Apakah Tiap Orang Berkualitas, Layak Dijadikan Pemimpin?
Kejutan terjadi di Piala Dunia 2018. Jerman yang notabene adalah juara bertahan harus angkat koper, pulang kampung, mudik dari Rusia. Sebenarnya tidak mengagetkan juga, karena dalam 2 edisi Piala Dunia sebelumnya kesebelasan Italia di Piala Dunia 2010 dan kesebelasan Spanyol di Piala Dunia 2014 juga harus memesan tiket pesawat lebih cepat untuk kembali ke Negara mereka setelah gagal menembus babak 16 besar. Banyak yang menyebut bahwa yang dialami oleh Italia, Spanyol dan Jerman ini adalah kutukan juara bertahan.
Jika merujuk pada format peserta 32 Negara. Piala Dunia dengan peserta sebanyak 32 Negara dan sistem 3 poin di fase grup ini baru digelar sejak Piala Dunia 1998. Dan sejak itu, hanya Brasil (Juara Dunia 2002) yang berhasil melenggang lebih jauh di babak selanjutnya. Perancis yang menjuarai turnamen di tahun 1998, harus pulang lebih dulu di Piala Dunia 2002.
Namun, saya sendiri memiliki sebuah catatan khusus. Bahwa ada salah satu sebab mengapa kesebelasan juara bertahan di Piala Dunia selalu tumbang dalam 3 edisi terakhir. Yakni faktor kepemimpinan yang hilang dari masing-masing kesebelasan. Saya bukan membicarakan siapa kapten kesebelasan secara personal. Ini bukan siapa orangnya. Tetapi tentang sikap mental seorang pemimpin. Tidak semua kapten kesebelasan adalah pemimpin di setiap kesebelasan.
Berbicara pemimpin, maka kita berbicara tentang karakter. Pemimpin adalah teladan. Pemimpin adalah leader. Pemimpin adalah orang yang disegani, bukan ditakuti. Ketika tim sepakbola menghadapi kebuntuan, seorang Pemimpin akan segera mengambil keputusan untuk mengeluarkan timnya dari persoalan. Jika ada kebakaran, pemimpin adalah orang yang paling terakhir keluar dari rumah setelah menyelamatkan seluruh penghuni rumah. Jika sedang panen besar, pemimpin adalah orang yang terakhir kenyang setelah seluruh anggota keluarganya makan. Dan jika ada musuh datang, pemimpin adalah panglima yang memimpin pasukan, mengambil keputusan yang tepat untuk mengalahkan musuh. Ada banyak kisah heroik di pertandingan sepakbola yang memberi contoh betapa keteladanan seorang pemimpin itu sangat dibutuhkan.
Di Maiyah, kita mempelajari bahwa Pemimpin yang sejati bukanlah dia yang mencalonkan diri untuk dipilih menjadi Pemimpin. Pemimpin dipilih menjadi Pemimpin karena kualitas personal dan sikap mental yang terbangun dalam diri seseorang. Kontestasi Pilkada yang baru saja digelar di beberapa daerah sejatinya bukan dalam rangka memilih Pemimpin. Yang dilakukan adalah memilih “Tenaga Kerja” nomor 1 di tiap-tiap daerah untuk mengelola Pemerintah tingkat Provinsi atau Kabupaten. Begitu juga tahun 2019 mendatang. Ketika Pemlihan Umum dilangsungkan, sebenarnya yang kita lakukan adalah memilih “Tenaga Kerja” nomor 1 di Indonesia untuk mengelola Negara.
23 pemain yang telah diseleksi oleh setiap pelatih kesebelasan Negara kontestan Piala Dunia, tidak ada satu pun pemain yang dengan sombong menawarkan diri kepada pelatih untuk dijadikan kapten kesebelasan. Seorang pelatih akan mempertimbangkan banyak hal untuk menentukan siapa yang layak dijadikan sebagai kapten kesebelasan. Bahkan keputusan pelatih untuk menentukan siapa yang menjadi kapten tim juga tidak sepenuhnya tepat. Di beberapa kesebelasan, justru ada pemain yang lebih mampu menjadi leader padahal ia bukan kapten kesebelasan.
Apa yang terjadi pada Jerman di Piala Dunia 2018 kali ini adalah karena tidak ada faktor kepemimpinan di dalam tim. Jika kita menghitung kualitas kemampuan individu dari 23 pemain yang dibawa oleh Joachim Low, bahkan bisa disusun 3 tim yang berbeda dengan komposisi pemain yang kuat. Kedalaman skuad Jerman di Piala Dunia 2018 ini tidak diragukan. Maka tidak heran jika Jerman menjadi unggulan kedua di turnamen ini. Bahkan ada sederet pemain yang memiliki kualitas baik, tidak serta dibawa oleh Joachim Low ke Jerman.
Italia di 2006 memiliki sosok Fabio Cannavaro. Sementara Spanyol di 2010 dipimpin oleh Iker Cassilas. Dan Jerman di 2014 dikomandoi oleh Philip Lahm. Sebagai catatan, Philip Lahm adalah satu dari 4 pemain bintang sepakbola dunia yang selama karier profesionalnya tidak pernah mendapatkan kartu merah.
Seharusnya pemimpin dalam siatuasi genting sekalipun, jangan sampai salah mengambil keputusan. Pertandingan 90 menit di lapangan hijau tentu memiliki tensi yang tinggi. Terlebih dalam turnamen akbar seperti Piala Dunia. Seorang pemimpin kesebelasan haruslah orang yang memiliki kemampuan komunikasi yang baik. Acap kali kita melihat banyak pemain yang gagal berkomunikasi. Baik dengan wasit di lapangan, yang beberapa di antaranya juga merupakan kapten kesebelasan yang seharusnya adalah pemimpin bagi kesebelasannya. Maka ada banyak contoh juga kapten kesebelasan yang terpaksa harus diusir dari lapangan pertandingan sebelum peluit panjang ditiup oleh wasit.
Ketika kita berbicara tentang tatatan pengelolaan Negara pun demikian. Bahwa pemimpin bukanlah tokoh yang berani-berani mencalonkan diri untuk dijadikan pemimpin oleh rakyat. Jika dalam sebuah kesebelasan sepakbola ada tim pelatih yang juga melibatkan Federasi Sepakbola untuk menunjuk salah satu pemain untuk menjadi kapten kesebelasan, seharusnya begitu juga dengan Negara.
Mungkin diperlukan sebuah lembaga semacam Dewan Negara yang di dalamnya merupakan tokoh-tokoh Nasional dengan ekspertasinya masing-masing, yang kemudian menentukan pilihan siapa yang akan ditunjuk menjadi Presiden Republik Indonesia dalam satu periode kekuasaan. Karena jika kita kembali meneruskan tradisi yang sudah ada, bagaimana kita memilih pemimpin dalam setiap kontestasi politik 5 tahunan selalu memilih tokoh yang sudah dipilihkan terlebih dahulu oleh Partai Politik. Sudah terbukti bahwa mereka sama sekali tidak mampu bertugas dengan baik. Ada saja kontrak-kontrak politik yang kemudian membatasi daya jelajah seorang pemimpin yang dilahirkan dari sebuah kesepakatan yang dilakukan melalui lobi-lobi politik.
Saya rasa, kegagalan Jerman di Piala Dunia 2018 ini dapat kita ambil pelajaran. Bukan hanya soal bagaimana mengelola sebuah kesebelasan sepakbola. Karen jika kita berbicara kualitas, 23 pemain Jerman yang dibawa ke Rusia bukanlah pemain yang ecek-ecek. Metode pembibitan pemain sepakbola di Jerman pun sudah berjalan dengan baik. Tapi, bagaimana Der Panzer kehilangan sosok pemimpin di dalam tim mereka adalah sebuah amsal yang layak juga kita pelajari. Di Indonesia ini ada banyak tokoh-tokoh yang berkualitas, namun apakah semua dari mereka itu layak kita jadikan Pemimpin?