CakNun.com

Yang Pertama, Semoga Ajeg dan Langgeng

Reportase Sendhon Waton, Edisi Perdana, Senin Legi 26 Maret 2017
Sendhon Waton
Waktu baca ± 6 menit

Yang pertama selalu meninggalkan kesan. Ungkapan ini rasanya begitu tepat untuk menggambarkan kegiatan Sendhon Waton edisi pertama (26/3). Sendhon Waton adalah jaringan simpul Maiyah pertama di Kabupaten Rembang. Maiyah sendiri merupakan sebuah “pergerakan budaya” yang digagas dan dipimpin oleh Emha Ainun Nadjib (Cak Nun). Pergerakan budaya yang dikemas serupa pengajian.

Berbeda dengan acara pengajian pada lazimnya, pada pengajian Maiyah seringkali disisipkan berbagai pertunjukan seni seperti musik, teater, puisi dan lain-lain. Juga sering dihadiri oleh tokoh-tokoh lintas agama. Dalam pengajian Maiyah para jamaah diajak menjernihkan hati menata pikiran, seimbang menjalani kehidupan.

Sendhon Waton sendiri dipelopori oleh Ki Sigid Ariyanto, seorang dalang muda asli Rembang, pemilik Sanggar Seni Cakraningrat. Rencananya, Sendhon Waton diadakan secara rutin setiap malam Senin Legi bertempat di Sanggar Seni Cakraningrat, Tawangsari, Leteh, Rembang. Lahirnya Sendhon Waton sebagai jaringan simpul Maiyah di Rembang melengkapi keberadaan Simpul Maiyah di daerah lainnya seluruh Indonesia, seperti Mocopat Syafaat (Yogyakarta), Padhangmbulan (Jombang), Gambang Syafaat (Semarang), Gugur Gunung (Ungaran), Kenduri Cinta (Jakarta), Bangbang Wetan (Surabaya) dll.

Hadir sebagai narasumber dalam edisi pertama Sendhon Waton diantaranya Habib Anis Sholeh Ba’asyin dari Pati, KH. Muzammil dari Yogyakarta, Mas Harianto mewakili Maiyah Nusantara, Mas Agus Wibowo (Komunitas Maiyah Gugur Gunung, Ungaran), Cak Rud dari Blora, juga Ki Sigid Ariyanto sendiri. Acara semalam juga dimeriahkan oleh penampilan Teater Lingkar dari Semarang pimpinan Maston yang membawakan lakon “TUK”. Grup Teater ini telah berusia 37 tahun dan menjadi salah satu yang terdepan di pentas seni teater tanah air.

Menariknya, acara Sendhon Waton semalam dipadati oleh ratusan jamaah yang datang dari berbagai kota dan komunitas di sekitar Rembang, seperti Komunitas Obrolan Santri, Gentong Miring Art, Generasi Muda Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), Komunitas Gugur Gunung Ungaran, juga para seniman, pelukis, bahkan pejabat dari Kementerian Pariwisata Kabupaten Rembang. Kehadiran ratusan jamaah ini diapresiasi secara khusus oleh Mas Harianto sebagai kegiatan perdana Simpul Maiyah dengan jumlah jamaah terbanyak.

Acara dibuka oleh Kang Fahmi tepat pukul 20.00 WIB, dilanjutkan pembacaan ayat suci Al-Qur’an secara tartil oleh Kang Jamaluddin dari Ponpes Darul ‘Ulum, Sidowayah, Rembang. Kang Jamal juga didapuk memimpin jalannya Tahlil yang dipersembahkan untuk Rasululloh Muhammad SAW, para keluarga dan sahabat Nabi, juga para kekasih Allah dan arwah para leluhur.

Acara berikutnya adalah sambutan. Sebagai tuan rumah, Ki Sigid Ariyanto menyampaikan ucapan terima kasih kepada para jamaah dan narasumber yang berkenan hadir. Ki Sigid juga menyampaikan perlunya kehadiran Pengajian Maiyah di Kabupaten Rembang. “Sendhon itu rangkaian kata-kata indah yang mengandung ajaran-ajaran luhur. Sedangkan Waton itu memiliki dasar dan referensi dalam kehidupan,” jelas Ki Sigid menerangkan pemilihan nama Sendhon Waton. “Sedangkan logonya bisa diidentifikasi sebagai SW jika dibaca dari kiri ke kanan, juga sekilas bisa terbaca LILLAH dalam huruf arab jika dibaca dari kanan ke kiri. Maksudnya kita harus meniatkan segala amal kita hanya untuk mengharap ridho Allah,” sambung Ki Sigid.

Dalam sambutannya, Mas Harianto sebagai perwakilan Maiyah Nusantara mengingatkan pentingnya duduk bersama dalam memecahkan berbagai persoalan. “Beragama bukan untuk hari ini, tapi untuk selamanya. Yang Anda ketahui belum tentu kami ketahui, dan yang kami ketahui belum tentu Anda mengetahuinya. Maka, kita perlu duduk bersama untuk saling melengkapi pengetahuan. Ngaji itu dalam rangka dadi wong kang aji, agar kita mendapatkan kemuliaan hidup,”  ungkap Mas Harianto.

Setelah sambutan yang berisi perkenalan Maiyah, acara dilanjutkan pementasan Teater Lingkar dari Semarang dengan judul “TUK”. Cerita ini berlatar belakang kehidupan masyarakat kelas bawah di daerah Magersaren. Penduduk Magersaren berprofesi sebagai pedagang pasar, tukang tambal ban, tukang patri, pengangguran, hingga penjual bumbon. Permasalahan timbul ketika pasar tradisional di kawasan ini akan digusur dan diganti dengan pasar modern. Hal ini menjadikan pro kontra masyarakat Magersaren yang sebagian menginginkan perubahan nasib, sebagian yang lain menginginkan lingkungan Magersaren dipertahankan sebagai tinggalan nenek moyang mereka.

Persoalan itu bersangkut paut pula dengan pergeseran budaya sebagian kecil masyarakat yang mulai tidak mempercayai budaya setempat. Ulah salah seorang warga bernama Soleman yang telah berani mengotori sumur umum dengan kotoran, mencerminkan sikap budaya yang mulai luntur.

Sebagaimana kepercayaan orang Jawa, bahwa sumur atau tuk adalah representasi dari sumber kehidupan yang harus dirawat dengan baik. Kalau sumur atau tuk telah dicemari dengan kotoran akan pudar pula kehidupan masyarakat. Tidak mampu mempertahankan budaya Magersaren, masyarakat pun kalah. Lingkungan Magersaren dibakar dan Mbak Kawit yang menjadi simbol tokoh budaya setempat ikut tewas.

Dukacita memayungi penduduk Magersaren. Semua merasa kehilangan, bukan hanya karena tempat tinggal mereka telah luluh lantak, masyarakat telah ditinggal pergi Mbak Kawit, kekasih yang selama ini mereka cintai.

Teater Lingkar membawakan lakon “Tuk” dengan penuh penjiwaan. Penyajian karakter ditampilkan cukup kuat. Sepanjang pementasan, ratusan jamaah dibuat terpingkal-pingkal oleh akting para pemainnya. Menariknya, ada dua orang aktor dalam tim ini yang berasal dari Rembang. Beliau adalah Mas Galih Pandu Adi dari Lasem dan Mbak Siti dari Gang Mbelik, Sumberjo.

Kang Fahmi yang menjadi moderator acara menilai pementasan ini sudah cukup dijadikan mukaddimah sebagai pengantar diskusi. Temanya adalah Islam, Rahmatan Atawa La’natan Lil ‘Alamin”. Rahmat berupa sumber mata air dan lingkungan akan berubah menjadi laknat ketika nafsu kepentingan sebagian golongan mendominasi. “Islam yang berdampingan dengan budaya masyarakat adalah rahmat, tapi akan bergeser menjadi adzab ketika Islam dimainkan sebagai alat politik untuk kepentingan golongan,” tandas Kang Fahmi.

Menanggapi pementasan tersebut, Mas Harianto berpendapat, “Saat ini air memang sudah keruh. Setan mampu dengan sangat perlahan-lahan mengubah paradigma dengan menggunakan agama sebagai alat kezholiman. Tinggal bagaimana kita menyikapinya. Saat melaksanakan rukun Islam sendiri, kita sangat mudah dibisiki oleh setan agar mengubah niat. Syahadat, shalat, puasa, zakat, dan haji bisa dibelokkan oleh setan agar berujung pada nafsu kemauan kita. Kalau kita mengeluarkan zakat Allah akan menggantinya dengan rezeki yang lebih banyak. Saat ini satan sudah tidak menghasut kita untuk tidak berzakat. Tapi justru memacu kita untuk berzakat, agar Allah memberi imbalan yang lebih banyak,” ungkap Mas Harianto.

Menurut Mas Agus Wibowo, “Setan itu adalah diri kita sendiri. Pada zaman kolonial Belanda, pengorbanan menjadi mesin utama perjuangan, tapi di era pembangunan saat ini kita malah mudah mengorbankan orang lain”. Mas Agus Wibowo mengajak jamaah untuk memandang persoalan tidak hanya dari satu sudut pandang hitam atau putih. Kebaikan dan keburukan sama-sama perlu dipelajari agar kita mendapatkan solusi yang proporsional.

“Konflik fisik itu berawal dari konflik di pikirannya sendiri,” kata KH. Muzammil, “Kita selesaikan dulu konflik di pikiran kita agar keputusan yang diambil tidak menimbulkan konflik di masyarakat”. Beliau juga mengingatkan hendaknya kita tidak melupakan hukum kausalitas. “Kita juga sering melupakan hukum sebab akibat. Ketika para istri marah pada suaminya, tempatnya kan neraka. Kalau kita tidak mempelajari mengapa istri ini marah, kan kasihan. Maka inilah perlunya duduk bersama, lalu berfikir integratif”.

Pada kesempatan malam itu, Habib Anis Sholeh Ba’asyin meluruskan tema diskusi yang dipilih. “Kalau melihat ayatnya (QS. Al-Anbiya ayat 107-red), wa maa arsalnaaka illaa rahmatan lil ‘Aalamiin (artinya: dan Kami tidak mengutus engkau melainkan untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam). Yang dimaksiud “Engkau” pada ayat ini adalah Nabi Muhammad SAW. Saya tidak tahu, sejak kapan mulai muncul istilah Islam Rahmatan Lil’Alamain”, jelas Habub Anis.

Menurutnya , rahmatan lil’alamin itu tercermin dari perilaku Nabi Muhammad yang sangat terpuji. Islam sudah kaaffah sejak semula. Islam tidak mungkin melaknati Islam itu sendiri. Berarti yang laknat itu orang-orang Islam yang tidak mengikuti Nabi dan tidak melaksanakan ajaran Islam dengan benar. “Rohmah itu multi wajah. Bahkan pada diri seorang pelacur tersirat wajah Allah. Semuanya punya hati dan kekayaan yang sesunguhnya ada di hati. Kita harus menggunakan bahasa hati,” sambung Habib Anis.

Ketika dimintai pendapatnya, Mas Ton, pemimpin Teater Lingkar, semarang berpesan, “Jadilah orang Islam  yang nyamuderaDadio lemah sing ora nampik apa wae sing dipendhem. Dadio samudera sing ora nampik apa wae kang tumeka. Di samudera itu semua boleh datang, tapi nanti akan terseleksi sendiri mana yang baik dan mana yang sampah”.

Malam itu, jamaah yang hadir dipersilahkan untuk menyampaikan pertanyaan atau pendapatnya terkait tema Maiyah. Pada kesempatan pertama, Kang Abdul Chamim, salah seorang pelukis di Rembang meminta para nara sumber merumuskan sebuah konstruksi yang aplikatif di era kekinian untuk mengedukasi masyarakat dalam menerima perbedaan. Rumusan ini diharapkan bisa menjadi “cinderamata” sepulang dari Sendhon Waton.

Menanggapi pertanyaan tersebut, Habib Anis mengingatkan perlunya memandang persoalan secara utuh agar tidak terjadi konflik. “Kita sering dipisah-pisah sehingga tidak fokus. Agama dipisah dengan politik. Ilmu ekonomi masuk kota sendiri, biologi sendiri, geografi sendiri. Sehingga yang ahli ekonomi bertengkar dengan yang ahli agama”, jelas Habib Anis.

Merespon konstruksi beripikir Ki Sigid Ariyanto menyampaikan, “Nampaknya kita harus kembali pada ajaran para leluhur kita yang sarat nilai. Di Jawa ada ajaran Memayu Hayuning Jiwa, Memayu Hayuning Keluwarga, Memayu Hayuning Bangsa, Memayu Hayuning Bawana. Ini tahapan bagaimana seharusnya kita hidup. Dimulai dari Memayu Hayuning Jiwa, kita lakukan dulu pekerjaan yang cocok dengan keahlian kita. Kita harus bermanfaat dulu bagi diri sendiri, baru kita membahagiakan keluarga, memikirkan kemanfaatan masyarakat sekitar, dan memberikan kontribusi kemanfaatan bagi negara.”

Cak Rud, penggiat Maiyah dari Blora, melengkapi apa yang disampaikan Ki Sigid. “Di Al-Qur’an kan juga ada, quu anfusakum wa ahliikum naaroo, peliharalah dirimu sendiri dulu, baru keluargamu, baru orang lain,” ungkap Cak Rud. Diingatkan juga oleh Cak Rud Blora akan pentingnya bertoleransi di tengah masyarakat yang beragam ini.

Pada kesempatan kedua, Mas Allief Zam Billah, seorang penulis dan budayawan Rembang meminta pendapat nara sumber mengenai perpecahan yang terjadi di masyarakat Rembang terkait keberadaan pabrik Semen. Menanggapi hal itu Habib Anis menjawab, “Saya tidak pro ataupun kontra dengan pabrik semen. Tapi mari kita melihat permasalahan secara utuh agar tidak bertengkar sendiri. Siapa dan apa yang ada di balik pro-kontra tersebut”. Habib Anis mengingatkan, modal asing telah menguasai negara. Jangan sampai masyarakat diadudomba dan menjadi korban.

Habib Anis Sholeh Ba’syin juga menyoroti tentang salah kaprah pengelolaan negara. Pada masa orde baru, etnis Tionghoa dijadikan bemper pembangunan yang dihadapkan langsung dengan pribumi. Pada satu sisi etnis Tionghoa ini juga korban.

Pada kesempatan berikutnya, Kang Tejo, seorang aktivis sosial dan Mas Deni, Ketua Generasi Muda FKUB, menyampaikan semakin maraknya tudingan kafir yang belakangan ini mengemuka. Dengan lugas Habib Anis merespon, “Kafir itu macem-macem lho. Ada juga kafir sirri, yaitu kekafiran yang tersembunyi di dalam hati kita sendiri. Ini justru yang sangat berbahaya”.

Acara Sendhon Waton diakhiri pada pukul 01.15 WIB. Jamaah Maiyah yang bertahan hingga acara selesai mencerminkan antusiasme mereka. Yang pertama selalu berkesan, tapi akan kalah dengan yang istikomah. Mudah-mudahan Sendhon Waton bisa ajeg dan langgeng memberikan manfaat bagi masyarakat. Amin. (jul)

Lainnya

KiaiKanjeng of the Unhidden Hand

KiaiKanjeng of the Unhidden Hand

Sejak jum’at siang (8/5) KiaiKanjeng sudah berada di Jakarta untuk malamnya menghadiri Kenduri Cinta, setelah menjalani rangkaian Maiyahan di Jawa Timur, mulai tanggal 4 Mei 2015 di Universitas Airlangga Surabaya, kemudian 5 Mei 2015 di Universitas PGRI Adibuana Surabaya, dilanjutkan tanggal 6 Mei-nya di Sidoarjo.

Kenduri Cinta
Kenduri Cinta
Exit mobile version