Zaman Pencerahan alias Kefasikan
Apa dan siapa yang tidak akan pernah direlakan oleh para penyebar bau busuk dari Barat itu? Pertama, Islam: yakni anugerah jalan keselamatan dari Allah kepada manusia. Yang diperjanjikan secara akhlaq sebagai amanah, dan diperikatkan secara hukum sebagai perintah.
Kedua, kekayaan laut dan darat Nusantara, tanah dan air rangkaian kepulauan yang kelak bernama Indonesia. Tidak direlakan untuk tidak dimiliki, dengan merampoknya terlebih dulu, melalui cara, bentuk, peralatan dan strategi yang terus berkembang makin canggih sejak abad 14 itu hingga hari ini.
Ketiga, peradaban bangsa yang menempati Pulau Jawa. Filosofinya. Penemuan-penemuan nilainya. Ketangguhan kepribadiannya. Kekesatriaan dan keperwiraan mentalnya. Keluasan pengetahuan dan kedalaman ilmunya. Keunikan budayanya. Sikap hidup dan strategi psikologi yang bagai tak ada matinya.
Pemuda tokoh besar dan Waliyullah Al-Kubro telah mencium bau busuk dari arah barat itu sejak sebelum berdatangan kapal-kapal perompak di lautan Nusantara. Tiga bencana besar yang ia rasakan di lingkar dalam Kerajaan maupun yang datang dari benua jauh, yang disebut ‘Zaman Pencerahan’ — sudah ia rasakan sejak dini.
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu”. [1] (Al-Hujurat: 6).
Pemuda Wali Kubro itu merasakan dengan hati yang berat betapa bangsanya sedang mengalami apa yang difirmankan Allah tentang “jika datang kepadamu orang fasik”. Ternyata ini sangat panjang. Tidak hanya urusan kapal perompak, senjata meriam, dan rempah-rempah. Ternyata “membawa suatu berita” itu berisi taburan dan sebaran mesiu-mesiu racun yang menggerogoti sejarah Nusantara.