahulu?  Dikarenakan sebuah kehausan, kerinduan kita tentang identitas dasar yang kita miliki dahulu kala. Sebab klaim-klaim kemajuan peradaban yang berkembang pada saat ini, bukannya membuat kita semakin beradab, namun malah semakin memunculkan banyak tak keberadaban. Bahkan cenderung menjauhkan diri kita dari Sang Khaliq.

Apakah mungkin peradaban yang dibangun simbah-simbah dahulu dapat mendekatkan diri kita kepada Sang Hyang Widi? Bukannya produk kebudayaan leluhur lekat kaitannya dengan syirik, bid’ah dan khurofat?

Mungkin itu pertanyaan yang sering muncul di sekitar kita tentang produk kebudayaan leluhur pada zaman dahulu. Meminjam istilah lama yang jamak di telinga kita, tak kenal maka tak sayang. Mari kita kenali dan pelajari terlebih dahulu bagaimana kebudayaan leluhur kita. Sebelum kita melakukan penilaian dan pernyataan terhadap sesuatu hal yang kita nilai. Agar apa? Agar kita tak terjebak pada penyimpulan yang salah atau kurang tepat.

Dalam penyampaian poin-poin dari isi buku “Desa Purwa”, Mas Agus menyampaikan poin-poin dari konsep-konsep peradaban leluhur kita. Dari penyampaian poin-poin dan membaca buku tersebut, walaupun belum selesai membacanya, saya menangkap dan menyimpulkan, bahwa kualitas ketuhanan simbah-simbah kita dahulu jauh lebih religius daripada kita sekarang. Walaupun leluhur kita pada saat itu belum mengenal Islam yang disampaikan Kanjeng Nabi Muhammad Saw. Bahkan, simbah-simbah kita kualitas keislamannya lebih Islam daripada kita saat ini, jika ditinjau Islam sebagai ajaran kehidupan yang minus syariat. Wallahu ‘alam bisawab.

Hal tersebut dapat kita lacak dengan seksama melalui penamaan-penamaan sesuatu hal yang ada hingga sampai saat ini. Misalnya saja tentang penamaan desa. Menurut Mas Agus, desa berasal dari kata “paradesa” yang memiliki kesambungan genealogis dengan tempat tinggal Nabi Adam di Surga Firdaus dulu. Setelah Nabi Adam tinggal di muka bumi ini, guna mengkhalifahi di bumi, beliau menerapkan tata kehidupan seperti halnya saat ia berada di Surga Firdaus dulu. Sehingga konsep dasar pembentukan paradesa ini lain dan tak bukan ialah kehidupan yang selalu bertuhan.

Sebagai khalifah fil ardl, simbah-simbah kita sudah sadar tugasnya di muka bumi ini. Dari kesadaran hidup tersebut, mereka melakukan kehidupan secara harmonis dan selaras dengan seluruh makhluk di alam semesta ini. Baik itu dengan alam, tumbuhan, hewan dan bahkan dengan makhluk halus.

Selain itu, beliau juga menuturkan, bahwa nenek moyang kita melakukan penggolongan manusia berdasarkan peran dan fungsinya masing-masing. Penggolongan ini tidak bertujuan untuk merendahkan satu jenis manusia dengan yang lainnya. Akan tetapi dari setiap jenis manusia memiliki kewajiban yang sama dalam mempertahankan ketahanan sosial budaya dalam lingkup desa.

Mas Agus merekam ada delapan jenis manusia (Hasta Janma) berdasarkan tugas dan fungsinya masing-masing. Menurut beliau, dari kesemuanya terekam di beberapa relief candi-candi yang kita miliki. Dan tentunya setiap relief di candi pastinya mengambarkan atau menceritakan fenomena sosial yang ingin diceritakan kepada cucu-cucunya atau generasi sesudahnya.

Dari Hasta Janma ini, manusia memiliki tugas dan fungsinya masing-masing. Misalnya saja, Janma Tani, seseorang yang memiliki tugas atau kontribusi dalam wilayah pertanian dan peternakan. Janma Ujam Dhudhukan, seseorang yang bertugas dalam wilayah kesehatan dan pengobatan. Mungkin kalau bisa disamakan dengan zaman sekarang, Janma Ujam Dhudhukan ini ialah seorang dokter dan sejenisnya. Hingga Janma Kawi/Pandhita, yang memiliki tugas memberikan pencerahan kepada setiap Janma tadi.

Jangan Rendah Diri!!!

Setelah mengalami kolonialisasi dan disusul dengan gempuran globalisasi yang begitu kuatnya, nampaknya telah membuat kita minder terhadap pencapaian-pencapaian dari bangsa barat dan seolah-olah kita merasa rendah dari mereka. Hal ini menjadi sebuah tantangan tersendiri bagi kita semua, untuk menghadapi atau menghapuskan sikap minder tersebut. Jika penyimpangan genetik ini terus dipelihara dalam diri kita, tentunya akan menjadi penghambat perkembangkan kita. Dan kemungkinan kita tak dapat mengulangi atau menyamai peradaban besar yang telah dibangun para leluhur kita dulu.

Menyikapi hal tersebut, Pak Asad, mengajak kepada jamaah semua, untuk mempelajari diri kita masing-masing. Karena kita telah menyepakati sebuah perjanjian agung dengan Gusti Allah tentang kehidupan kita di muka bumi ini.

Menurutnya, kesuksesan di dunia ini bukan diukur oleh kesuksesan yang bersifat material keduniaan. Akan tetapi kesuksesan kita di dunia ini ketika kita telah menemukan kesejatian diri kita. Atau kita telah mengetahui dan melaksanakan perjanjian yang telah kita sepakati dengan Allah sebelum kita berada di alam kandungan. Salah satu bentuk pelaksanaan perjanjian kita kepada Allah, kita harus sadar kita ini anak siapa? Tinggal di mana? Tugas dan kewajiban dari takdir kita apa?

Dari ajakan Pak Asad dan pemaparan Mas Agus untuk mempelajari tentang potensi diri yang kita miliki, membuat saya teringat tentang mata kuliah genetika sewaktu kuliah. Saya menemukan potensi yang dimaksudkan beliau berdua ialah pontensi genetik yang tersimpan di dalam diri kita. Jika bangsa Jerman bangga dengan mengklaim sebagai keturunan bangsa Arya, kita juga memiliki potensi yang sungguh menakjubkan dan bahkan jauh lebih unggul dari bangsa Arya ataupun bangsa-bangsa barat yang mengklaim superior daripada bangsa lain. Yaitu potensi sebagai keturunan dari bangsa Nusantara.

Potensi genetik inilah yang menjadi potensi yang tersimpan di dalam diri kita. Karena setiap jengkal peristiwa atau kehidupan dari para leluhur kita dahulu, kesemuanya tadi terhimpun menjadi informasi genetik yang tersimpan di dalam gen-gen kita. Di dalam setiap gen yang kita miliki menyimpan berjuta-juta bahkan bermiliar-miliar informasi genetik.

Padahal di dalam diri kita terdapat banyak sekali gen, yang berapa jumlahnya saya kurang tahu pasti. Harap dimaklumi karena semasa kuliah sering mbolos, hehe. Dan pas mendapatkan mata kuliah genetika, dari awal perkuliahan hingga akhir perkuliahan hanya sekian persen saja materi yang masuk ke otak. Sebab, menurut saya materi genetika pada saat itu susahnya hampir mirip seperti kimia dan matematika. Kesulitan tersebut, lain dan tak bukan karena kemalasan saya untuk mempelajari hal-hal yang njlimet.

Walaupun pada sejatinya seluruh manusia di muka bumi ini adalah saudara atau keturunan dari Bapak Adam dan Ibu Hawa, namun setiap manusia memiliki karakter dan potensinya masing-masing. Hal tersebut disebabkan karena penyimpangan genetik atau penyimpangan perilaku dari keturunan awalnya. Sehingga membentuk jenis karakter, sifat, wujud hingga potensi diri yang berbeda-beda.

Menurut informasi yang pernah saya dapatkan, dalam pembuktian manusia di muka bumi ini adalah keturunan Bapak Adam dan Ibu Hawa. Entah semasa kuliah atau telah lulus kuliah, yang jelas saya lupa kapan pastinya. Bahwa para pakar genetika mencoba melakukan penelitian genetik manusia di muka bumi ini. Dari penelitian tersebut, menghasilkan sebuah kesimpulan bahwa manusia di muka bumi ini memiliki satu kesamaan genetik. Kalau laki-laki memiliki kesamaan genetik dengan Bapak Adam. Sedangkan wanita, memiliki kesamaan genetik dari Ibu Hawa.

Jangan percaya dulu lho ya!!! Informasi dari informan semacam maha dhoif seperti saya ini, yang kuliah sering mbolosan dan lulusnya pun telat. Tapi silahkan verifikasi dulu kevalidan informasi tersebut melalui hasil-hasil riset dari pakar-pakar genetik yang banyak bertebaran dalam jurnal penelitian dan semacamnya.

Dari potensi yang terekam di dalam diri kita tersebut, Mas Agus mencoba memberikan contoh tentang kemampuan kita yang multi-tasking atau seolah-olah kita bisa melakukan berbagai hal. Menurutnya hal tersebut kemungkinan besar terwariskan dari leluhur kita dahulu kala. Itu merupakan sebuah potensi yang ada atau terpendam dalam diri kita. Tinggal bagaimana kita menggali, mengasah dan mengolah potensi yang terpendam itu.

Maka dari itu, mari kita bersama-sama belajar pada apa yang telah kita miliki, guna menemukan kesejatian diri kita. Semoga dengan kita menemukan kesejatian diri, kelak kita dapat bertemu dan bersama dengan Kanjeng Nabi Muhammad Saw dan mampu bersatu kembali dengan Gusti Pangeran Allah Swt. Aamiin. (Wahyudi Sutrisno)

Lainnya

Exit mobile version