Untukmu Urusanmu, Untukku Urusanku
Pernah di suatu acara pernikahan salah seorang putra ulama besar negeri ini, Mbah Nun hadir ngrawuhi sekaligus didaulat untuk memberikan nasihat, ular-ular atau wejangan untuk kedua mempelai. Salah satu yang disampaikan beliau adalah :
“Nanti kalau anda berdua sudah resmi menjadi suami istri. Cobalah selesai shalat untuk membaca Al-Qur`an secara acak. Maksudnya anda buka Al-Qur`an dengan mata tertutup alias merem. Dan surat apa yang nanti terbuka itulah yang dibaca. Suami baca tilawahnya (arabnya), sang istri baca terjemahannya. Atau sebaliknya. Dan nanti isi ayat yang kalian baca tersebut pasti nyambung dengan kehidupan anda. Paling tidak ada korelasi antara kandungan ayat dengan keadaan atau situasi yang sedang anda alami. Wis to percoyo kon!”
Wejangan dari Mbah Nun tersebut pun coba saya praktikkan beberapa hari lalu. Usai sholat maghrib, istri saya mengambil Al-Qur`an di atas meja dan spontan saya meminta untuk membuka acak Al-Qur`an yang dipegangnya. Dan yang terbuka adalah surat Al-Anbiya`. Istri saya langsung deres Qur`an halaman pertama mulai dari ayat teratas sampai paling bawah. Rampung satu halaman giliran saya untuk membacakan terjemahan-nya. Dan tercengang saya ketika membaca arti pada dua ayat terakhir (89-90) di halaman itu.
“Wa zakariyyaa idz naadaa robbahu robbi laa tadzarnii fardan wa anta khoirul-waaritsiin“. Artinya “Dan (ingatlah kisah) Zakaria, ketika dia berdoa kepada Tuhannya, Ya Tuhanku, janganlah Engkau biarkan aku hidup seorang diri (tanpa keturunan) dan Engkaulah ahli waris yang terbaik.” (Al-Anbiya`: 89)
Dilanjutkan ayat berikutnya: “Fastajabnaa lahu wa wahabnaa lahu yahyaa wa ashlahnaa lahu zaujah, innahum kaanuu yusaari’uuna fil-khoirooti wa yad’uunanaa roghoban wa rohabaa, wa kaanuu lanaa khoosyi’iin.” Artinya: “Maka Kami kabulkan (doa)nya, dan Kami anugerahkan kepadanya Yahya, dan Kami jadikan istrinya (dapat mengandung). Sungguh, mereka selalu bersegera dalam (mengerjakan) kebaikan dan mereka berdoa kepada Kami dengan penuh harap dan cemas. Dan mereka orang-orang yang khusyuk kepada Kami.” (Al-Anbiya`: 90)
Maha Benar Allah dengan segala firman-Nya dan benar pula apa yang pernah diutarakan Simbah. Ayat Qur`an yang kami baca secara acak tersebut benar-benar nyambung dan ada korelasi dengan situasi yang sedang kami alami. Pada surat Al-Anbiya` ayat 89 dan 90, terdapat kisah Nabi Zakaria yang begitu mengharukan. Di mana menginjak usia senja, beliau belum juga dikaruniai seorang putra. Tanpa lelah dan tak putus asa Nabi Zakaria terus memohon kepada Allah agar diizinkan untuk memiliki keturunan. Beliau tidak pernah berburuk sangka kepada Allah. Di hati beliau hanya ada iman, ketaatan, kesabaran, dan kekhusyukan dalam berdoa. Sampai akhirnya Allah perkenankan istri beliau hamil hingga melahirkan putra yang bagus rupa bernama Yahya.
Kisah yang dialami Nabi Zakaria memang tidak sama persis dengan yang terjadi pada saya dan istri saat ini. Namun terdapat getaran, suasana, dan spirit yang sama di sana. Sebagai pengantin baru kami ingin segera memiliki keturunan. Kami berdua sepakat untuk tidak menunda kehamilan. Kami sama-sama ingin segera dikaruniai momongan.
Kisah Nabi Zakaria yang termaktub dalam Surat Al-Anbiya` ayat 89 dan 90, telah memberi pelajaran luar biasa kepada kita. Terutama bagi saya dan istri. Tentang bagaimana memposisikan diri kita di hadapan Tuhan. Kita, manusia berposisi sebagai hamba. Yang bisa dilakukan manusia sebagai hamba hanyalah berusaha dan berdoa. Berusaha sebaik-baiknya dan berdoa sebaik-baiknya. Khusyuk bekerja, khusyuk berdoa. Persis apa yang telah dilakukan Nabi Zakaria. Dengan perasaan harap-harap cemas, kami pun terus berusaha, berdoa, berbaik sangka kepada Allah, semoga kami dikaruniai anak keturunan di saat waktu yang ditentukan datang. Wallahu’alam.
***
Masih di hari yang sama. Usai mengaji Qur`an, malamnya giliran saya membuka telepon pintar. Yang pertama saya tengok adalah website caknun.com. Buat saya caknun.com sudah seperti ‘kampus online’. Selalu ada ilmu baru, mutiara hikmah dan pelajaran berharga yang didapat setelah membaca berbagai tulisan yang tersaji di sana.
Setengah iseng saya ndudul rubrik Daur dan memilih Daur II-184. Kenapa pilih nomor 184? Karena 18 itu tanggal lahir istri saya dan 4 adalah bulannya, yaitu April. Saya iseng meng-othak-athik-gathuk-kan, apakah ada hubungan atau tidak antara isi Daur II-184 dengan situasi kami sekarang ini. Judulnya “Mencari Iblis”. Waduuh, kok ngeri judulnya. Pelan-pelan saya mulai membacanya.
Toling sambil masih tertawa meneruskan. “Terus terang kami sering merasa GR. Kalau membaca Al-Qur`an yang kami cari adalah diri dan posisi kami sendiri. Termasuk perkenalan dan proses kami dengan lingkungan Mbah Sot bersama Pakde Paklik ini juga tidak sengaja kami mengincar siapa tahu apa simbolisme, perumpamaan atau padanannya di kisah Al-Qur`an — meskipun tentu saja itu sekedar konteksnya, temanya, bukan kalibernya, kadarnya atau skalanya” —Daur II-184 – Mencari Iblis
Loh kok aneh ya. Saya pribadi juga merasa GR seperti yang paklik Toling rasakan. Bahwa kisah Nabi Zakaria dalam surat Al-Anbiya` 89-90 senada dengan diri dan posisi saya sekarang ini. Di saat saya dan istri tengah ngebet untuk mendapatkan sang buah hati, Allah dengan baik hati menggiring kami untuk belajar dari kisahnya Nabi Zakaria. Belajar bagaimana agar dikaruniai seorang putra. Dengan cara berusaha, berdoa, dan berbaik sangka kepada Allah Ta’ala. Allah-lah Sang ahli waris terbaik. Allah pulalah satu-satunya pengabul doa. Dan bersyukur rasanya ketika posisi saya disambungkan Allah dengan kisah Nabi Zakaria di dalam Al-Qur`an. Meski sekadar nyerempet konteksnya, temanya, nuansanya, bukan kalibernya, kadarnya apalagi skalanya.
Dahsyatnya begini limpahan rahmat Allah kepada manusia, kok selama kami melihat masyarakat, Negara, globalisasi dan semua keadaan dunia ini — isinya mengeluuuuuh terus tentang kemiskinan, kesulitan ekonomi, ketimpangan pembagian rejeki, pertengkaran, permusuhan, persaingan, perebutan...” —Daur II-184 – Mencari Iblis
Manusia sekarang memang kebangetan. Limpahan rahmat dan segala fasilitas telah Tuhan berikan tapi masih saja mengeluh, sambat, merasa kurang dan enggan bersyukur. Padahal bisa ngenthut itu saja sudah nikmat luar biasa. Bayangkan kalau seharian kita tidak bisa buang gas. Pasti perut rasanya mbegegeg, kembung, panas, mual dan mulas. Sumpah ndak enak banget.
Namun sebaliknya jika tiap jengkal hidup ini dilalui dengan rasa syukur, maka yang ada hanya enak, nyaman, ayem-tentrem. Hingga detik ini saya sudah tak sanggup lagi menghitung betapa banyak dan melimpahnya rahmat Allah yang telah diberikan. Iman, Islam, kesehatan, rezeki dan jodoh yang baru saya dapatkan adalah rupa-rupa kenikmatan yang tak terbantahkan.
***
Jujur saya sampaikan, bahwa masa-masa ini saya dan istri sebagai manten anyar sedang intim-intimnya dalam rangka mengupayakan untuk segera dianugerahi momongan. Dan Gusti Allah lagi-lagi ‘bekerja sama’ dengan Simbah untuk memberi alarm, note, warning kepada saya. Allah menuliskannya di dalam Al-Qur`an lalu Simbah men-jlentreh-kannya dalam bentuk tulisan.
Kemudian Kami berfirman, Wahai Adam! Sungguh ini (Iblis) musuh bagimu dan bagi istrimu, maka sekali-kali jangan sampai dia mengeluarkan kamu berdua dari surga, nanti kamu celaka.” (Thaha: 117) —Daur II-184 – Mencari Iblis
Gegara rasa angkuh dan dengki, Iblis pun merayu mbah Adam untuk memakan buah khuldi. Akibatnya Adam diusir Tuhan dari surga. Sejak saat itulah Iblis menjadi musuh bagi manusia. Iblis pun berjanji di hadapan Tuhan akan terus memusuhi anak-cucu Adam. Rasanya pengin sekali saya “Mencari Iblis”, untuk kemudian mengajaknya diskusi.
“Blis, di dunia ini saya tidak mau punya musuh. Jadi jangan musuhi kami. Kami tak akan mengganggumu dan kamu jangan coba ganggu-ganggu. Jadi blis, plis jangan ikut campur urusan rumah tangga kami. Kita sama-sama ciptaan Tuhan. Sudahlah, kita urus saja rumah tangga kita masing-masing. Untukmu urusanmu, dan untukku urusanku.”
Namun Iblis hanya terpingkal, sialan!
Sragen, 27 September 2017