CakNun.com

Bangkitnya Kesadaran Meruang Demi Keamanan Bersama

Reportase Sinau Bareng CNKK di Polres Kediri, 5 Juli 2018
Muhammad Zuriat Fadil
Waktu baca ± 6 menit

Sinau Bareng digelar di halaman belakang kantor Polres Kediri, pada 5 Juli 2018 M. Reportase dan laporan pantau-pantau singkat mengenai suasana sekitar lokasi sebelum acara sudah saya tuangkan sebelumnya Dalam Tempo yang Semesra-mesranya di Halaman Belakang Polres dan Generasi Pribumi Digital dan Sinau Bareng. Walau kekuarangannya, pada saat menuliskan reportase singkat itu saya belum mendengar kabar tentang adanya ledakan di Bangil, Pasuruan. Apakah keamanan di sekitar lokasi acara juga terpengaruh dari kabar itu? Nah itu saya tidak bisa memasti-mastikan.

Satu hal tentu akan berpengaruh pada hal lainnya. Tapi memutuskan hubungan sebab-akibat, itu hal yang sulit. Rasanya itu kandungan peringatan Kanjeng Nabi Muhammad Rasulullah Saw ketika menegur sahabat-sahabat yang berkata langit ikut menangis saat putra baginda Rasul yang bernama Ibrahim meninggal ketika masih bayi. Dalam term keilmuan modern biasanya disebut “bisa saja berhubungan tapi belum tentu faktor penyebab utama”.

Faktor penyebab utama atau hubungan sebab-akibat antar variabel tidak bisa diputuskan serampangan. Apakah karena ikut pengajian tertentu orang lantas jadi pelaku bom bunuh diri? Maka dalam penelitian ilmiah, pilihannya adalah mengurung variabel. Karena kalau tidak, kita akan harus ikut memperhitungkan itu orang sebelum membom, paginya makan apa? Punya hutang apa tidak? Seberapa besar hutangnya? Sedang punya masalah apa? Dan lain sebagainya.

Apakah karena ledakan di Bangil, Pasuruan maka keamanan diperketat? Apakah karena digelar di Pare Kediri maka tampaknya kaum sarungan Nahdliyyin tampak mendominasi riasan busana para jamaah? Ah, tidak juga. Itu banyak kaum cadaran dan yang bercelana cingkrang. Di luar mereka mungkin akan di-wahabi-kan. Satu hal, menurut peresapan saya belakangan ini, dianggap wahabi jadi sama seramnya dengan dianggap bid’ah, sesat dan kafir pada beberapa tahun lalu.

Syukurlah pada gelaran Sinau Bareng, semua orang merasa aman satu sama lain. Lagipula, mungkin gadis-gadis yang bercadar ini hanya melindungi paru-paru lembut mereka dari serbuan asap rokok. Bukankah dulu gunanya cadar juga untuk melindungi napas dari debu padang pasir? Fungsinya apapun, estetikanya begitu. Akhlaq yang membuat manusia indah di mata orang lain. Akhlaq yang mengamankan.

Satu pertanyaan dari soerang jamaah ditujukan kepada Pak Kapolres, mengenai keresahannya soal radikalisme, bagaimana memetakan polanya dan bagaimana pencegahannya? Tentu jawaban yang bisa diberikan oleh pihak kepolisian adalah jawaban yang bersifat legal-formal. UU yang memayungi tindakan preventif, misalnya dan sebagainya.

Oleh Mbah Nun pemetaannya kemudian diberikan lebih cair. Bahwa kita mesti mengenal panggonan dan maqom kita masing-masing dulu. Kepolisian, oleh Mbah Nun, jangan kita tuntut-tuntut untuk melakukan hal yang di luar kewenangannya, tindakan pencegahan misalnya. Jangan menjadikan tugas kepolisian lebih berat dengan harus menelusuri akar persoalan radikalisme. Karena faktor yang melambari hal itu bisa sangat banyak dari karut-marut politik nasional, ketidakadilan politik global, kesalahkaprahan pendidikan dan lain sebagainya.

Kalau kita mau ikut-ikutan mengurusi akar persoalan yang bisa saja banyak sekali itu, kita hanya akan terjebak pada sikap menuduh aliran atau pihak lain sebagai penyebab persoalan. Dan dengan sendirinya tergoda untuk tampil heroic dengan cara memusuhi (membasmi, membubarkan) golongan yang dianggap penyebab utama persoalan itu.

“Polisi tugasnya, begitu ada yang berlaku merusak keamanan bersama ya ditindak. Sudah!”, tegas Mbah Nun. Tentu saja dalam kepolisian ada penyelidikan, penyidikan dan seterusnya tapi itu bukan tugas kita. Mbah Nun juga sempat menyampaikan bahwa keamanan dapat kita peroleh bersama dengan kita berusaha memahami posisi pihak lain. Berusaha meruang, menjembar dan menampung. Bukan jadi perabot yang mudah dibenturkan dengan benturan lain.

Jujur saya agak was-was ketika memperhatikan dari belakang bagaimana para JM berusaha menyeruak masuk sementara petugas kemanan menutup pagar. Sayangnya beberapa kali pagar terpaksa dibuka dan itu membuat arus jamaah yang berhasrat melepas rindu memanfaatkan kesempatan. Tensi keamanan bisa kita pahami kalau mengingat ada kasus yang barusan terjadi, kerinduan para Jamaah juga bisa kita mengerti.

Tradisi semacam “ngalap berkah” pada sosio-kultur kaum santri juga sepertinya punya andil. Was-was, agak khawatir saya memperhatikan. Andai tensi keamanan tidak sedang tinggi, saya rasa pilihan terbaik bagi para penjaga keamanan adalah membuka pagar selebar mungkin, biar para jamaah masuk. Dan kalau memang sudah tidak ada tempat baru, mereka akan memilih duduk di luar, menikmati acara dari proyektor, sambil jajan bakso dan ngobrol dengan kenalan-kenalan baru. Saya sempat berkenalan dengan Mas Ibnu dari Kediri. Ini adalah Mas Ibnu kedua, yang pertama di ReLegi Malang dan Mas Ibnu yang ini pemilik sebuah warung kopi (Warung Tengah Sawah, kalau saya tidak salah ingat namanya) di dekat balai kota Kediri.

“Kalau di Jawa bagian timur, kultur Maiyahannya memang condong ke NU yah?” Saya sempat nanya ke Mas Ibnu. Bagi Mas Ibnu, memang kultur tradisi yang melekat ya seperti itu. Walau diakuinya dia sendiri belum pernah ke Maiyahan di wilayah selain Jawa Timur. Paling sering ke Padhangmbulan katanya. Saya bertanya begitu ketika menyaksikan beberapa jamaah bersholawat lirih agak sedih ketika pagar kembali ditutup oleh keamanan.

Lirih sholawatan yang lembut itu melelehkan pagar besi, kunci membuka dan para jamaah berhasil masuk dan bertatap dengan wajah Sang Guru yang dicinta dan dirindui.

Nah itu mungkin harapannya, atau imajinasi saya yang agak teatrikal. Kisah-kisah agak berbau magis seperti penjara Nelanda membuka karena disholawatin dan sejenis-sejenis itu sebenarnya agak erat kaitannya dengan eksperimen sosial Hurgronje. Walau saya sendiri tidak bisa melepaskan diri dari keyakinan semacam itu. Kan, berkeyakinan seperti itu tidak salah juga tho?

Lainnya

Duka Cinta Indonesia

Duka Cinta Indonesia

Sejak siang hujan cukup deras mengguyur kota Pati hingga dimulainya Maiyahan Suluk Maleman di Rumah Adab Indonesia Mulia.

Kenduri Cinta
Kenduri Cinta