CakNun.com

Allah Senang Mempermudah, Tapi Jangan Digampangkan

Reportase Majelis Maiyah Mocopat Syafaat, 17 Agustus 2018
Muhammad Zuriat Fadil
Waktu baca ± 11 menit

Tapi pagar juga diberikan oleh Mbah Nun bahwa jangan juga karena tahu bahwa kita belum tahu apa-apa lantas kita jadi menggampankan. “Allah senang mempermudah, tapi jangan digampangin juga,” kira-kira begitu kalimat Mbah Nun. Gampangkan jangan digampangke. Aduh susah menggamblangkannya dengan kata-kata. Tapi semoga maksudnya tersampaikan.

Mungkin ini yang paling membekas yang bisa saya catat pada malam ini. Kita sekarang memang sedang dipenuhi oleh sesaknya beragam cara manusia melanggengkan kelas wacananya. Kalau Rasulullah bilang ummat akan menjadi 73 golongan, tampaknya kita masih jauh dari itu. Jauh sekali, ini hanya tampak banyak ragam tapi kesadarannya malah seragam. Masih kesadaran kelas dan golongan. Satu golongan mengamini kiai, golongan satunya mengamini komandan perlawanannya. Maka sekali lagi, ini seolah kubu yang berseberangan tapi sebenarnya kesadarannya tak jauh beda. Kita masih jauh dari keberagaman 73 pembacaan data mengenai Islam.

Istiqamah Ber-Islam, Teguh dalam Peace Time Mentality

Salah satu yang menyenangkan buat saya di Maiyah adalah saya bisa menyaksikan beragam sudut pandang saling bertaburan hikmah dan mentadabburi satu sama lain, saling lita’arofu. Kata siapa kalau sudut pandangnya beragam pasti berantem? Kecuali kalau kita masih hidup dengan kesadaran “war time mentality” bukannya “peace time mentality”. Kalau kesadaran kita mental perang, maka ketika kita melihat bahwa: Selain golongan kita (dan peneyetujunya) itu jahat, kalau ada (orang atau sikap) yang baik dari mereka itu perkecualian.

Peace time mentality sebaliknya: Melihat semua orang (setuju atau tidak dengan wacana kita) selalu baik dan kalau ada yang jahat (sikap dan orangnya) itu sekadar perkecualian atau lagi sedang menyebalkan saja. Wahabi mungkin begitu, hanya nyebelinnya keseringan saja. Tapi coba dilihat dengan kacamata pandang mental damai, bukan mental perang. Kalau pembaca yang budiman kebetulan mengidap identitas salah satu ormas, anda bisa mengetes kesadaran anda dengan cara melihat bagaimana reaksi batin anda sendiri ketika mendengar nama kubu yang dianggap lawan.

Saya melihat Islam pada mulanya membangun mental damai semacam ini. Bukan damai wacana yang dikoarkan dan dikhotbahkan di depan negeri perang. Damai itu soal mental. Bahkan ketika sedang perang, Islam menawarkan batin yang tetap damai. Namun degradasi pemaknaan Islam membuat war time mentality bangkit kembali, bahkan pada masa di mana perang sudah asing.

Ulama yang Selalu Hidup Tak Perlu Bangkit, Ummat Jangan Manja

Kaum ulama agamawan menurut Mbah Nun bersikap terlalu sayang pada ummatnya. Tentu baik punya rasa sayang itu. Tapi kemudian perasaan ini (duh dek!?) menjadi berbuah over-protektif dan over-possesif. Diibaratkan oleh Mbah Nun seperti orang tua yang pernah mengalami bahayanya ombak di lautan, maka kemudian para kaum agamawan kita memagar-magari ummat seperti bocah, agar jangan sampai bocah ini tergulung ombak. Adapun soal pantai dan lautan akhirnya diajarkan sebagai teori-teori dalam kitab belaka. Hidup tidak dialami betulan, tapi terus diajar-ajarkan.

Bila memang ulama berasal dari satu akar kata dengan ilmu, maka bukankah semestinya kaum ulama adalah manusia yang memiliki kelengkapan keilmuan? Dan bagaimana mendapatkan kelengkapan keilmuan bila atmosfer yang tersedia tidak memungkinkan manusia untuk hidup dan sesrawungan secara wajar? Bagaimana meresapi dan mengobservasi kahanan, kalau sehari-hari hanya terbiasa bertemu dengan ummat yang sejenis ragam pikirnya?

Bisa jadi konsep kita mengenai ulama beda dengan konsep yang ada dalam Al-Qur`an. Karena bila merujuk pada konsep Qur`an, kaum ulama mestilah kualitas manusia yang selalu aktif bekerja dan hidup, penuh daya hidup. Bila penuh daya hidup, tentu tak pernah perlu wacana kebangkitan, karena hanya yang terlena yang butuh bangkit.

Lainnya

Topik