CakNun.com

Ummat Islam Menunggu Menjadi Patriot

Mif Irfan Bimantara
Waktu baca ± 5 menit

Tuhan memberikan satu hak mutlak yang tidak bisa diambil atau dihentikan oleh siapapun, yaitu jalan Jihad. Tidak ada satupun yang berhak mewakili, mengatasnamakan, atau mendelegasikan. Setiap muslim berhak dan bisa kapanpun mengambil haknya tanpa kecuali. Jadi bukan hanya FPI, NU, atau Muhammadiyah saja yang boleh bicara Jihad. Pemulung atau penjual sayur di pasar dengan wawasan dan tekad bulat, bisa melakukan Jihad. Bukan tentara atau polisi saja yang bisa mengklaim bentuk lain dari jihad, yang masih satu keluarga, yaitu menjadi Patriot.

Tidak harus menunggu jadi Jenderal untuk jadi patriot atau pahlawan. Tidak harus menunggu jadi Kapolri atau jadi Gubernur DKI untuk menjadi patriot. Karena modalnya hanya menunggu alasan yang oleh agama diizinkan, menunggu alasan saja bahwa jihad atau patriotisme itu lebih wajib daripada mempertahankan para pemimpinnya yang lalim. Tidak harus taat peraturan jika hanya dipakai oleh pemegang saham negeri ini untuk menindas rakyat atau ummat Islam.

Regenerasi Jalan di Tempat

Saat terjadi perpindahan kekuasaan 1998, untungnya Negeri ini masih menyisakan tokoh yang memang dihormati dan diikuti di wilayahnya masing-masing. Didukung dengan gaya yang identik santun, bertemu presiden Soeharto dengan penuh kesiapan dan pemahaman yang utuh tentang situasi Negeri. Bertata bahasa, dengan pamungkasnya Cak Nun menjelaskan alasan kenapa Pak Harto harus mundur.

Hal penting yang harus digarisbawahi adalah Pak Harto Mundur. Bukan jatuh, atau dijatuhkan. Kita tahu bahwa beberapa tokoh yang terlibat pada hari penting tersebut sangat hati-hati dipilih. Antara lain Cak Nun, Cak Nur, Gus Dur, KH. Ali Yafie, KH. Ma’ruf Amien, Sumarsono,Yusril Ihza Mahendra, dan Malik Fadjar. Jika kita lihat di luar istana memang banyak yang terlibat. Semisal Sri Sultan HB X, Megawati, dan juga Amien Rais. Di barisan kabinet yang saat ini masih eksis seperti Wiranto, Prabowo, Aburizal Bakrie, juga Jusuf Kalla.

Cak Nun pernah bernada tinggi saat beberapa orang mengkritisi peran Orde Baru, yang sampai saat ini, partai dan jajaran lembaga tinggi negara masih diisi oleh generasi lama era Orba. Apakah saat ini kita sudah berada pada kondisi Hijrah dari model kepemimpinan Orde baru? Kenyataannya, baik kelompok pro pemerintahan dan oposisi masih diisi orang-orang lama.

Cak Nun secara simultan mengorganisir masyarakat, juga ummat Islam yang ditinggal sendirian. Misi besar yang dapat kita tangkap maksudnya, walau tidak mewakili keseluruhan perjalanan Cak Nun adalah komitmen besarnya untuk menenami Ummat Islam dan Bangsa Indonesia. Tanpa mengambil apapun posisi strategis di negeri ini. Tidak menjabat apapun atau pernah menjabat sesuatu dan di manapun di negara ini. Generasi sepuh seperti Ulama lainnya banyak berdiam di Pondok Pesantren dan menjalankan rutinitas di sisa hidupnya dalam keadaan negara dan bangsa sedang mengalami pertempuran memperebutkan kebenaran. Pemimpin nasionalis dan tokoh agama saling serang untuk mempertahankan siapa yang paling benar. Kaum Sepuh yang peduli dengan regenerasi kepemimpinan sedang resah dengan estafet genereasi selanjutnya.

Bangkitnya Milisi Ummat Islam

Jikalau ada konflik horizontal, toh Politbiro tidak banyak yang peduli tentang keselamatan rakyatnya. Selama ini, banyak ummat Islam di daerah, dalam setiap langkahnya selalu meminta pertimbangan, baik ulama dan tokoh di sekitarnya. Jangan hanya melihat yang 7 juta ummat Islam yang berduyun-duyun masuk Jakarta di persitiwa penting 212. Dari 230 juta jiwa, masih ada ummat Islam lainnya yang manut dan nurut dengan Ulama, yang tidak kita jumpai di semua media nasional dan media sosial. Bukan berarti kontra dengan 212, juga tidak bisa diklaim Umatnya NU atau Muhammadiyah. Ummat Islam di daerah-daerah inilah yang pelan-pelan mengkonsolidir dirinya, berkumpul menjadi pasukan-pasukan Milisi. Sekarang, siapa yang bisa menahan dari sekian gelombang ummat Islam tersebut?

Di antara ummat Islam sekarang saling curiga, di antara aparatur negara saling melindungi dirinya sendiri. Siapa yang layak memimpin ummat Islam dan Bangsa Indonesia? Siapa yang paling didengar ummat Islam saat datangnya perintah harus melawan dan menghentikan perlawanan? Dorongan pertanyaan ini dilatarbelakangi banyak yang tidak sadar bahwa ummat Islam sekarang sangat menderita. Namun pelan-pelan kelompok kecil berdialog, membahas tema dan kapan harus bergerak seperti layaknya Milisi. Pada waktunya akan tiba untuk bergerak, dipimpin oleh imamnya sendiri. Milisi-milisi ini akan mencari kawan seide dan seperjuangan untuk mulai menyusun alasan mereka bangkit untuk berjuang.

Model baru dalam melegalkan imperialisme melalui media hukum sangat terasa efeknya. Semua pihak dapat dibeli. Situasi birokrasi yang semakin korup membuat tata cara penyuapan menjadi solusi paling tepat. Tanpa terasa perilaku ini mendorong situasi negara untuk menindas dan terus mendholimi rakyat. Ormas kegamaan yang sibuk dengan urusan rutinitasnya menjadi kurang peka. Pemimpinnya semakin dimanjakan dalam menggunakan posisinya.

Dalam 11 tulisan yang sangat tajam dan sensisitif, Cak Nun di tulisan yang terakhir, Bangsa Yatim Piatu, memberikan sebuah pesan yang jika kita telaah dan pahami memang bermakna sangat dalam.

“Engkau bisa Mudah menguasai pengurus NKRI, engkau bisa membeli lembaga-lembaga, menaklukan Ormas-ormas. Tapi pemerintah Indonesia berbeda dengan bangsa Indonesia, Bangsa Indonesia berbeda dengan Rakyat Indonesia, Rakyat Indonesia berbeda dengan Hamba-hamba Tuhan di Tanah Air Indonesia. NU berbeda dengan Nahdliyin, Muhammadiyah berbeda dengan Muhammadiyin. Ormas-ormas Islam berbeda dengan Ummat Islam, dan Ummat Islam berbeda dengan ISLAM.”

Kemudian siapa yang harus diikuti oleh ummat Islam dalam situasi yang kelak semakin tidak baik? Rakyat memerlukan alasan untuk peduli pada Negaranya. Perlu alasan untuk berkontribusi pada keadaan yang serba darurat ini. Karena sesungguhnya rakyat juga tidak akan banyak merecokin apakah bentuk negaranya serikat atau kesatuan, sentralistik atau otonom.

Ummat Islam Perlu Alasan Menjadi Patriot

Mungkin memang genetik bangsa Indonesia yang selalu dihadapkan pada beban kesulitan. Mungkin dulu karena penjajahan yang berakibat penguasaan harta bendanya. Sengketa Ideologi Pancasila, Syariat Islam atau Komunisme, yang meminta rakyat membelanya, hingga persoalan sulit menimpanya. Semua mencari pendukung dan pembela. Selamat dan musibahnya, secara mutlak Rakyat dan ummat Islam juga yang menanggung akibatnya.

Selama hampir 400 tahun, bangsa Indonesia atau pribumi selalu diposisikan bangsa rendah, tidak bermartabat dalam kancah penataan ras terbaik di muka bumi. Eropa silih berganti mengambil apa yang ada negeri ini, kemudian Jepang, lalu sekarang Tiongkok dengan segala tetek bengek alasan dan legitimasinya. Menunjuk mana saja yang akan menjadi hak eksploitasinya. Memulai dengan kontrak usaha dan hutang bilateral, pelan-pelan IMF dan Amerika tergantikan oleh Tiongkok.

Ummat Islam sedang menunggu siapa lawan sebenarnya, sambil bersembunyi di balik kesibukan sehari-hari. Para Muslim yang bertani, tetap menggarap sawahnya. Muslim yang kelas pekerja tetap bekerja seperti biasa. Para Muslim pedagang di pasar tetap bangun sebelum subuh untuk membuka lapaknya. Jangan salah paham, mereka sedang diam dan tetap waspada menunggu arah angin untuk menjadi Patriot dan Mujahid sejati. Hati-hati dengan apa yang para pemegang kekuasaan miliki, anda tidak benar-benar tahu apa itu bangsa Indonesia, siapa Muslim Indonesia yang tentu berbeda dengan ummat Islam di Jazirah Arab.

Lihat persoalan-persoalan yang menyedot sebagian besar energi seluruh golongan pemimpin kita dari abad ke abad. Dari sekian catatan sejarah Nusantara, jika 350 tahun telah terjadi kolonialisme di Nusantara, dengan latar belakang Agama Kristen dan Katolik, nyatanya dogma dan dukungan kekuasaan serta kekuatan penuh tidak serta merta membuat bangsa Indonesia berpindah agama. Hal inilah yang dimaksud ummat Islam sejati di Nusantara. Sama halnya saat ini Negara sedang merencanakan rekayasa untuk memaksa rakyat untuk mempercayai apa yang dikendaki penguasa.

Bukankah rumusnya satu, Cak Nun mengajarkan untuk mengikuti “garis gravitasi” yang menghubungkan garis lurus antara Tuhan dengan apa yang diperintahkan-Nya pada Muhammad SAW. Manusia hanya perlu masuk pada garis tersebut. Akan ada keselamatan hidup dan kehidupannya. Karena kedamaian salah satu rukunnya adalah keadilan. Kedamaian merupakan kesejatian nilai yang dibawa Islam, menyatu dalam jiwa bangsa Indonesia. Pada saat anda akan melakukan hal baik, butuh alasan bahwa itu baik.

Rakyat indonesia butuh alasan untuk mendapatkan haknya menjadi patriot. Karena patriot selama 70 tahun mati bersama datangnya kemerdekaan. Ummat Islam menunggu alasan menjadi patriot dengan alasan bisa jadi melawan Komunisme, Tiongkok, atau melawan Amerika. Maka ummat Islam akan utuh menjadi mujahid atau mendapat hak prerogatifnya sebagai patriot. Bukan hanya itu, jika Negara dan Bangsa ini membutuhkan jiwa dan raga, jangankan ummat Islam yang memiliki legitimasi syariat, yang tidak beragama pun punya alasan untuk menjadi patriot Pembela Ummat Islam.

Lainnya

Syaikh Kamba dan Tafsir Agama Out of Mainstream-nya

Syaikh Kamba dan Tafsir Agama Out of Mainstream-nya

Tentang Pemerintahan Khilafah

Meski sangat jelas bukan ajaran Nabi — sebab khilafah merujuk kepada masa pasca-kenabian — sebagian kelompok keagamaan masih memercayainya sebagai sistem pemerintahan alternatif yang ditawarkan agama.

Faried Wijdan
Faried Wijdan