Barisan Sukowati Guyub Rukun Mengayomi Negeri
Guyub rukun, kerjo tekun, nyawiji bekti kanggo bumi Sukowati
Pukul 20.45, Mbah Nun melangkah dari kantor Pemda menuju panggung dengan didampingi Ibu Via, Bu Bupati dan suami, Wakil Bupati, Pak Kapolres, Pak Dandim dan sederet jajaran Muspida. KiaiKanjeng dan seluruh jamaah berdiri menyambut kerawuhan Mbah Nun dengan melantunkan sholawat badar. Kompak, menggetarkan.
Sebagai pembuka acara, Mbah Nun mengajak seluruh jamaah untuk menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya dilanjutkan Syukur. Suasana meng-khidmat. Meng-guyub. Dada tegak. Suara lantang. Hati meninggi vertikal.
Jamaah tetap berdiri. Mbah Nun meminta seluruh perwakilan pemuka agama yang berada dipanggung untuk berikrar. Ada Pendeta, Romo, Pedanda, dan Kiai. Semua pemuka agama menyerukan ikrar perdamaian, kerukunan, saling asah, asih, asuh. Guyub-rukun membangun bumi Sukowati. Menjaga rumah NKRI. Menyaksikan suasana khusyuk dan guyub tersebut merinding saya. Menyeruak dalam dada. Benar-benar menentramkan. Hilang sudah kecemasan.
Jamaah kembali duduk, Ibu Bupati kemudian berdiri menyampaikan sambutan. Mbak Yuni tampak anggun menggunakan gamis hitam motif bunga keemasan. Dengan bangga mengucapkan selamat hari jadi untuk kab. Sragen ke-272 beserta seluruh warganya, dan tak lupa menghaturkan terima kasih sebesar-besarnya kepada Cak Nun yang telah berkenan hadir di tlatah Sukowati dan spesialnya beliau sarimbit mengajak sang istri.
Saya yang berdiri di sisi kiri panggung sangat jelas melihat posisi Mbak Yuni. Suaranya terdengar halus, tulus, penuh muatan dan optimisme. Sorot matanya teduh, menyejukkan dan sesekali berkaca. Gesture-nya juga menandakan bahwa malam hari itu beliau sangat merasa bersyukur. Bersyukur melihat seluruh rakyatnya berkumpul. Tidak ada jarak antara pemimpin dengan rakyat. Semua guyub, semua rukun melalui wasilah Sinau Bareng Cak Nun.
Bukankah itu ciri seorang pemimpin? Bukankah itu karakter pemimpin yang kita cari dan rindukan selama ini? Pemimpin yang tulus, dekat dengan rakyat, ajur-ajer, ngemong dan ngayomi.
Di akhir sambutan, Bu Bupati berpesan kepada kaum muda khususnya dan seluruh warga Sragen pada umumnya untuk setia menjaga dan melestarikan budaya guyub rukun, kerjo tekun, nyawiji bekti kanggo bumi Sukowati. Selaras dengan tema Sinau Bareng malam itu.
Untuk kejangkepan tasyakuran malam itu, dilakukanlah prosesi potong tumpeng. Sebelum tumpeng dipotong, Mbah Nun sedikit menguraikan perihal filosofi tumpeng.
“Tumpeng itu bentuknya melingkar. Mubeng. Semakin ke atas semakin mengerucut. Lingkaran itu bukan kotak-kotak. Tidak ada sekat-sekat di dalamnya. Lingkaran mestinya bisa menampung, menerima, mengajak semua untuk bersama-sama meraih titik puncak. Siapa puncaknya, Allah Swt. Lingkaran dapat diasumsikan sebagai apa saja. Individu, kelompok, komunitas, agama, instansi, sekolah, pesantren, kabupaten, negara, dan sebagainya”, jelas Mbah Nun.
Kenapa pucuk tumpeng harus dipotong? Pucuk yang lancip itu merupakan simbol derajat yang tinggi. Dan manusia harus mau dan mampu untuk kembali ke bawah, sebab segala tingkat kesuksesan manusia, yang menjadikan ia berderajat tinggi semata hanya karena izin Allah. Yang berhak di atas hanya Rabb. Manusia-hamba letaknya di bawah. Perspektif ini saya dapatkan dari mas Silok, ketika bertemu beliau di belakang panggung saat acara Sinau Bareng berlangsung. Kamsahamnida mas Silok.
Ada lagi seorang Kiai sepuh di kampung saya mengatakan, Tumpeng itu maksudnya Tumuju ing Pengeran. Tumuju artinya menuju, mengarah ke. Pengeran adalah Tuhan, Allah Swt. Pesan tersiratnya adalah, baiknya segala perbuatan dan pekerjaan kita ini selalu ditujukan ke Allah (ibadah). Atau setiap kali kita melakukan usaha dan usaha itu berhasil, maka kita wujudkan rasa syukur tersebut dengan potong tumpeng. Melangit untuk membumi. Meninggi untuk turun kembali.
Dengan ucapan bismillah, dan diiringi tepuk tangan meriah dari seluruh jamaah, Ibu Bupati memotong tumpeng sebagai perwujudan rasa syukur yang mendalam atas kemesraan, dan keguyub-rukunan malam itu.