Album Kado Muhammad Untuk Secular Spheres
Kita buka sedikit sejarah Indonesia di masa Orde Baru. Sepanjang tahun-tahun Orde Baru yang melintasi kurun waktu 32 tahun, aspirasi politik keislaman di Indonesia ditekan atau di-pressure oleh kekuasaan. Parpol-parpol Islam difusikan jadi satu saja: PPP. Apirasi-aspirasi lain yang bertujuan atau berdampak melemahkan kekuasaan tentunya juga demikian.
Akomodasi terhadap aspirasi Islam sedikit terjadi ketika Pak Harto mulai mengubah komposisi kekuataan pendukungnya. Ia mulai merangkul kekuatan Islam. Ia mendekat kepada warna “hijau”. Di antaranya ditandai dengan didirikannya ICMI, didukungnya berdirinya Bank Muamalat sebagai bank syariah pertama di Indonesia, didirikannya masjid-masjid Amal Bakti Muslim Pancasila, dllsb.
Meski demikian, secara umum, di satu sisi sebagai akibat dari politik otoriter dan orientasi kepolitikan Orde Baru itu sendiri dan di sisi lain sebagai akibat dari gelombang global modernisasi, banyak ruang-ruang dalam kehidupan publik nasional kita–seperti televisi, media massa, panggung-panggung, dunia rekaman–yang sebenarnya bersifat “sekuler”. Tidak banyak nuansa keagamaan mewarnai, untuk tidak menyebut tak ada sama sekali.
Dalam bahasa lain, kebudayaan musik nasional umpamnya, lebih banyak dikuasai oleh musik pop, dangdut, lagu-lagu Barat, atau musik-musik lain yang jauh dari identifikasi label atau warna agama. Sekularisasi itu, seperti diyakini sebagian ahli, sejatinya bakal menagih datangnya kembali akan religiusitas. Apakah segera datang jawaban atas tagihan itu ketika itu?
Album Kado Muhammad Cak Nun dan KiaiKanjeng
Tahun 1996, alias 22 tahun silam, Cak Nun dan KiaiKanjeng mengejutkan, menghenyakkan, dan menghadirkan sesuatu yang baru dalam kebudayaan kita dengan meliris Album Kado Muhammad. Album ini segera mendapatkan perhatian dan penerimaan yang luas dari masyarakat sebagai sebuah fenomena baru dalam jagad musik dan industri rekaman, tak hanya di Indonesia bahkan sampai ke Malaysia. Tembang Tombo Ati yang dilantunkan Cak Nun menjadi sesuatu yang baru di dunia musik, nikmat dan sampai ke hati didengar, dan menjadi icon yang menancap dalam kepala orang akan Cak Nun dan KiaiKanjeng.
Di dalam Album Kado Muhammad ini juga ada senandung musik-puisi yang diiringi musik gamelan KiaiKanjeng yang “aneh” tapi magis. Ada puisi Jalan Sunyi yang menelusup ke dalam jiwa. Ada narasi Besi dan Gelombang yang melenturkan kekakuan hati. Bicara tentang musiknya, dalam album ini Pak Nevi Budianto yang mencipta atau menggubah lagu atau melodinya, sedangkan Pak Bobiet bertugas mengaransmen agar melodi atau lagu tadi memiliki beat, ada orkestrasinya, ada dinamikanya, sehingga muncul warna musiknya.
Sebagian orang barangkali akan berbicara mengenai Kado Muhammad ini sebagai fenomena musik, tapi saya kira, ada yang luput dari perhatian kita selama ini ialah memahami Kado Muhammad dalam kaitannya dengan ranah publik yang sekuler itu. Album ini mengisi ruang itu dengan sesuatu yang spiritual, universal, humanis, dan nilai-nilai batini.
Tentu saja, sebagai fenomena musik, ia memiliki banyak dimensi fenomenalnya. Satu di antarnya akan kita singgung sedikit di akhir tulisan ini. Tetapi, terlebih dahulu sebelum kita berbicara tentang album Kado Muhammad sebagai musik dan budaya, kita perlu menempatkan karya ini dalam konteks ruang-ruang nasional kita yang sekuler itu.
Di situ, ia datang untuk menyegarkan hawa dan suasana sesudah bertahun-tahun ruang kultural Indonesia atau umat Islam khususnya didominasi oleh sekularisasi. Itulah sumbangan Kado Muhammad, dan tampaknya pula karena lama berlangsungnya sekularisasi, respons atas album ini cukup luar biasa datang dari berbagai lapisan dan lintas masyarakat.
Karena ia datang untuk mengisi ruang yang sekuler itu, maka gathuk adanya bahwa Album Kado Muhammad ini justru tidak mewakili genre apapun yang dengan mudah diletakkan dalam kotak-kotak sempit aliran musik (termasuk yang kemudian diasosiasikan dengan agama atau album religi).
Entah akhirnya nanti dilihat sebagai bergenre apa atau beraliran apa, tetapi secara konten dan rasa album ini mengusung nilai-nilai keagamaan dan nilai-nilai universal secara kemanusiaan sekaligus sebagai muatan yang sekali lagi tidak diwakilkan melalui bentuk, simbol, dan aliran yang mainstream yang notabene sudah punya tempat sendiri yang rasanya sulit buat mengangkut kebaruan (muatan) untuk zaman saat itu.
Suara puisi atau narasi Cak Nun sebelum lagu Tombo Ati adalah sentuhan lembut pada jiwa manusia yang terpengapkan oleh kekuasaan dan nasib hidup di zaman modern. Tombo Ati sendiri yang diambil dari khazanah pepujian di surau dan kampung yang mungkin tak terpikirkan sebelumnya buat dihadirkan sebagai “sesuatu” secara nasional dan terhormat dihadirkan Cak Nun sebagai penawar bagi kemungkinan hati-hati yang sedang berpenyakit dan sakit.
Jangan lupa pula nomor Besi dan Gelombang yang mengingatkan semua kita akan pentingnya melenturkan pikiran dan hati supaya tetap bisa hidup dengan baik, utuh, seimbang, rileks, dan tidak tegang. Dan nomor-nomor lainnya yang bermuatan mengisi ruang-ruang kering di dalam hati orang-orang.
Pengrasaan Unik dari Pak Manthous
Sekarang selintas kita melihat penerimaan Kado Muhammad sebagai peristiwa musik. Ada yang unik, yaitu salah satu yang terilhami paling awal justru adalah seseorang yang mungkin tidak kita identifikasi datang dari kultur Islam, melainkan Jawa. Yaitu yang orang kemudian kita mengenal namanya: Pak Manthous (meninggal pada 2012).
Mendengarkan Tombo Ati yang dilantunkan oleh Cak Nun, Pak Manthous merasa bahwa musik KiaiKanjeng yang mengiringi suara khas Cak Nun pada nomor itu adalah sesuatu yang campursari, tapi dengan karakter yang berbeda. Tak banyak yang tahu bahwa ini kemudian mengilhaminya meng-create corak campursari baru dan memberanikan diri merilis album perdana campursarinya.
Sebelumnya, Pak Manthous menyanyikan lagu-lagu tapi belum pada jenis Campursari. Mungkin langgam Jawa atau Pop Jawa. Dan ternyata album campursarinya booming di masyarakat dan khususnya bagi penggemar musik campurasari. Lewat lagu-lagu campursarinya ini, Pak Manthous kemudian dikenal sebagai trendsetter Campursari Gunungkidul.
Merasa mendapatkan ilham dan berkah dari lantunan Tombo Ati Cak Nun, saat syukuran dan peresmian studio musik barunya di Wonosari, Pak Manthous mengundang Cak Nun dan KiaiKanjeng untuk mengisi acara tersebut. Serta diundang pula penyanyi Sunyahni. Semua ini sebagai bentuk hormat dan terima kasih kepada Cak Nun dan KiaiKanjeng yang telah membukakan inspirasi musik lewat Tombo Ati tersebut.
***
Kembali ke the secular spheres. Ketika pergeseran politik Orde Baru yang masih embrional dan belum memberikan impact langsung pada ranah keagamaan masyarakat, dan ketika gairah pada kebangkitan Islam akibat Revolusi Islam Iran pada 1979 memesona banyak cendekiawan muslim kala itu dan masih lebih banyak memenuhi ranah diskursus, Album Kado Muhammad terlebih dahulu menyuguhkan paket unik buat mengisi ranah yang sekuler itu dengan isi yang spiritual dan batiniah.
Setelah itu, paket ini kemudian diteruskan melalui pengajian-pengajian Cak Nun dan KiaiKanjeng yang brand-nya saat itu adalah Pengajian Tombo Ati dan keliling ke mana-mana, di kota maupun desa. So, sesungguhnya Sinau Bareng bersama Cak Nun dan KiaiKanjeng sebagaimana kini dikenal generasi zaman now pada tahap awalnya bernama Pengajian Tombo Ati. Untuk hati yang sakit dan terutama yang berpenyakit, dan ranah nasional kita yang kering.
Yogyakarta, 5 Februari 2018