CakNun.com

Allah Senang Mempermudah, Tapi Jangan Digampangkan

Reportase Majelis Maiyah Mocopat Syafaat, 17 Agustus 2018
Muhammad Zuriat Fadil
Waktu baca ± 11 menit

Dulu Isa As juga menghadapi kaum Fariisi dan Saduki, yang bisa dikatakan agamawan moderat dan tradisionalis pada masanya. Dua kaum agamawan yang ditampung pada majelis ulama Sanhedrin demi mendukung pemerintahan pribumi ala-ala rezim Herodes. Namun pribumi tinggallah status. Pikiran para pemimpin saat itu berkiblat pada protektorat budaya dominan Romawi via Pontius Pilatus dan pedagang-pedagang kelas menengah yang mendapat kemudahan dari Pax Romanun.

Kita bisa melihat betapa subordinatnya mental kaum agamawan di Judea, manakala agamawan ahli Torat (turats?) merasa sangat perlu bicara perdamaian di hadapan kaum dominan. Padahal bukankah Pax Romanum memang menjamin perdamaian darat dan laut demi perdagangan dan ramahnya kepada investor asing?

Setiap penjajah, mestilah budaya yang sangat paham dan berhasrat pada kata “perdamaian”. Yang bicara perdamian di hadapan budaya dominan mestilah hanya sedang mencari muka di depan tuannya. Tauhid adalah cinta dan perdamaian. Tapi bukan perdamian demi kemapanan gaya hidup dan kelas sosial. Keadaan kita saat ini mungkin sangat mirip. Hanya waktu itu pemimpin majelis ulama Sanhedrin tidak begitu kepikiran untuk jadi cawapres saja. Itu tadabburan sejarah plus utak-atik gathuk versi saya, tentu saja.

Buku karangan Syekh Kamba ini memang sangat membongkar kemapanan kelas dan wacana. Bagi Syekh Kamba, setiap orang berhak menemukan dan mengalami Islam dengan eksperimentasi, observasi, pengalaman dan sejangkau pemahamannya sendiri. Di situlah bagi Syekh Kamba pentingnya tasawwuf. Sayangnya, menurut Gurutta Syekh Kamba, kemudian tasawwuf juga belakangan mengalami pembekuan dan pelembagaan tarekat. Kemudian kelas sosial dan kemapanan pun muncul kembali, selalu tidak punya kesiapan untuk dibongkar. Ada beda jauh antara tasawwuf dengan mental followers tarekat, atau tarekatisme. Ini akan saya coba babarkan dengan sedikit tadabbur data sejarah saya sendiri pada beberapa paragraf di bawah atau pada tulisan lain.

Kiai Tohar, Bukan Kiai Produk Kebijakan Agraria 1890-an

Bahasan ini kemudian dikomentari oleh Pak Toto Rahardjo atau akrab kita panggil Pak Kiai Tohar. Tentu sematan “Kiai” di sini bukan merujuk pada definisi di negeri seberang yang sedang berulang tahun itu. Kita mungkin mulai perlu mengkaji data sejarah, sejak kapan sebenarnya kata “Kiai” mulai dipakai dan kapan dia mulai populer sebagai gelar? Itu juga bisa kemudian kita kembangkan dengan pertanyaan, sejak era kapan kata “Kiai” dilekatkan dengan Ulama? Dan pada fenomena kaum muslim, sejak kapan juga ulama menjadi sama dengan kaum agamawan?

Kita mengalami perjalanan sejarah yang belum panjang-panjang amat. Tapi karena kurang jeli, jadinya banyak hal yang terselip dalam lipatan-lipatan sejarah. Rasanya Islam tidak begitu mengenal kosep agamawan sebagai corong suara tuhan di muka bumi. Kaum agamawan pada kesadaran pra Islam bolehlah dipakai. Tapi masa iya Islam juga? Lantas apa urgensinya ada Islam?

Nah, bagi Kiai Tohar, hal seperti yang termaktub dalam kitab karya Syekh Kamba ini melegakan bagi dirinya. Sebab Kiai Tohar merasa tidak begitu punya kemelekatan dengan rasa bahasa Arab dan terminologi-terminologi yang dilekatkan sebagai terminologi agama yang berasal dari kitab-kitab. Apa iya Islam dan Al-Qur`an hanya untuk kaum yang menguasai ilmu tertentu? Bila begitu, maka lumrah saja selalu lahir kelas-kelas dalam beragama.

Syekh Kamba menegaskan, Islam yang kita terima sekarang kebanyakan berasal dari era pengkitaban di masa daulah-daulah. Atau meminjam istilah Syekh Kamba “Kantor berita hoax agama”. Kiai Tohar punya analogi sendiri, “Kalau tulisan difotokopi, kan tingkat kejelasannya semakin berkurang, semakin buram. Nah ini sudah fotokopian ulang berabad-abad.” Seburam apa? Syekh Kamba dan Kiai Tohar tentu semua memiliki sudut pandang sendiri-sendiri. Bagaiamana Kiai Muzammil? Bagaimana kita sebagai JM? Setiap sudut pandang berharga.

Lainnya

Exit mobile version