Yang Maha Gembira
“Ketika Tuhan tersenyum, terciptalah Pasundan”. Begitu seorang komponis keindahan memilih bentuk ungkapan rasa syukurnya. Gembira atas anugerah tanah Pasundan nan indah dan kaya raya. Bangga dijadikan manusia Sunda dengan kehalusan jiwanya.
Orang Madura boleh tak mau kalah. “Ketika Tuhan tertawa ceria, terciptalah Madura”. Manusia Madura sangat percaya diri. Jiwanya bebas. Pikirannya liar. Logikanya unik. Keberaniannya membelah kehidupan dan ketangguhannya melawan tantangan, tak tertandingi.
Tetapi harus dijaga ungkapan itu jangan sampai keluar dari ranah puisi, amsal dan simbolisme-romantik susastra. Jangan lompat masuk ke fakultas ilmu, kecuali berbekal rentang dinamis antara fisika dengan metafisika. Cara pandang ilmu itu kategoristik dan lurus-lurus. Ilmu bertanya: Tuhan kok tersenyum. Apalagi tertawa ceria.
Hati-hati terpeleset di jalan licin Mujassimah: menjisim-jisimkan Tuhan. Menjasad-jasadkan Malaikat. Meskipun Allah Maha Melihat dan Maha Mendengar, jangan bayangkan Ia punya mata dan telinga seperti kita. Meskipun Ia menginformasikan: “Wahai Tuhan Yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.” [1] (Ali ‘Imran: 26) – jangan lantas membayangkan Tuhan punya tangan, lengan, jari jemari, kuku dan helai-helai bulu seperti makhluk.
Si Markesot itu kadang nyerempet-nyerempet Mujassimah. Pernah sambil senyum-senyum nggak enak ia bercerita bahwa dulu sejumlah Malaikat disuruh Tuhan mengambil tanah liat di Bumi untuk bahan bikin Adam, tapi dihalangi oleh Iblis, yang sejak 1000 tahun sebelumnya sudah punya Kerajaan di Bumi. Yang akhirnya berhasil ambil tanah “lempung” adalah taktik Malaikat Izroil. Beliau meladeni duel melawan Iblis yang menghalangi tugasnya. Nah, ketika perkelahian terjadi, Malaikat Salim yang diam-diam diajaknya serta turun dari langit ke Bumi: mengambil segenggam besar tanah liat.
Iblis merasa terjebak oleh siasat Izroil, naik pitam, berlari mengejar Izroil dan Salim dari bumi hingga langit. Ketika Izroil terbang dan melompat ke Sorga, sejumlah tanah sorga terlempar oleh kaki beliau. Petilan tanah Sorga itu terjatuh ke Bumi, dan menjadi Indonesia.
Kalau narasi Mujassimah Markesot itu dosa, Allah yang menghukum Markesot. Tapi semoga Allah mengampuninya. Sebab maunya dia itu bersyukur atas karunia Allah yang berupa Indonesia. Segala-galanya tentang Indonesia adalah rahmat dan barokah. Sekadar terbersit saja kata Indonesia dalam ingatan, merekahlah kegembiraan. Benih-benih kegembiraan di tanah Indonesia, menumbuhkan pohon-pohon kebahagiaan bagi siapapun saja yang tinggal di atasnya, dari zaman ke zaman.
Putra ragil Pak Kuswoyo, yakni Kusyoko, alias Yok, mengabadikannya: “Orang bilang tanah kita tanah Sorga, tongkat kayu dan batu jadi tanaman”. Keluarga Kuswoyo adalah manusia-manusia pensyukur, dan hidup di dunia khusus untuk menyebarkan kegembiraan sejak era 1960-an hingga kini. Maka karya terakhir Yok Kuswoyo yang saya tahu adalah lagu lembut mendalam dengan lirik terjemahan Al-Fatihah.
Tanah air Indonesia Raya adalah salah satu karya unggul Allah swt dari kandungan kegembiraan-Nya. Maka ummat manusia yang tinggal di Indonesia selalu bermurah hati kepada seluruh penduduk dunia, menggembirakan para tetangga dan tamu-tamunya.
Yogya, 18 November 2017