Yang Lebih Mencintai
Rupanya hal 2018-2019 itu yang membuat Markesot pergi menghilang kali ini bersama Mbah Shoimun. Anak-anak muda itu mendengar dari Pakde Sundusin. Pernyataan Markesot sangat melankolik dan Zaman Old banget:
“Demi cinta saya kepada rakyat, bangsa dan Negara, mulai sekarang hingga dua tahun ke depan atau lebih, saya akan berpuasa lebih total dibanding puasa-puasa saya selama ini”, berkata Markesot kepada teman-temannya.
“Puasa bagaimana?”
“Saya tidak akan mengatakan lebih banyak lagi hal-hal yang sebenarnya saya berhak mengatakannya. Bahkan demi kepentingan umum sesungguhnya saya setengah wajib mengatakannya. Saya akan mulai sangat menahan diri, mengunci mulut lebih erat, dan menyimpan lebih banyak hal-hal untuk disimpan dalam rahasia”
“Hal-hal apa itu maksudnya?”
“Hal-hal tentang Indonesia, Pemerintah, Islam, kekuasaan, ormas dll”
Itulah salah satu contoh, di antara banyak contoh-contoh lain, di mana Markesot menjadi bahan tertawaan teman-temannya sendiri, karena mengambil keputusan yang sama sekali tidak jelas dasar pemikirannya dan tanpa memiliki kelengkapan perangkat yang diperlukan untuk keputusan itu.
Markesot memang usil. Tahun 1969 tiba-tiba ia nongol. Beredar ke sana kemari menunjukkan cintanya yang gegap gempita kepada Indonesia, rakyatnya, ummatnya, bangsa dan negaranya. Beberapa temannya mengatakan bahwa Markesot melakukan sejumlah hal besar pada sejumlah momentum sejarah. Tetapi kebanyakan orang menertawakannya, menganggapnya sebagai kabar burung dan khayalan.
Kepada Pakde Sundusin ia berbisik: “Posisi kita sekarang ini seperti tersiksa menyaksikan seorang suami yang selingkuh sana-sini, tetapi kita tidak punya kemungkinan untuk memberitahukan hal itu kepada istrinya. Kalau saya tidak meningkatkan puasa saya dan mendemokratisasikan mulut saya: bisa bubar rumah tangga mereka. Apalagi kalau saya memacu nahi munkar, penegakan kebenaran, meskipun kita bermaksud baik…”
Dalam suatu pertemuan di mana Markesot menyampaikan hal puasa itu, Mbah Shoimun yang duluan tertawa. Teman-temannya yang lain tersenyum sambil berpandangan satu sama lain. Sebenarnya kasihan Markesot, karena sesungguhnya teman-temannya itu adalah muridnya. Apalagi Mbah Shoimun. Siapa dia ini. Mana berhak dia menertawakan Markesot. Apalagi responsnya sangat menyakitkan:
“Memangnya apa yang berubah kalau kamu mengatakan sesuatu atau merahasiakan sesuatu? Apalagi tentang hal-hal besar seperti Indonesia, yang kamu tidak dikenal olehnya dan tidak pernah punya peran apa-apa…”
Mbah Shoimun bilang yang dicemaskan oleh Markesot itu baik-baik saja, sementara Markesot sendiri yang bunuh diri: “Apakah engkau akan membunuh dirimu sendiri karena bersedih oleh mereka semua berpaling dari kebenaran...”. [1] (Al-Kahfi: 6)
Markesot sudah terbiasa diremehkan oleh Simon Saimon Shoimun sahabat anehnya itu. Maka ia bersabar dan menjawabnya: “Kita sedang berada di suatu Negeri yang penduduknya tidak benar-benar mengerti apa yang mereka lakukan, tidak mengetahui akan sampai ke mana perjalanan mereka, serta tidak menyadari apa yang akan menimpa mereka. Siang malam penduduk Negeri itu melihat dan mendengar kabar yang isinya penuh penganiayaan. Padahal “Allah tidak menganiaya mereka, akan tetapi merekalah yang selalu menganiaya diri mereka sendiri”. [2] (An-Nahl: 33)
Markesot bercerita kepada teman-temannya tentang Allah yang merasakan betapa mendalam cinta kekasih-Nya Muhammad saw kepada ummat manusia. Sampai-sampai Allah menawarkan: “Karena sedemikian mendalam cintamu kepada mereka, bagaimana kalau Aku serahkan seluruh urusan mereka kepadamu?”. Di mana Allah sendiri menuruti apa saja kebijaksanaan kekasih-Nya itu kepada ummatnya.
Rasulullah menjawab: “Tidak, wahai Tuhanku, karena Engkau lebih mencintai mereka daripada aku. Cintamu kepada mereka lebih mendalam dibanding cintaku”.
“Saya bukan perenang yang baik di gelombang cintanya Kanjeng Nabi”, kata Markesot, “tetapi saya berenang. Maka sebagaimana beliau, saya pun tak akan bertindak sendiri atas apapun, melainkan menantikan perkenan dan dhawuh-Nya”.
Yogya, 28 November 2017