CakNun.com

Aroma An-Nahdlah Terasa Sangat Menyengat di UNAIR

Catatan Sinau Bareng dalam rangka Dies Natalis UNAIR ke-64, 1 Desember 2018
Muhammad Zuriat Fadil
Waktu baca ± 6 menit

Karena ini di Unair, Mbah Nun tentu memprioritaskan mahasiswa Unair untuk didadar sebagai satria masa hadapan. Beberapa mahasiswa ikut dalam merembug pertanyaan-pertanyaan Mbah Nun. Walau ternyata ada juga dua pemuda yang dari STM jurusan kelistrikan.

Bapak yang duduk sendirian di belakang saya sangat menikmati tampaknya, beberapa kali terbahak-bahak. Sempat mencolek saya dan bertanya, “Mas, Unair?” Tentu bukan. Beliaunya langsung memberi informasi, “Kalau saya sih Bonek.” Kemudian jadi ngobrol sebentar. Bapak ini, mengenakan peci, baju koko hijau dan sarungan (tapi Bonek) mengaku sudah sejak awal mula majelis-majelis Maiyahan di Surabaya beliau selalu datang.

Workshop musikal-teatrikal yang dipandu Mas Doni, Pak Jijit dan Pak Yoyok juga malam ini memecahkan suasana menjadi ledakan tawa tapi berisi hikmah. Dari workshop lagu dolanan, kita diajak menguji mental silaturrahim, kualitas kebersamaan, kemandirian pikir, mengokohkan organisme sampai bagaimana menangkal disinformasi hoaks.

Mbah Nun menyampaikan, bahwa orang Indonesia perlu siap berpikir tanpa presiden. Ada tidak ada presiden, bahkan boleh kita kembangkan mungkin, ada tidak ada negara sekalipun kita harus bisa tetap menjaga paseduluran dan kekompakan di antara kita. Selama ini orang membikin sistem negara kan supaya bersatu, tapi kalau ada negara malah terpecah-pecah mungkin urgensi presiden dan negara boleh kita kebelakangkan dulu. Persaudaraan nilainya jauh di atas sekadar Pilpres, bahkan jauh di atas Negara. “Siapa pun pemerintahnya dan presidennya anda harus berdaulat dan bisa memimpin dirimu sendiri,” ungkap Mbah Nun. Ini juga dilanjutkan dengan konsep jihad akbar, jihad memimpin diri sendiri.

Malam ini Unair memang dijanjikan oleh Mbah Nun akan dihadiahi yang sulit-sulit. Bukan mau menyulitkan, tapi inilah bentuk ndeder satria, Unair dibuat jadi kawah candradimuka. Pertanyaan yang beratatus homework, PR diberikan oleh Mbah Nun.

Pertanyaan berupa, dari mana asal beberapa idiom dalam Pancasila, serta apa maksud kalimat “hal-hal yang mengenai peralihan kekuasaan dan lain-lain akan dilakukan dengan cara seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya”, peralihan kekuasaan apa, dari siapa ke siapa? Sudah? Kapan? Pernah terjadi? Saya tambahkan sedikit boleh ya, bahwa pernyataan pengakuan kemerdekaan PM Belanda pada tahun 2005 memang belum sepenuhnya karena tampaknya tidak ada konsekuensi dari pernyataan tersebut. Tapi kita juga perlu waspada, karena peristiwa-peristiwa yang sering kita kenang dengan heroik seperti 10 November, justru adalah senjata diplomasi Belanda karena di dalamnya terdapat pelanggaran-pelanggaran perang berat dengan korban-korban dari warga sipil kulit putih. Garis Surabaya-Malang adalah salah satu saksi peristiwa-peristiwa tersebut.

Satu jawaban cukup baik muncul dari seorang JM yang bekerja sebagai pegawai negeri sipil. Tanya jawab Mas ini dengan Mbah Nun, timbal-balik, agak menuju persedatan tapi mesra. Inilah Sinau Bareng memang. Saya sepakat ketika Mas ini bilang, “Proklamasi hanya mempersiapkan fisalafat kemerdekaan.” Tapi mungkin saya kurang sepakat ketika dikatakan, “Proklamasi untuk membakar semangat rakyat.” Kenapa saya kurang setuju? Karena aslinya peristiwa proklamasi, itu sunyi, sepi. Hanya beberapa puluh orang yang tahu. Pertama itu hanya menyebar di kalangan militer PETA. Sedangkan PETA sendiri masih berposisi setuju atau tidak, persebaran informasinya cukup lama. Konon Soekarno sedang pilek saat itu. Rekaman proklamasi yang sering kita dengar sekarang ini baru take rekaman di RRI beberapa tahun kemudian.

Kekhusyukan malam ini diperdalam dengan nada-nada kontemplatif, KiaiKanjeng melantunkan Paman Sing Nguyan Jaran dan Tembang Setan. Rasanya kelokan nada, tikungan genre dalam Tembang Setan ini hanya bisa disamai oleh Bohemian Rapshody-nya Queen. Tapi Mbah Nun membabarkan ilmu dari keragaman genre dalam satu nomer tersebut. Bahwa genre, madzhab dan sebagainya itu semu-semu belaka. Kalau di musik ada genre, di wilayah keagamaan ada mazhab-mazhab, ada aliran ini-itu. Kapan bermulanya? Jangan-jangan tidak ada semua itu, hanya ada beda metode menjangkau pemahaman. Kira-kira semacam itu Mbah Nun sampaikan.

Lainnya

Exit mobile version