Ufuk Semesta dan Lubuk Diri
Tentu maksud Seger adalah: andaikanpun tidak ada teks Al-Qur`an, ia dan setiap manusia tetap menemukan esensi, butiran nilai, pintu makna dan hikmah, bahkan wujud dan aplikasi Al-Qu`an di dalam dirinya dan di hamparan alam semesta.
Allah bukan menuturkan teks Al-Qur`an dulu baru menciptakan jagat raya dan makhluk-makhluk yang menghuninya, sebagai pentas drama diawali dengan penulisan skrip skenario. Yang kemudian dituliskan di teks Al-Qur`an itu sebagian kecil atau besar sudah dihadirkan melalui wujud alam dan makhluk-makhluk lainnya. Organisme jagat, metabolism ruang dan waktu. Apapun namanya.
“…hingga jelas bagi mereka bahwa Al-Qur`an itu adalah benar”. [1] (Fushshilat: 53). Seger menjelaskan bahwa dasar berpikir mereka adalah “Qur`an menurut Allah”, bukan “Allah menurut Al-Qur`an”, meskipun, atau justru, karena dari Allah-lah Al-Qur`an bersumber.
“Kebenaran hidup ini menurut Allah, yakni kebenaran Allah itu sendiri, baru lengkap kebenarannya jika eksplorasi pembelajaran kita mencakup teks Al-Qur`an dan teks-teks lain, kemudian penelitian atas alam dan penghayatan manusia atas diri manusia sendiri”, kata Seger menambahkan.
Toling menambahkan seakan-akan ia pernah menulis puisi: “Manusia mengarungi Al-Qur`an di ufuk semesta dan di lubuk diri. Sekaligus manusia menelusuri ufuk semesta dan lubuk diri di bentangan Al-Qur`an yang berdinding cakrawala…”
Pakde Sundusin tertawa dan menyela: “Ungkapan-ungkapan seperti itu yang dulu paling merupakan favorit Mbah kalian Markesot”
Jitul menanggapi: “Pasti Mbah Markesot menikmati paradoks: dinding kok cakrawala, cakrawala kok dinding”
Junit tertawa juga: “Musuh utamanya cakrawala itu ya dinding”.