CakNun.com
Wedang Uwuh (15)

Yogya Pengayom Indonesia

Kedaulatan Rakyat, 24 Januari 2017
Emha Ainun Nadjib
Waktu baca ± 2 menit

Beruk bercerita di suratnya yang bentuknya seperti catatan harian, bahwa justru ia mendapatkan hikmah dari “cah band2an” bahwa yang sekarang perlu dipacu adalah kebiasaan untuk “mencari apa yang benar” dan mengurangi “mencari siapa yang benar”.

Supaya masyarakat kita tidak berkepanjangan dijebak dan dikurung oleh situasi hubungan sosial dengan dasar “siapa yang benar”. Supaya cara berpikir masyarakat tidak dihimpit oleh fatamorgana bahwa kalau ada orang, tokoh, pihak, institusi, komunitas, golongan, aliran dan apapun yang dianggap benar: maka ia selalu benar 100%. Sementara yang di luar itu disimpulkan sebagai salah 100%.

Yang muncul dalam tradisi budaya pikir masyarakat kemudian adalah pemutlakan. Karena pihak yang benar dianggap benar 100%, maka ia “dituhankan”, tidak boleh dikritik, karena tidak mungkin salah. Pada saat yang sama pada pihak yang dianggap tidak benar, maka ia dikutuk habis-habisan dan total. Yang dianggap benar dan baik tidak punya kesalahan dan keburukan sedikit pun. Yang dianggap salah dan buruk, tidak punya kebenaran dan kebaikan secuil pun.

Padahal takdir dan asas alamiah kehidupan dan kemakhlukan ciptaan Tuhan tidak seperti itu. Setiap manusia, pihak, tokoh, lembaga, madzhab dan apapun, selalu ada benarnya sekaligus salahnya, ada baiknya sekaligus buruknya. Manusia adalah sebuah kelengkapan dan keutuhan. Di dalam diri setiap manusia ada kejujuran dan kecurangan, ada sifat liberal dan radikal, ada fundamental ada moderat, ada khusyu ada main-main, ada serius ada senda gurau, ada kemusliman ada kekufuran.

Manusia adalah makhluk dinamis dan relatif, berdasarkan getaran dan aliran waktu serta koordinat-koordinat ruang. Manusia tidak bisa dikategorikan atau dikotakkan di dalam Golongan Liberal, Partai Konservatif, Kelompok Demokrasi, Sempalan Radikal, Aliran Kebatinan, Partai Syar’i, atau apapun. Sebab semua kecenderungan itu ada di dalam diri setiap manusia dan komunitas secara dinamis, dengan beda-beda prosentase.

Berpikir harus liberal, supaya kreatif dan menemukan kemudahan hidup. Sementara perilaku harus syar’i — dalam arti manusia hanya selamat kalau perilakunya sesuai dengan ketentuan hukum alam kehidupan yang diyariatkan oleh Tuhan. Arus listrik positif dan negatif harus dikelola supaya menjadi cahaya. 5 kali 5 harus 25, meludah jangan ke atas, irigasi dan sanitasi harus dikelola supaya tidak menyalahkan air yang hanya patuh kepada gravitasi dan ruang kosong.

Hubungan suami-istri dalam berkeluarga jangan liberal, harus konservatif, bahkan ketat seketat tentara berbaris. Nanti dalam bekerja, bersosialisasi, ada ketepatan aturannya sendiri-sendiri. Ada “empan papan”. Kalau selama ini manusia dikotak-kotakkan dalam politik, keagamaan dan budaya, berarti ada yang salah dalam memahami hakikat hidup manusia. Ada yang tidak tepat dalam pengelolaan sosial, kebudayaan dan kenegaraan.

Itulah sebabnya Beruk menggelisahkan, “kenapa kita tiba-tiba bikin Negara dan Republik? Apakah tidak terbuka cakrawala kemungkinan yang lain? Apakah orang berhimpun harus dalam Kerajaan, Negara, Persemakmuran? Tidak adakah puluhan atau ratusan fenomena lagi untuk mengatur kebersamaan manusia?”

Kenapa bangsa Indonesia tiba-tiba mengambil bentuk kebersamaan yang tidak belajar kepada sejarah dan masa silam nenek moyangnya sendiri? Maka ke masa depan nanti, Yogya dibutuhkan untuk mengayomi Indonesia, membimbing keputusan-keputusannya.

Lainnya

Lalu Lintas Manthiq Keindahan Hidup Manusia

Lalu Lintas Manthiq Keindahan Hidup Manusia

Pesan agar saya menulis dengan judul atau tema “Membebaskan dan Membawa Sastra Kemana Saja”, membuat saya merasa agak malu karena teringat pada tulisan saya di waktu saya masih muda dulu yang kemudian menjadi judul buku “Sastra Yang Membebaskan”.

Emha Ainun Nadjib
Emha Ainun Nadjib