Tuliskan Sesuatu, Apa Saja
Rasa syukur saya yang pertama adalah bahwa pada akhirnya saya ditakdirkan untuk bertemu dengan Mbah Nun dan kemudian sangat mengagumi beliau. Kenapa hal ini sangat saya syukuri? Karena ternyata dari sekian banyak orang yang sudah pernah diperjumpakan (baik melalui tulisan, video, bahkan tatap muka langsung) dengan beliau tidak lantas kemudian mengagumi Mbah Nun, bahkan tidak sedikit yang mengkritik, membenci, atau memusuhinya.
Sebagaimana yang Mbah Nun sampaikan di dalam Daur 85 – Batas Syafaat :
Tuhan memegangi tangan kinasihnya itu dengan hak patent syafaat, yang diberlakukan hanya untuk mereka yang mengikuti jejaknya. Selebihnya hanya bisa ditangisi tiap malam hingga dini hari oleh beliau dalam sujud-sujudnya.
Saya memahami Daur sebagai kegiatan memperbarui sesuatu yang sudah mulai tidak bermanfaat. Pemahaman ini lahir barangkali karena sedari dulu kata ‘daur’ yang saya kenal selalu disandingkan dengan kata ‘ulang’. Pun begitu juga dengan seri tulisan Mbah Nun di rubrik Daur. Ada banyak hal-hal mendasar dan nilai-nilai inti yang dirasa mulai “tidak bermanfaat” oleh kebanyakan orang karena dianggap tidak menguntungkan secara materi. Kemudian hal itu didaur oleh Mbah Nun melalui tulisan-tulisan.
Apa yang beliau tulis itu menjadi bekal dan pegangan hidup untuk menemukan kebahagiaan yang sejati. Disadari atau tidak, belajar di Maiyah melatih kita untuk meredefinisi banyak hal. Oleh Mbah Nun pelan-pelan kita diajak untuk lebih jantan bersikap jujur kepada diri sendiri dan merdeka untuk menentukan ukuran-ukuran yang lebih tepat dalam hidup.
Lahirnya banyak simpul dan lingkar Maiyah di banyak tempat kini, mengingatkan saya pada video Mbah Nun saat berada di Belanda tahun 2008. Kurang lebih beliau menyampaikan: “Saat ini akan menjadi 10 tahun yang sangat penting, akan terjadi revolusi ruhani, abad spiritualitas…. lahir manusia-manusia yang tercerahkan….”
Dan di dalam perjalanan menyongsong abad spiritualitas itu, secara khusus Mbah Nun setia memberikan peta atau panduan dalam bentuk seri tulisan untuk para anak cucu dan Jamaah Maiyah. Maka menjadi kepatutan bagi jamaah Maiyah untuk juga nyicil membalas kasih sayang dan kesetiaan Mbah Nun dengan mulai belajar menuliskan hasil tadabbur dari tulisan-tulisan beliau.
Semacam perjalanan pencarian Nabi Ibrahim akan Tuhannya, di mana sang nabi harus mengalami beberapa kali ‘salah’ mengenali Tuhan, pencarian saya akan guru dalam hidup juga harus melalui beberapa kali ‘salah’. sebelum pada akhirnya dipertemukan dengan Mbah Nun.
Ini tahun ketiga saya menyeburkan diri di Simpul Maiyah Juguran Syafaat. Sungguh di luar dugaan saya, forum Juguran yang dulu teman-teman rintis ternyata adalah salah satu benih atau bagian dari rencana besar Tuhan akan pohon rindang tatanan peradaban. Forum yang saya sendiri pada awalnya tidak paham tujuan jelasnya, hanya berangkat dari rasa betah ketika ngumpul bareng teman-teman dan dengan amunisi ala kadarnya, copy-paste apa-apa yang Mbah Nun sampaikan dari apa yang saya lihat di Youtube dan dari buku-buku yang beliau tulis.
Mbah Nun sebagai marja’ ilmu, sudah memberikan banyak bahan untuk kita tuliskan. Ibarat hendak memasak, kita sudah disiapkan bahan makanan dan bumbu-bumbu–yang pasti halal dan thoyib–tinggal kita melatih diri untuk memasaknya menjadi hidangan yang manfaat, menuliskannya untuk kemudian menjadi ilmu bagi yang membacanya.
Budaya tulis memang belum lazim bagi kita, karena dari kanak-kanak dulu sampai sekarang kita lebih sering mendengar himbauan untuk gemar membaca, bukan gemar menulis. Tapi mudah-mudahan kita dibimbing untuk bisa mulai menuliskan hasil endapan ilmu yang kita peroleh di maiyah, untuk kita wariskan kepada anak cucu kita.
Sebagaimana pesan Mbah Nun pada Daur 33 – Untuk Anak-cucu dan Jape-methe:
“Tuliskan sesuatu, apa saja, tanpa syarat dan batas, untuk anak cucumu dan sesama jape-methe, sesama pembelajar di patangpuluhan. sekali lagi, tulisanmu itu untuk anak cucumu entah sampai turunan keberapa, serta untuk jape-methe.”