Allah Senang Mempermudah, Tapi Jangan Digampangkan
Wali Kutub-Kutub Sudut Pandang, Ber-Islam yang Gampang Jangan Digampangke
Mbah Nun tampaknya berinisiatif mempertemukan dua “wali kutub” maksudnya di sini. Beda kutub tapi tetap mesra di majelis kita kali ini. Ini disebut oleh Mbah Nun sebagai mengadu sudut pandang. Satu versi sejarah digelontorkan oleh Mbah Nun, berapa jumlah istri Nabi Muhammad Saw?
Kiai Muzammil menjawab dengan versi yang beliau ketahui menurut kitab-kitab yang beliau khatami. Karena saya tidak tahu itu kitab apa (semestinya saya belajar lebih banyak) jadi saya perlu tanya ke sana-kemari. Jawaban dari Mas Helmi via WA bahwa yang dinukil oleh Kiai Muzammil adalah berdasar kitab ‘Aqidatul Awam karya Syaikh al-Marzuqi.
Sedang bagi Syekh Kamba, versi dari kitab-kitab terdahulu telah terbantahkan oleh pembacaan sejarah yang lebih dalam. Sebenarnya dalam ilmu sejarah, ini senada dengan yang disebut kajian kritis historis. Narasi sejarah dibaca ulang, dilihat kapan narasinya terbit dan populer. Dari situ kemudian sering terlihat lebih jelas kepentingan apa yang merasuk secara sadar atau tidak dalam versi-versi sejarah yang dilahirkan pada masa tertentu.
Versi sejarah kita dilahirkan oleh sejarah pada masa tertentu, itu tidak bisa dipungkiri. Misalnya untuk Nusantara, tampaknya kita belum move on dari versi narasi 1800-an hingga 1930-an. Bahkan versi Walisongo, kita tampaknya terasa adalah produk zaman tersebut di mana ketika itu para akedemisi sosial dari Eropa sangat jatuh hati pada ilmu-ilmu Jawa dan menginisiasi penerjemahan naskah-naskah Jawa klasik. Juga penerbitannya tentu saja.
Mbah Nun menambahkan ketika akhirnya memang sudut pandang Kiai Muzammil dan Syekh Kamba tidak akan bisa bertemu dalam satu titik persetujuan, bahwa memang kita tidak benar-benar tahu fakta pastinya sejarah seperti apa. Kita hanya bisa ber-husnudhdhon, mengambil intisari, hikmah, kemesraan dan ilmu. Tapi kebenaran, mau diperdebatkan seperti apapun tidak akan selesai.
Saya teringat ketika pada satu sesi kuliahnya Michael Laffan memberi pertanyaan mengenai bukti apa yang bisa dipertanggungjawabkan (secara akademis) mengenai keberadaaan Wali Songo? Atau bagaimana bisa sosok-sosok Wali Songo dilekatkan pada kaum penganut tarekat. Sedangkan menurut narasi sejarah yang kita punya, justru kaum tarekat pada masa 1800-an adalah kaum yang sangat eksklusif. Berbeda dengan sekarang. Justru pada masa itu kaum tarekat sangat anti terhadap seni dan budaya lokal.
Saya coba mentadabburi beberapa materi malam ini dan saya sedikit berkesimpulan serampangan bahwa rupanya, penganut tarekat belum tentu juga adalah seorang yang secara substansial adalah pelaku tasawwuf.
Keramahan kaum tarekat pada budaya lokal sangat mungkin baru muncul, ketika untuk mengajukan status tanah perdikan dibutuhkan beberapa legitimasi kepada pemerintah Hindia-Belanda. Legitimasi itu dari soal ritual lokal, makam dan tempat keramat, tempat peribadatan dan garis turunan ke kerajaan-kerajaan, serta tokoh-tokoh legenda dan orang keramat. Salah satu hal yang bisa kita lakukan mungkin adalah mencoba mendaftar siapa saja yang mengajukan diri sebagai pemangku tanah perdikan? Sayangnya status tanah perdikan kemudian dihapuskan oleh NKRI pada 1946. Tinggallah status sosialnya menjejak hingga sekarang.
Jadi, jangankan soal fakta hidup Rasulullah Saw yang sudah 14 abad berlalu di jazirah jauh sana, sejarah mengenai sosok-sosok yang kita miliki sendiri pun kita tidak benar-benar tahu. Pada akhir sesi kuliahnya di seberang benua sana, Laffan menegaskan, tidak bisanya terbukti Wali Songo dalam sejarah akademis tidak membuatnya juga meragukan keberadaan Wali Songo dalam hidup dan keseharian manusia Nusantara. Saya sih sepakat, karena jangan-jangan kita hanya terjebak pada konsep mengada dan meniada versi yang sempit saja. Kalau tidak ada dalam wilayah ilmiah, juga ndak apa to? Cuma jangan terlalu berhasrat mengilimiahkan kalau memang tidak (belum) bisa. Itu saja.