Waspada Sebagai Makna Takwa
Dekonstruksi dan anak muda. Rasanya klop. Bukan hanya klop, tapi memang perlu. Perlu dekonstruksi atas ketidakseimbangan dan ketidakutuhan yang melekat pada cara-cara berpikir tentang politik, tentang agama, maupun hal-hal sehari-hari dan sederhana. Dan anak-anak muda yang akan mengisi masa depan memerlukan hal itu.
Ngaji Bareng bersama Mbah Nun dan KiaiKanjeng malam ini terasa pula sebagai proses dekonstruksi ini. Ketika orang bertahun-tahun dibikin terbiasa berpikir penegasian dan pembukanan, anak-anak muda ini diajak keluar dari konstruksi berpikir seperti itu. Mereka diajak merasakan dan mengalami bahwa hubungan antara negara dan agama bukan hubungan oposisi biner, melainkan dengan melihat asal-usul manusia dan pengetahuan yang diterimanya, mustahil negara meninggalkan agama. Negara butuh agama. Tapi hubungan keniscayaan negara dan agama tidak dalam pemahaman pemikir muslim modernis.
Tatkala orang tidak tegas dalam memandang hakikat Indonesia dalam konteks Bhinneka Tunggal Ika, Mbah Nun mengajak anak-anak muda itu berpikir integral bahwa Indonesia itu ya Jawa ya Sunda ya Madura ya Sulawesi ya semua etnik yang ada di Indonesia. Tidak boleh ada pikiran yang meletakkan Jawa dan lain-lain etnik dalam posisi berlawanan dengan keindonesiaan. Itulah Bhinneka Tunggal Ika. Karena itu, Bhinneka Tunggal Ika tidak boleh dipakai untuk satu kelompok tertentu sebab berkemungkinan menimbulkan kesimpulan bahwa yang di luar kelompok itu bukan Bhinneka Tunggal Ika.
Dan tak perlu diuraikan lagi bahwa cara dan pola komunikasi Mbah Nun pun juga merupakan dekonstruksi dalam konteks budaya, cara penyampaian pesan-pesan agama, maupun cara memahami hal-hal kecil sehari-hari. Dari situ pula Mbah Nun mengemukakan bahwa hidup harus kaya tetapi tetap harus waspada, dan jangan menabrak tembok-tembok. Waspada. Itulah yang menyifati dekonstruksi Ngaji Bareng ini yang mungkin membedakan upaya-upaya dekonstruksi lain yang ada. Bukan dekonstruksi an sich (dekonstruksi asal dekonstruksi), tetapi dekontruksi yang tetap dikontrol oleh nilai-nilai.
Kewaspadaan itu terbetik dari cara Mbah Nun memahami dan merasakan arti takwa. Bagi Mbah Nun sebenarnya tak ada kata yang pas dalam bahasa Indonesia yang dapat mengartikan kata takwa. Tetapi kata waspada cukup menampung beberapa dimensi makna takwa. Dengan konsep ‘waspada’ Mbah Nun mengeksplorasi lebih luas makna takwa. Dari situ pula Mbah Nun sampai pada implementasi waspada. “Kita harus waspada. Jangan mudah mengafirkan orang. Posisi kita sebagai manusia hanya mugo-mugo, bukan posisi kepastian,” Mbah Nun mengambil salah satu pemaknaan takwa.