Ayat yang Mengurusi Wanita
Kaum Muslimin pada umumnya atau atau para pengamat dan penafsir Al-Qur`an pada khususnya, memiliki kecenderungan untuk menganggap bahwa ayat-ayat yang bersangkutan dengan urusan wanita adalah yang memuat sebutan atau indikator formal misalnya lewat kata “an-nisa`” atau “az-zaujah”. Sehingga rujukan yang dipakai untuk mencari landasan nilai atau hukum mengenai wanita kebanyakan hanyalah ayat-ayat semacam itu.
Dalam pandangan saya, kecenderungan itu sesungguhnya merupakan akibat pengkondisian kultural dari model kemasyarakatan patrimonial; atau dengan kata lain, Al-Qur`an sendiri sebenarnya tidak memberi tuntutan yang sempit dan reduktif semacam itu. Maksud saya, dari kecenderungan itu, kita telah melakukan ketidakadilan dengan memandang wanita hanya sebagai wanita, dan kurang atau tidak sebagai manusia.
Ketika kita mendengar ayat Allah “Ya ayyuhannas…” (Wahai manusia!) (yakni setiap Allah mengawali anjuran nilai atau hukum kehidupan)—seperti juga “Ya ayyuhalladzina amanu…” (Wahai orang-orang yang beriman!), kita tidak sepenuhnya menangkap bahwa seruan itu diperuntukkan sekaligus untuk lelaki dan wanita dalam posisi yang sama.
Juga umpamanya hadits “Kullukum raʻin wa kullu raʻin mas`ulun ʻan raʻiyyatihi“ (Setiap kamu adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan ditanyai tanggug jawabnya sebagai pemimpin) belum pernah sungguh-sungguh kita pahami sebagai landasan sikap individu dan sikap sosial yang berlaku persis sama baik bagi lelaki maupun bagi wanita. Dan kita tahu kata-kata Allah itu sangat tegas dan langsung memberi pedoman mendasar bagi rumusan kedudukan, tugas, hak, dan kewajiban baik lelaki maupun wanita dalam mengelola kehidupan mereka.
Tentu kita tidak memberi arti “kullukum” sebagaimana hanya dimaksudkan bagi lelaki, dan karena Allah tak melanjutkannya dengan “wa kullukunna” maka kita memaknakan bahwa pemimpin hanyalah lelaki, sementara wanita tidak. “Kum” di situ mencakup lelaki maupun wanita.
Dengan demikian, kalau Allah saja sudah bilang bahwa baik lelaki maupun wanita itu masing-masing adalah pemimpin, maka jelaslah bagi kita rumus dasar tentang posisi (maqam) dan tugas, hak, kewajiban (kekhalifahan) wanita dalam pergaulan, dan seterusnya.
Dengan demikian pula, maka tampaknya kita wajib mempertanyakan kembali pandangan-pandangan baku mengenai—misalnya—bahwa “lelaki adalah pemimpin atas wanita”, bahwa “dalam rumah tangga otoritas tertinggi dipegang oleh suami”, atau bahwa “istri wajib mematuhi suami”—apalagi jika otoritas tunggal itu dipakai untuk eksploitasi, untuk meletakkan wanita sebagai budak yang taat tanpa reserve.
Kalau toh kita mempertahankan bahwa istri wajib taat kepada suami, sementara suami boleh tidak taat kepada istri: kita tetap harus mempedomankan segala hal yang harus dipatuhi itu pada berbagai nilai kemanusiaan, pergaulan, hubungan sosial, serta makna-mana kehidupan lain yang secara lengkap telah dituturkan Al-Qur`an. Atau dengan kata lain, paling jauh kita hanya bisa menganggap bahwa otoritas suami harus dipatuhi oleh istri itu sekadar merupakan “pola manajemen rumah tangga”, tetapi keseluruhan mekanisme kualitatifnya tetap berada di bawah pedoman kebenaran keislaman yang menyangkut takwa, keadilan, cinta kasih, keseimbangan, dan seterusnya. Artinya, otoritas (manajemen) itu tetap wajib mematuhi nilai-nilai sejati kebenaran Islam yang universal, yang mengatasi secara adil baik lelaki maupun wanita.
Secara khusus ingin saya mengemukakan ketidakmengertian (bukan sanggahan) saya terhadap beberapa kecenderungan tafsir Al-Qur`an, khusus terhadap ayat-ayat yang secara langsung menyebut kasus wanita.
Umpamanya Surah An-Nisa` ayat 19: “Hai orang-orang yang beriman! Tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa, dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan perbuatan keji yang nyata….”
Dalam sebuah penerbitan resmi Al-Qur`an dan Terjemahannya, bagian kalimat “…kecuali mereka melakukan perbuatan keji yang nyata…” itu diberi catatan kaki dengan maksud: membangkang perintah suami atau menyakiti hatinya.
Mungkin ada asbabun nuzul atau rujukan konteks historis tertentu yang tak saya ketahui sehingga saya gagal memahami bahwa “melakukan perbuatan keji yang nyata” itu identik dengan “membangkang perintah suami”. Saya baru sanggup melihat bahwa tafsir semacam itu merupakan tindak penyempitan atau reduksi makna yang bukan saja picik dan mengandung kecurangan, tetapi juga sangat berbahaya. Terutama apabila dalam praktik budaya rumah tangga, tafsir itu dieksploitasi untuk melegitimasi otoritas buta kaum lelaki yang memenjarakan wanita dalam keharusan patuh yang sama butanya.
Contoh lain umpamanya pada surah yang sama ayat 3: “…maka kawinilah wanita-wanita yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berbuat adil, maka seorang saja…”. Bagian “tidak dapat adil” diberi catatan: Berlaku adil ialah perlakuan yang adil dalam meladeni istri, seperti pakaian, tempat, giliran dan lain-lain yang bersifat lahiriah.
Suatu ketidaktahuan yang sama pada ayat di atas menyebabkan saya gagal memahami bahwa “tidak dapat berlaku adil” itu artinya sedemikian fisik dan kuantitatif. Saya tidak mengerti bahwa Al-Qur`an yang agung memuat makna di mana keadilan ternyata bukan kualitas melainkan kuantitas. Saya mungkin menangis mendengar Anda mengawini empat wanita dan memelihara mereka cukup dengan membikinkan rumah yang sama, membelikan pakaian yang sama atau merk softex yang sama. Tetapi insya Allah saya tak akan pernah percaya bahwa Al-Qur`an mengajarkan kebodohan semacam itu.
Sementara saya ingin menabung pendapat bahwa hukum pembolehan lelaki mengawini empat wanita, sesungguhnya merupakan misteri (seperti halnya perintah shalat subuh dua rakaat dan bukan 44 rakaat) yang mungkin harus kita gali rasionalitasnya melalui berbagai ilmu, pendekatan, dan pengalaman, atau cukup kita imani saja bahwa itu benar dan pasti mengandung hikmah—ingin sedikit saya lanjutkan mengenai an-Nisa’ ayat 3 di atas.
Selama ini kita cenderung memenggal ayat tersebut: kita langsung berangkat (memahaminya) dari “Fankihu…” (maka kawinilah). Padahal itu berada dalam konteks yang dijelaskan oleh penggalan sebelumnya. Didahului (di ayat-ayat sebelumnya) oleh ungkapan tentang dasar-dasar penciptaan, tentang takwa, silaturahim, tentang take and give, hak-hak dan penyantunan anak yatim, ayat 4 itu berbunyi, “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap perempuan yatim…”, baru disebut “Maka kawinilah…”. Dengan demikian, secara harfiah ia tidak berbunyi langsung “inkihu” melainkan “fankihu”, artinya—secara maknawi—pembolehan itu berada dalam konteks yang tertentu dan berkaitan dengan segi-segi kehidupan yang lebih luas.
Soal lain adalah kecenderungan kita untuk lebih mengambil titik berat ayat itu pada “…dua, tiga atau empat”, bukan pada “jika kamu takut tak bisa berlaku adil”. Oleh karena itu, tafsir dan pemahaman kita mengenai rumusan keadilan berumah tangga kurang berkembang. Kita lebih banyak berkutat pada pertentangan kuantitatif antara poligami dan monogami, dan kurang mendalami penghayatan atas makna-makna keadilan. Lebih jauh lagi kita tidak pernah menganggap serius bahwa “bila kamu takut tak bisa berlaku adil” juga merupakan landasan hukum perkawinan yang sama penting dengan boleh tidaknya poligami. Dengan demikian, kita juga tak pernah berpikir logis bahwa “ketidakmampuan untuk berlaku adil” akan dengan sendirinya bermakna larangan berpoligami.
Pertanyaan-pertanyaan yang saya ajukan terhadap beberapa kecenderungan tafsir tersebut sebenarnya saya maksudkan sebagai usaha untuk lebih melacak kesejatian kebenaran. Umpamanya, kalau kita bersikeras bahwa ayat ”ar-rijal qawwamuna ʻala an-nisa`” berarti “lelaki adalah pemimpin atas wanita”, maka kita harus sangat waspada terhadap syarat-syarat kepemimpinan yang dituntunkan Al-Qur`an dalam berbagai ayat lain. Sederhananya: kalau memang lelaki kualitas kepemimpinan (raʻiyyah) sehingga apa-apa yang harus dipatuhi darinya hanyalah hal-hal yang Islami—dan itu tuntunannya amat luas dan lengkap dalam Al-Qur’an. Bahwa “lelaki itu pemimpin”, itu hanyalah salah satu dari banyak dimensi lain yang wajib dipenuhinya sebagai pemimpin.
Kepemimpinan, menurut Islam, terletak tidak pada otoritasnya, tapi pada fungsi kekhalifahannya; tidak pada kelembagaannya tapi pada kualitas (keislaman)-nya. Selebihnya tetap terbuka berbagai kemungkinan makna dari konteks qawwamuna: itu bisa kita gali dan kita hitung dari level hakikat kewanitaan, hakikat kelelakian, dan hakikat kemanusiaan, atau hakikat kehidupan ini seluruhnya; juga dari tarikan teoretis berdasarkan pengalaman sejarah manusia, sistem hubungan sosialnya, dialektika psikologisnya, atau segi-segi lain. Selama ini sebenarnya kita (ilmu pengetahuan manusia) belum benar-benar mengenal apa, siapa, kenapa, bagaimana lelaki, wanita dan manusia. Yang lebih kita mengerti hanyalah baju-baju kebudayaannya, wajah perilaku luarnya, gerak fungsinya, atau lapisan-lapisan pembungkusnya.
Kalau sudah lebih jelas pengertian-pengertian kita tentang prinsip-prinsip dasar dari Al-Qur`an yang menyangkut wanita, lelaki, dan manusia, baru kita akan bisa “tidak terlalu tersesat” menelusuri maqam mereka dalam sejarah (proses dan bangunan individualitas, sosialitas, dan seterusnya) termasuk pada tahapannya yang kita sebut “realitas dunia modern”.
Sesudah itu—dengan “mata pandang Qur`ani”—insya Allah lebih jelas bagi kita apa sesungguhnya yang terjadi dengan tema-tema “antara karier dengan rumah tangga”, “eksploitasi bisnis atas wanita”, “keterkaitan kaum wanita dengan lahan sejarah yang ditaburi bibit liberalisme, sekularisme, materialisme, dan seterusnya”, “emansipasi wanita”, “kebebasan wanita modern”, serta beratus judul yang lain.
Masa Kini, 22 Mei 1988
**Tulisan ini juga telah diterbitkan dalam buku “Surat Kepada Kanjeng Nabi”