Bangkitnya Kesadaran Meruang Demi Keamanan Bersama
Saya mengagumi kultur Nahdliyyin dan bagaimana istilah Nahda yang dalam sejarah politik Timur Tengah adalah justru usaha modernis dan reformis Islam Mesir. Di sini dielaborasi oleh para ulama sepuh menjadi lekat dengan tradisionalitas.
Gerakan Nahda, kebangkitan, adalah produk pasca keberhasilan Napoleon pada akhir 1700-an menundukkan Mesir dengan memanfaatkan seni dan ilmu pengetahuan sosial. Cikal bakal dari orientalisme modern yang berhasil merasukkan selera Eropa, cita rasa dan bahkan menginternalkan pandangan identitas kaum muslim bahwa mereka perlu meraih apa yang telah diraih Eropa. Kebangkitan Nahda di Mesir adalah bangkit dengan cita rasa Eropa. Negara seperti Eropa. Seni, demokrasi, nation-state, pergerakan dan lain sebagainya untuk mengejar ‘ketertinggalan’ kaum muslim dari Eropa.
Upaya menjawab serbuan pertanyaan Eurosentris, apakah Islam punya Negara? Apakah Islam bisa punya organisasi pergerakan? Apakah Islam itu demokratis? Pluralis? Dllsb, kaum Muslim kemudian sibuk mencari legalitas tafsir untuk menjawab tantangan ini, yang tanpa sadar sudah menjebak dengan sendirinya. Setuju ataupun tidak, dengan pernyataan dan pertanyaan itu.
Rifa’ah Rafi’al Tahtawi yang mengagumi Paris pulang ke Mesir dengan membawa kekaguman itu dalam kitabnya. Dalam pemikiran politik, berkembangnya Jamaluddin al-Afghani, Rasyid Ridha dan Muhammad Abduh. Euforia Nahda dibawa oleh pembelajar-pembelajar dari Nusantara yang menimba ilmu di Mesir dan pulang ke sini menjadi gerakan Kaum Muda.
Di sini benturan dengan Kaum Tua tak terhindarkan, HOS Tjokroaminoto walau secara usia cukup sepuh namun bisa menerima mereka. Konon karena keakraban Kyai Wahab Chasbullah dengannya lah kata Nahda sering dipakai seperti misal Nahdatul Tujjar, Nahdatul Wathan dan sejenisnya. Walau kemudian pada puncaknya kita tahu Kyai Wahab Chasbullah memilih menemani Mbah Hasyim yang berusaha ngemong hati Kaum Tua, yang kecewa karena HOS Tjokroaminoto yang dipilih untuk menghadiri konfrensi ulama dunia pasca Revolusi Arab-nya Ibn Saud.
Pada masa itu, keberhasilan menggelar konfrensi ulama dunia akan menjadi legitimasi sebagai penerus tradisi kekhilafahan. Di tengah kegamangan politik pasca amburadulnya Turki Usmani, pewaris tahta khilafah menjadi tanda tanya besar. Sayangnya Jepang malah lebih berhasil dari Mesir maupun penguasa Haramain. Keberhasilan Jepang mencitrakan diri sebagai pusat peradaban Islam baru juga mengakhiri perseteruan Kaum Tua dan Kaum Muda, serta merangkum kaum nasionalis. Karena punya musuh bersama yakni Eropa dan Amerika.
Kata Nahda punya romantisme perjalanannya sendiri hingga ke sini. Nahdhatul Ulama, adalah cara manusia Nusantara yang sejati. Mengelaborasi sesuatu yang masuk kemudian meraciknya agar berresonansi dengan ke-Nusantara-an. Itulah kenapa dia tidak perlu mengembel-embelkan Nusantara di belakang namanya. Karena dari pengalaman Nahda di Mesir, kita tahu rasa cinta tanah air dan budaya sendiri bisa saja adalah hasil dari ideologisasi kaca mata pandang orientalis. HOS Tjokroaminoto, Wahab Chasbullah dan Mbah Hasyim Asy’ari, pun KH Ahmad Dahlan, bagi saya adalah kejeniusan Nusantara itu sendiri.
Rupanya pembagian tugas antara HOS Tjokroaminoto, Mbah Hasyim dan Ahmad Dahlan atas kemampuan manajerial Syaikhuna Kholil juga sempat disinggung oleh Mbah Nun malam itu. Walau singkat, ini jadi kunci berharga bagi kita yang berniat mempelajari apa dan bagaimana warisan para leluhur.
Generasi-generasi Maiyah belajar meruang, menampung ruang dan waktu. Harapan besar bagi generasi ini, yang belajar mandiri tanpa terintimidasi dan keracunan polusi kata-kata. Tidak keburu memuja satu produk, biar pun tampak indah dan seolah membela kebudayaan sendiri. Dan tidak keburu memusuhi sesuatu yang dianggap keras kepala. Generasi Maiyah mengambil jarak. Jarak yang cukup untuk menikmati paras barisan polwan yang menyanyikan lagu-lagu Letto.
Saya menikmati ketika pada penghujung acara, generasi-generasi Maiyah ini sambil diantarkan nomor-nomor sholawatan dari KiaiKanjeng, menyalami bapak-bapak polisi yang bertugas mengamankan acara. Generasi baru yang bukan penerus “NKRI harga mati” ini akan jembar dan semakin jembar, meluas merangkum seluruh kekurangan proses sejarah. Memutus kekurangan-kekurangan pendahulu mereka, menyempurnakan dan menggapai harapan pada kebangkitan-kebangkitan yang sesungguhnya. Bukan kebangkitan yang didasari pada keinginan diakui oleh budaya (yang dianggap) dominan. Bismillah, bangkitlah generasi Maiyah.