Ajakan Pilihan Out of the Box Ala KiaiKanjeng
Out of the box, maa huwa “out of the box”?
Kalau out of the box sekadar bersikap aneh-aneh dengan spirit asal beda, nyeleneh biar tampak nyufi, atau anti-mainstream biar jenaka. Itu sudah tidak perlu dicari, netizen zaman now jagonya mengolah hal semacam itu. Bisa dibilang, sekarang ini anti-mainstream makin mainstream.
Term out of the box, mengandaikan kita berpikir di luar kotak lumrahnya arus utama, hanya saja pada banyak kasus orang hanya keluar dari satu kotak namun justru terjebak pada kotak lainnya. Jadi anti-mainstream pada lingkungan di sini, namun jadi mainstream di lingkungan sana. Sudah.
Wa maa huwa out of the box ala Kiai Kanjeng? Pada gelaran Sinau Bareng di halaman kantor KPU Provinsi Jawa Timur pada malam 26 Juni 2018 M, semalam sebelum diadakannya Pilkada serentak di berbagai daerah, Mbah Nun menyiapkan satu fragmen yang diberi tajuk Fragmen (Pil)kadal. Dialog dalam fragmen ini kemudian di-dramatic-reading-kan oleh tiga personel KiaiKanjeng. Yakni Pak Jijit sebagai Lik Kadhal, Mas Doni sebagai Cung Tobil, dan Pak Jokam sebagai Mbah Geol.
Beberapa kawan saya yang membaca dialog dalam fragmen ini via web dan yang menonton pementasan singkatnya via YouTube, tampaknya sangat tertarik pada bagian ini:
”Ya ndak mungkin 40 juta orang pathing clebung untuk menentukan dua orang. Kecuali Panitia Pemilihannya pakai online dan sistem yang transparan. Setiap penduduk Jawa Timur, dengan data identitasnya yang jelas dan tercatat rapi di database Negara, mengirimkan pilihan otentiknya masing-masing lewat SMS, WA, BBM, Email atau aplikasi lain ke center onlinenya Panitia. Sehingga setiap orang secara orisinal dan langsung bisa menentukan pilihannya masing-masing di antara 40 juta penduduk itu. Tetapi karena di Jawa Timur belum ada internet dan gadget serta komputer, maka dibutuhkan Parpol-Parpol untuk memilihkan 4 atau enam calon dari 40 juta itu. Dengan tidak adanya sistem direct online, maka rakyat Jawa Timur belum bisa memilih pemimpinnya, melainkan dipilihkan…” (Dialog Lik Kadhal)
Itu out of the box kan? Karena ide ini aneh? Ah, masa aneh sih? Memanfaatkan teknologi informasi di masa ketika sehari-hari manusia lebih banyak menta’dhimi gadget-nya, apa yang aneh? Masa belum ada orang KPU atau pemerintah yang terpikir akan hal ini? Ndak mungkin saya rasa, pasti ini bukan ide yang aneh. Oh iya, pemerintah dan KPU itu dua entitas berbeda kan? Makanya saya tadi sebut “KPU atau Pemerintah”. KPU kan dukun yang membidani jabang bayi bernama pemerintah. Masa dukun bayinya distempel Perpres atau Kepres dari si jabang bayinya sendiri? Pastilah pemerintah kita diisi oleh manusia-manusia kualitas kewarasan NKRI, bukan? Bukan?
Ini dialog tidak eksplisit seperti lumrahnya dialog-dialog yang tidak mengajak penyimak berpikir. Dia menyentil dan sekaligus menggebrak. Kita diajak untuk berpikir keluar dari kotak… Suara. Keluar, keluar dari kotak suara secara fisik! Selama ini kita (atau hanya saya saja?) berpikir bahwa Pilkada, Pilpres, pemilu, selalu adalah memasukkan kertas berisi nama pilihan parpol yang kita kudu ikutan milih, karena orang parpol adalah penuntun politik paling waras. Sementara kita hanya awam tanpa nama tak berarti yang (kita singkat deskripsinya dalam satu kata-kalimat) “Hidupnya-tak-berharga-mati-belum-tentu-masuk-surga-kalau-reinkarnasi-itu-ada-palingan-terlahir-kembali-jadi-amuba”. Kasihan.
Maka ajakan out of the box ala KiaiKanjeng adalah ajakan untuk berpikir bahwa, politik dan demokrasi tidak selalu mesti seperti ini kok. Tidak selalu harus ada “box” atawa alias kotak suara. Imajinasi kita dibukakan pintu, bahwa bisa saja ada cara lain. Memanfaatkan internet misalnya. Asik kan kalau kita bisa mengajukan nama siapa-siapa saja yang menurut kita layak jadi pemimpin? Kita bisa mengajukan Pak RT, tetangga, kembang desa sebelah, teman kantor, peserta arisan kampung paling militan, imam langgar atau siapapun yang menurut kita paling punya andil dalam hidup kita.
Bukan seperti sekarang, orang-orang yang (di)(ter)cantum(kan) pada kertas suara sekadar orang yang begitu kita lihat. Dengan teduh dan bersahaja kita usap-usap, kita belai sambil berucap mesra “Sampeyan niku sinten to?” (aslinya dialognya mau saya bikin pakai kalimat Inggris-Amerika, dengan “F” word di tengah, tapi jangan. Nanti kasar).
Kita bukan harus terpaku pada penggunaan teknologi informasi atau internetnya. Tapi bahwa pintu kotak imajinasi kita dibuka bleng!
Wah, andaikata begitu, andaikata setiap orang benar-benar bisa mengajukan nama pemimpin sesuai selera pribadi, berdasarkan apalagi relevansinya terhadap hidup person to person, betapa beratnya tugas KPU nanti. Tapi bukankah begitu itu konsekuensi demokrasi? Berat, kalau tidak mau berat ya jangan berdemokrasi. Atau, nanti ada persoalan soal server, hack dan lain sebagainya?
Betul, sama seperti menggunakan kotak, kertas dan tinta juga berpotensi kotaknya (bayangkan sudah tertampung di pusat, di mana ratusan juta suara dari berbagai daerah telah terkumpul) ketumpahan botol tinta (!). Artinya, setiap cara punya risikonya masing-masing. Kita, manusia Nusantara memang manusia imajinatif yang pandai sekali melihat celah dalam setiap regulasi. Pandai melihat kapan saat yang tepat untuk menyenggol botol tinta agar numpahin satu kotak suara supaya batal pemilihannya (sudah ada yang punya ide serupa?).
Bandel dan pecicilan, it’s in our blood. Namun demokrasi modern seringnya mengungkung imajinasi liar kita hanya pada batasan kotak suara itu.
Kertas dan tinta, budaya baca dan tulis juga bukanlah sesuatu yang natural semua jadi semenjak manusia ada. Data sejarah menunjukkan, dulu ketika manusia mulai mengenal budaya baca-tulis, generasi peralihan juga mengeluh pada generasi muda yang mulai kenal sistem menulis. Dianggap itu adalah budaya yang memanjakan, tidak melatih ingatan, membuat generasi muda jadi individualis dan semakin hilang respect pada generasi tua. Tidak begitu jauh berbeda fenomenanya ketika generasi surat kabar, TV, generasi telepon dan selanjutnya-selanjutnya hingga pada era internet.
NKRI juga tidak perlu melulu Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan tidak harga mati-mati amat.
Coba itu kalimat Mbah Geol perhatikan.
”Lhooo tergantung tafsirnya. NKRI itu bisa Negara Keserakahan Republik Indonesia. Bisa Negara Kepolisian Republik Indonesia. Bisa Negara Kejaksaan Republik Indonesia. Bahkan bisa juga Negara Kartolo Republik Indonesia…”
Kita (atau minimal saya mungkin) selalu mikirnya NKRI harus Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kita tidak dibiarkan berimajinasi nyusun-nyusun sendiri, utak-atik gathuk sendiri. Padahal bisa saja Negara Khilafah Rasa Indonesia, Negara Komunis Rasa Itu, atau apa saja. Ada satu tarikan napas antara pandangan di Maiyah soal pembebasan, kemerdekaan menafsir dan mentadabbur dalil dengan peluasan imajinasi.
Bahwa dalam penokohan ini Mbah Geol yang paling gagap teknologi tapi paling imajinatif. Sementara Lik Kadhal yang paling pagar nasionalisme baku lan galak. Sedang Cung Tobil yang paling liar, rebel revolusioner, rasional namun sering sembrono dan lalai sejarah. Itu sangat masuk akal kalau kita melihat dari kacamata pergeseran pola pikir generasi “Immigrant digital” dan “Native digital”, istilah yang dipopulerkan oleh Marc Prensky dalam artikel ilmiahnya tahun 2001 lalu. Artikel itu bisa diunduh gratis di internet.
Bahasan soal ini dan mungkin dengan sedikit lebih serius, akan saya susun setelahnya. Untuk sekarang, sambil menikmati Cung Tobil dan Lik Kadhal saling mengerjain, saling tumpang tindih kemudian ditengah-tengahi oleh Mbah Geol. Adegan demi adegan mamancing tawa dan khayal para penyimak. Baik yang ada di lokasi acara maupun yang secara batiniah menyaksikannya via YouTube. Kita nikmati keliaran itu. Kita keluar dari kotak pengungkung imajinasi kita. Melayang pada keluasan, menyelam pada kedalaman. Musik dari KiaiKanjeng mengantarkan dengan keindahan dan otentisitasnya. Hingga ledakan:
”…Jadi dalam satu periode lagi kalian tidak mengubah sikap kepada kaum muda dan rakyat Indonesia, saya akan izinkan mereka untuk melakukan Revolusi Konstitusi!!!”