Anugerah Musikal: Musik Negeri Maiyah (1)
Sehari setelah pulang dari Padhangmbulan Maret 2018, sahabat saya datang berkunjung. Dia banyak bertanya ihwal kepergian saya ke Jombang. Saya ceritakan secara runut bagaimana saya bisa sampai terhubung dengan Jombang.
“Memang ngomong apa tentang KiaiKanjeng?”, pertanyaan itu muncul seolah meminta jawab dengan cepat.
Tetapi tidak langsung saya jawab. Ada satu kesadaran yang harus saya bangun ulang tentang musik. Bahwa persinggungan saya dengan buku, tulisan, praktisi, sekaligus para ahli di bidang teori musik memang memberikan dampak yang cukup besar di dalam pemahaman saya terhadap musik.
Dari Barat-Timur, Rakyat-Keraton, Tekstual-Kontekstual, Ritual-Hiburan, Modern-Etnik, Seronoh-Sopan, idealis-Industrialis, Imitatif-Inovatif sampai ke ranah Halal-Haram berputar-putar terus selama bertahun-tahun. Itu kenapa, skripsi saya sempat terkatung-katung selama empat tahun. Lima tahun kuliah ditambah empat tahun menggarap skripsi. Lumayan kan?
Maka sebelum menjawab pertanyaan teman saya, saya mencoba merontokkan semua pemahaman saya terhadap musik yang bersemayam di pikiran saya. Seluruh pengalaman musikal saya saya lucuti satu persatu. Baik dari segi penikmat, maupun segi penampil harus saya kosongkan. Karena saya ingin menyajikan jawaban yang memiliki presisi ‘yang tidak terlalu menyakiti’ pemahaman teman saya itu.
Melihat pertanyaannya itu seolah ada bayangan pertanyaan lain, “Memang apa yang istimewa dari musik KiaiKanjeng?”
Ini yang menjadikan saya harus kembali ke titik ‘belum tahu sama sekali’ soal musik. Saya paham pertanyaan itu. Tapi saya tidak cukup yakin bahwa jawaban yang saya berikan akan mampu memuaskan hasrat pengetahuannya.
Bahwa selama ini kita hidup dalam ranah berpikir yang dilingkupi dengan berbagai sekat. Bahwa dunia ilmu pengetahuan pun tidak luput dari pembagian kelas. Termasuk dalam kasus pemahaman terhadap musik. Banyak lapisan yang harus kita kuliti satu persatu dengan penuh kewaspadaan dan kehati-hatian ditambah kerendah hatian.
Secara jasadiyah intrumentalia, kalau sangu kita tidak begitu jangkep, ketika melihat susunan alat musik yang digunakan oleh Kiai Kanjeng, dengan sangat percaya diri kita akan menyebut, bahwa itu musik Campur Sari. Salah? Tidak sepenuhnya. Karena bekal pengetahuan kita sudah terlanjur didominasi oleh pengetahuan parsial. Bahwa kalau ada alat musik Gamelan Jawa ketemu dengan alat musik ‘band’ maka layak sudah itu disebut sebagai Campur Sari. Yang bagi sebagian orang, musik Campur Sari adalah musik yang terlalu memaksakan ‘kodrat’. Musik yang tidak punya rasa percaya diri yang kuat. Kalau gamelan ya gamelan. Kalau Barat ya Barat. Apalagi ditambah dengan penyanyi yang menari-nari meliuk sebagaimana biduan dangdut tapi tampil dengan pakaian kebaya. Tambah semakin banyaklah minus yang ditemukan dalam diri Campur Sari.
Pertemuan bunyi-bunyian logam dianggap tidak terlalu cocok bersanding dengan bunyi-bunyian amplifikatif seperti gitar, bass elektrik, atau keyboard. Bahwa yang demikian itu bagi teman saya sangatlah menggelikan.
Sebenarnya Campur Sari itu seperti jalan tengah. Wilayahnya tidak se-ekstrem proses kreatif musik kontemporer yang saya rasa akan semakin tidak bisa dipahami oleh masyarakat umum sebagai musik. Menyeret Gong, melempari gong dengan telur, membuat musik dari gergaji, memainkan musik dari tong, membuat alat musik dari sayur dan buah, dan beberapa hal yang mungkin bisa menjadi hal yang sangat aneh bagi alam nalar. Wilayahnya juga tidak sepenuhnya berada di kekuasaan musik popular barat. Meski pada akhirnya style musik campur sari bisa dengan mudah diserap dan dimainkan menggunakan alat musik keyboard.
Sedikit saya balik pertanyaan teman saya itu, “KiaiKanjeng hidup di masa sebelum Campur Sari lho.”
Dia mikir setelah setengah kaget. Saya juga.
Memahami musik sekarang ini tidak cukup hanya pada persoalan genre yang juga mengalami ketidaklengkapan analisis. Bahwa skala (komposisi nada, pertautan antar nada, dominasi nada-nada yang digunakan, dsb) tidak boleh lagi dipahami bahwa dia satu-satunya ciri yang menonjol pada suatu genre musik. Bahwa kalau jazz, loncatan nadanya seperti ini, karakter suara, seperti ini. Blues nadanya ini ini ini. Teknik vokalnya ini, karakter sound gitarnya demikian. Dan lain sebagainya.
Dituliskannya skala nada tidak dimaksudnya sebagai upaya legalitas terhadap satu jenis genre musik saja. Tetapi penulisan itu menjadi sistem dokumentasi karya, penanda sejarah, supaya perjalanan sejarah musik menjadi semakin lengkap dengan bukti fisik dokumentasi karya tersebut. Skala nada, menjadi salah satu modal untuk memahami musik. Bukan menjadikannya tembok besar yang membatasi musik itu sendiri. Termasuk penggunaan skala nada pada gamelan Jawa. Pelog Slendro, Manyuro, Pathet 6, Pathet 9, Pathet 5, Lancaran, Ketawang, Ladrang, Sekaran, tembang Dolanan, Ageng, dan berbagai macam dinamika proses kreatif orang Jawa itu sendiri sehingga menghasilkan berbagai macam rangkaian pola-pola permainan musik.
Lalu, jika menggunakan kajian semiotika, nada dianggap sebagai kode-kode musikal non-linguistik yang bisa berdiri sendiri terbebas di luar syair (lirik) sebuah lagu. Disinilah kemungkinan membuat musik dengan lagu secara medley terjadi. Memungkin menerabas batas rasialis. Memungkinkan mehancurkan tembok etnografis. Bahkan memungkinkan mengganti lirik lagu ‘sakral’ dari bangsa lain dengan syair ‘Sholawatan’.
Termasuk urusan genre. Bahwa genre bisa dicermati sebagai pola memasak, mengolah rasa. Susunan nada bisa dimasak sedemikian rupa tergantung rasa yang ingin disajikan. Bumbu-bumbu yang digunakan tentu berbeda. Ada bumbu dan bahan yang bisa disubtisusi. Meski namanya Es Campur, tapi tetap saja porsi dan presisi penyajian antar bahan dipertimbangkan. Tidak asal dicampur. Misalnya pada moment Padhang Mbulan Maret 2018 di satu nomor lagu, posisi suling Pak Ismarwanto diganti dengan gesekan biola Mas Ari Blothong. Rasanya, masih rasa suling Pak Is.
Saya tawarkan beberapa pertanyaan kepada teman saya itu.
“Misalnya, kalau mau disebut musik inovatif, kok KiaiKanjeng, tidak membuat drum dari tong bekas sekalian? Kok gitar, bass, keyobard-nya sama seperti yang sering kita pakai?”
Teman saya terdiam sejenak, lalu, “Iya, ya?”
“Kalau kamu tahu, sekarang ini percussion set-nya diganti sama drum elektrik lho. Jadi pakai dua drum. Satu drum analog satunya elektrik, di dekat drum elektrik masih ada ketipung. Opo kowe ora malah mumet nek mikirmu sekedar ‘Campur Sari’? Sekedar modern-etnik?”
Karena menurut saya ada upaya ngalah atau ngemong. Susunan nada yang dibuat Pak Nevi Budianto untuk perangkat gamelan Kiai Kanjeng ngalah terhadap susunan nada yang sudah ada (solmisasi) yang digunakan di seluruh Bumi. Upaya ini terlihat di beberapa nomor lagu, Saron Kiai Kanjeng diganti bilah dan Bonang diganti pencon-nya sesuai dengan penggunaan nada dasar lagunya.
Mungkin karena ngalah itulah, musik KiaiKanjeng bisa memiliki latar nuansa budaya yang beragam. Jawa, Timur Tengah, China, Jepang, atau Barat itu sendiri dan bisa diterima oleh semuanya. Bahkan sanggup dan rela disejajarkan dengan karya-karya monumental dari wilayah musik klasik di Italia sana. Karena bagi Kiai Kanjeng, menghilangkan hasrat menjadi yang teristimewa atau paling unggul dari yang lain merupakan thariqat atau laku yang harus dijalani.
Musik bisa sakral, bisa hiburan, bisa modern, bisa etnik, bisa jazz, bisa blues, bisa punk, bisa funk, bisa waltz, bisa tango, bisa samba, bisa Capoera, bisa Bedhoyo, bisa Serimpi, bisa puisi, bisa pergerakan, bisa perlawanan, bisa politik, bisa entografi, bisa antropologis, bisa sosialis, bisa kapitalis, bisa, bisa, bisa, bisa………
Dari sini mulai saya mengajak teman saya termasuk teman saya yang ‘ahli’ baik dalam teori maupun praktik musik, serta panjenengan semua untuk kembali pelan-pelan belajar bagaimana mensyukuri anugerah musikal dari Tuhan ini. Siapa tahu dari Kiai Kanjeng ini kita bisa menemukan kembali dasar-dasar ilmu tentang musik. Tentang kenapa Tuhan menitipkan anugerah musikal kepada manusia. Jika mungkin pertanyaan itu ada dan terus menghantui manusia.