CakNun.com

Bebrayan, Komunalitas Bukan Sekadar Militan

Reportase Sinau Bareng di Desa Sidoluhur, Godean, 19 Oktober 2018
Muhammad Zuriat Fadil
Waktu baca ± 6 menit

Tapi bagaimana bila pengalaman artifisial itu dilakukan pada jangka waktu tertentu di tempat yang asing dan tak ada akses untuk kabur? Di rimba-rimba raya misalnya, maka pikiran akan terpentok, rasio kemudian akan melahirkan self-deffense mechanism yang berupa penerimaan terhadap ketidaknyamanan atau rasa sakit. Kerja rasio kan mencari alasan, dia harus punya alasan dari dalam dirinya sendiri kenapa “si aku” tersakiti? Kenapa mau menerima? Alasan paling akhir yang bisa ditemukan otak manusia adalah karena “si aku” mencintai “si pemberi sakit” begitulah teknik-teknik dalam militer dan semi-militer. Walau dalam militer tentu ini masuk akal karena memang ketangguhan fisik diperlukan. Kalau terlanjur kita hidup pada era di mana militer dan sipil, terbagi dengan jelas maka memberi pengalaman atau simbol militer pada sipil yang mestinya punya keluwesan akan bisa sangat berbahaya.

Sebenarnya komunalitas dan militansi juga adalah bagian dari in-group, perbedaannya adalah komunalitas dibangun atas dasar pengalaman bersama yang real tidak dibuat-buat sedangkan militansi adalah hasil imitasi pengalaman bersama. Dia dikondisikan, karenanya hasil dari militansi adalah mudah diarahkan pada sasaran tertentu.

Tapi belakangan militansi bahkan tidak dibangun atas kesamaan pengalaman tersakiti fisik yang nyata lagi, bahkan sekarang militansi golongan dibangun atas dasar legitimasi sejarah (yang belum tentu teruji versinya) atau keyakinan akan musuh bersama yang masih wang-sinawang juga. Keberdarah-darahan fisik digantikan dengan narasi derita, self pity (mengasihani diri) bahwa kelompok “kita” adalah selalu korban, selalu dicemooh, selalu difitnah, dihujat, dan lain sebagainya, artinya militansi zaman sekarang jauh lebih artifisial lagi tapi itu juga jauh lebih militan malah hasilnya. Kenapa? Karena yang menderita bukan fisik saja tapi juga batin, yang batin itu lebih dalam tertanam.

Masyarakat bangsa kita punya potensi besar untuk militan, karena aslinya memang komunal. Tipis sekali bedanya antara militansi dan komunalitas ini, maka memang tak perlu coba membangun-bangunkan militansi pada masyarakat agraris ini, sudah dari sononya. Lagipula tak jarang kalau kita lihat sejarah, pembangunan militansi golongan di negeri ini selalu menjadi bumerang juga bagi diri sendiri. Militansi tanpa komunalitas bisa sangat berbahaya, dan kita sedang melihat banyak sekali sekarang ini di mana setiap golongan sedang membangkitkan militansi sendiri-sendiri.

Tema Beberayan Anggayuh Kaluhuran, ini adalah usaha para warga desa Sidoluhur, Godean terutama pemuda-pemudanya untuk menggali kembali keluhuran komunal itu. Ini adalah hal mendasar yang tercerabut sekian lama pada diri masyarakat kita, tercerabut oleh hal-hal yang justru sangat tidak fundamental seperti pilihan politik, kubu golongan, pilihan ormas dan sebagainya.

“Ada atau tidak ada presiden kan anda tetap makan, minum, ngising, nguyuh to? Ada tidak ada negara juga begitu,” ujar Mbah Nun. Pesan ini mengingatkan pada kita untuk tetap fundamentalis dalam prinsip, bahwa ada pilihan –pilihan yang berbeda itu jangan sampai di-qoth’i-kan.

Mbah Nun juga mengingatkan agar jangan sampai pilihan politik merusak keguyuban komunalitas itu, prinsipnya kita perlu kuat ngerem atau menjaga aurat informasi. Pilihan politik anda, putuskan saja di dalam bilik suara nanti dan tidak perlu diumbar-umbar, “Cukup Allah, malaikatnya, dan Anda sendiri yang tahu. Yang penting Anda datang ke TPS, biar panitia senang hatinya. Perkara di dalam Anda mau rokokan apa ngising ya terserah,” tentu saja ini bercanda, saya juga tidak kepikiran untuk ngising dalam TPS tapi rasanya satu bungkus rokok mungkin bisa juga dipraktikkan hehee. Kita sekarang bertengkar terus sebab kita selalu mau pamer apa pilihan-plihan pribadi kita dan itu bisa kita tambahi juga dengan merendahkan pilihan orang lain.

Kita juga perlu melihat pembeda militansi dan komunalitas itu seperti ini, bahwa bagi mental komunal semua yang berbeda akan dirangkul. Binneka Tunggal Ika jelas lahir dari komunalitas, hanya sayangnya sekarang banyak dipakai untuk melegitimasi militansi kelompok. Saya tipe orang yang susah sekali bersosial. Tapi entah bagaiman caranya, atmosfer komunal desa tempat saya tinggal selalu bisa merangkul.

Bedakan dengan mental militan di mana kalau ada yang berbeda, maka harus dienyahkan, dibakar benderanya, dihujat, dihilangkan, disingkirkan. Sekarang narasi persatuan kita mendekati narasi pemusnahan seperti ini, jadi kita bisa melihat meningkatnya militansi tanpa komunalitas.

Sejak kita menyerap konsep “one nation” ala nation-state-nya US seperti yang tampak dari Sumpah Pemuda, kita melangkah dari komunalitas desa pada militansi negara bangsa ala aktivis dan elite pergerakan serta komandan-komandan serta patron agamawan, puncaknya adalah Proklamasi 1945. Di Godean, dalam majelis-majelis Sinau Bareng dalam kegembiraan-kegembiraan ber-Maiyah kita bangkitkan, kita tandur kembali komunalitas itu.

Lainnya

Exit mobile version