CakNun.com

Alamat: Desa Purwa Maiyah, Kecamatan Sewelasan, Gang Barokah, Tetangganya NKRI

Catatan Dikusi Sewelasan Perpustakaan EAN, 11 Juli 2018
Muhammad Zuriat Fadil
Waktu baca ± 5 menit

Pada tetangga dusun bernama NKRI, segalanya adalah kompetisi menang kalah. Seperti ada ikrar diam-diam untuk saling menghancurkan. Segalanya diklaim oleh NKRI, bahkan wali songo bahkan Nusantara diklaim dimonopoli oleh mental followers NKRI. Itu pun tujuannya tidak lebih tidak kurang hanya sekadar supaya disayang kekuasaan dan bisa puas menghantam yang berbeda. Kan heroik, menjaga NKRI yang mati harga.

Manusia Desa Maiyah yang agak naif bin polos ini seringnya kurang pengalaman dalam menghadapi talbis-talbis tetangga NKRI mereka. Maka mereka perlu diemong oleh Kakang mereka yang sudah lebih ber-asam garam melanglang buana. Sudah lebih tinggi jam terbangnya dan lebih dalam jam selamnya. Mas Sabrang Mowo Damar Panuluh itulah oleh dunia luar, biasanya dikenal dengan Noe Letto, sedikit demi sedikit membimbing adik-adiknya dalam ritualan Diskusi Sewelasan ini.

Pengalaman Mas Sabrang sangat dibutuhkan. Karena kadang memang godaan untuk berat sebelah, terlalu tersedot ke dalam atau godaan untuk terlalu liar terbang selalu membayangi. Kadang terlalu ingin kebatinan sampai lupa ketubuhan. Kadang terlalu ketradisian sampai meremehkan sains akademis. Harap jangan dilupa, berpikir akademik juga adalah tradisi yang perlu dijaga dan diuri-uri.

Memang tidak ada istilah multitasking atau sebutan multidimensi dalam manusia desa. Karena setiap individu melakukan apa yang perlu dilakukan, ketika memang perlu dilakukan apalagi ketika belum ada yang melakukan. Bagaimana bisa ada sebutaan khususnya kalau memang begitu lumrahnya? Tentu saja ada konsentrasi bidang tugas, lingkar-lingkar dengan pembagian kerja.

Begitu yang disarikan oleh Mas Agus Wibowo dalam pembabarannya. Namun itu tidak menghalangi untuk satu lingkar saling ber-lita’arofu dengan lingkar lainnya. Bahkan, saking cairnya konsep identitas manusia desa, modernitas sulit sekali menerima bahwa manusianya bisa saja lahirnya jadi manusia Bugis. Kalau di Aceh jadi orang Aceh. Saat di Mataram jadi orang Mataram dan seterusnya. Bahkan bisa dibalik, pas di Aceh jadi orang Mataram. Pas di Mataram jadi orang Bugis. Pas di lingkaran Bugis malah jadj Madura. Bisa, ini namanya Bineka Tunggal Ika bukan sekadar pluralisme.

Ini dilakukan tanpa kehilangan syahadat ke-Nusantara-an dan aqad otentisitas diri. Juga tanpa perlu lebay ngislam-ngislamin dan glorifikasi nusantara-nusantarain. Biasa saja, ndak perlu dramatis. Ndak perlu dramatisasi spiritual seperti perkotaan spiritual new age juga, yang menyangka menggali kebajikan tradisi dengan kacamata pandang kontinental yang menganggap Asia dan Timur adalah makhluk eksotis. Mereka bilang kita timur, padahal bagi kita mereka bukan barat.

Spiritual new age sedang digandrungi banyak middle class NKRI, karena ekstraksi candunya lebih memabukkan dari tafsir agama. Asal penuh welas asih, (dikira) beres persoalan. Bicara rahmah di hadapan penjajah, yang sudah khatam soal wacana perdamaian. Tidak pengaruh tak apa, asal gengsi internasional naik sedikit. Namanya juga inlaander, butuh sekali pengakuan dari budaya dominan. Aktornya masuk Hollywood cuma semenit, filmnya laris manis di negerinya. NKRI itu masih di situ peradabannya. Rung nalar, maklumi saja. Generasi Desa Maiyah sudah jauh-jauh hari belajar berhati-hati, waspada wattaqwa. Tapi kan, itu perlu dilatih agar ketajaman waspada wattaqwa ini tidak tumpul.

Begitulah Mas Sabrang yang seringnya ada di panggung bersama Letto. Sering juga membersamai generasi-generasi Desa Purwa Maiyah yang sedang tinggi adrenalin kreativitasnya. Masih sempat menemani lingkar diskusi Martabat dan dengan ringan hati tetap menyediakan diri untuk bebarengan ritual Diskusi Sewelasan.

Pada lingkar-lingkar inilah manusia desa, desa Purwa, Desa Maiyah, mental kita digembleng sesuai dengan panggonan maqomnya masing-masing.

Lainnya

Fiqih Tanpa Aqidah, Bumi Tanpa Langit

Fiqih Tanpa Aqidah, Bumi Tanpa Langit

Setelah Wirid Wabal yang dipandu Hendra dan Ibrahim, Kenduri Cinta edisi Maret 2016 yang mengangkat “Fiqih Tanpa Aqidah, Bumi Tanpa Langit” kemudian dimulai dengan sesi prolog.

Kenduri Cinta
Kenduri Cinta
Hilwin Nisa
Hilwin Nisa

Tidak

Topik