Aroma An-Nahdlah Terasa Sangat Menyengat di UNAIR
Kita hanya sah bisa bicara kebangkitan ketika kita tahu dan mengakui bahwa kita terpuruk. Pada bidang apa saja terpuruknya, siapa, apa dan bagaimana bentuk keterpurukannya. Kapan mulai terpuruk? Dan juga tak kalah penting, kenapa bisa terpuruk? Kalau tidak, kita akan terpeleset lagi dan lagi, menyangka kebangkitan padahal hanyalah bentuk keterpurukan yang lebih mewah.
Itu terjadi ketika gelombang gerakan “An-Nahdlah” lahir di Mesir, gerakan yang walau banyak baiknya pada sisi rasional, tetapi lebih banyak merasa perlu ‘bangkit’ karena merasa lebih rendah daripada peradaban renaissance Eropa, sehingga elaborasi kebangkitan An-Nahdlah lebih banyak adalah respons reaktif terhadap peradaban Barat.
Kata nahdlah ini pada akhirnya masuk juga ke Nusantara, menyebar di Sumatera dan Jawa, terserap walau kemudian sedikit terombak pemahaman mengenainya. Wacana kebangkitan “An-Nahdlah” di Nusantara kemudian lebih mengerucut pada keberdayaan patron agamawan lokal, ulama dalam definisi yang sudah dipagari pemaknaannya. Ini sedikit hal yang bisa kita pelajari mengenai wacana “kebangkitan”. Kita tidak bisa mengulangi kesalahkaprahan kebangkitan. Bekal sejarah kita sudah cukup, kita perlu menuju kebangkitan yang sesejatinya.
“Apakah ini, kalau bukan kebangkitan namanya?” suara Mbah Nun bergaung di penghujung malam. Memantul pada dinding-dinding kampus, menggema, dan terulang-ulang dalam kesadaran para jamaah yang hadir malam ini. Sabtu malam yang mengawali bulan Desember 2018 M di Universitas Airlangga, Surabaya.
Mungkin itulah kenapa Mbah Nun sejak mulanya acara Sinau Bareng malam ini sudah langsung mengajak para hadirin untuk melatih dan mengokohkan bangunan kuda-kuda logika, seperti yang kami tuangkan dalam liputan singkat sebelum ini. Logika yang melatih kita waspada.
Kampus Unair sedang syahdu malam ini, terasa tenang dan bening. Gedung Rektorat berdiri tepat di depang panggung, sementara gedung-gedung hotel tampak mengepung dari penjuru Surabaya. Sejak awal saya merasakan ketenangan sekaligus kegelisahan, juga nyamuk banyak hinggap di kaki dan tangan tiap kali duduk. Mungkin dua danau buatan yang menarik mata, yang letaknya persis di belakang panggung, itu turut membantu mensukseskan program keluarga nyamuk, atau bagaimana saya kurang paham. Tapi ada hal baru yang saya dengar dari Mbah Nun, agak puitis namun sukses menggambarkan yang saya rasakan, “Malam ini aroma kebangkitan terasa sangat menyengat”.
Mbah Nun tiba di panggung, dibersamai oleh jajaran rektorat Unair. Mbah Nun mempersilahkan bapak rektor beserta rekan-rekan beliau untuk kapan saja ketika dirasa cukup malam, boleh memutuskan untuk pulang dengan pertimbangan tentu seorang rektor lebih padat jam kerja dan lebih banyak ragam urusannya. Namun hingga pada akhir acara, tidak satupun yang meninggalkan acara. Pak Rektor bahkan ketika menutup acara Sinau Bareng, pada dinihari pukul 01.00 WIB sempat berkata, “Saya tidak menyangka bisa kuat mengikuti sampai akhir karena biasanya saya tidak kuat begadang.” Mungkin Pak Rektor bahagia. Tampaknya begitu.
Ada dialektika kemesraan yang menyenangkan ketika MC mempersilahkan para civitas, mahasiswa-mahasiswi Unair untuk berdiri dan menyanyikan lagu kampusnya. Hanya yang anggota Unair, yang bukan dipersilakan tetap duduk. Mbah Nun langsung mengambil microphone dan mengajak, “Anda dan kita semua dijamu malam ini, mari kira hormati tuan rumah kita.” segenap JM yang hadir mengerti, seluruh hadirin pun bangkit berdiri. Kemesraan ini, apa namanya kalau bukan kebangkitan?