Tulisan Kasih Sayang dalam Lembaran Maiyahan

“Kalau bisa, apa yang Njenengan dapatkan (di Maiyah), Njenengan tulis.” Begitu kira-kira sepenggal kalimat yang masih terngiang semenjak PadhangmBulan 6 September lalu. Tentu anjuran tersebut bukan tanpa alasan. Anjuran ini juga bukan semata-mata untuk kebaikan beliau seorang (mohon maaf saya tidak ingat siapa waktu itu yang menyuarakan anjuran ini). Justru, waktu itu beliau menyatakan bahwa ini untuk kebaikan anak cucu kita nanti. Agar mereka tetap bisa mempelajari apa yang telah kita dapatkan saat ini, juga bisa meneruskan kebaikan laku yang telah kita jalani.
Panenan Kasih Sayang
Berbicara tentang tulisan yang mengandung pesan untuk dibaca, kalau boleh berpendapat, bagi saya tulisan di sini tidak hanya sekadar tentang deretan kata yang terangkai menjadi kalimat bermakna. Lebih dari itu, tulisan di sini juga bisa mewujud menjadi tingkah laku kita. Apa yang kita dapatkan, kebaikan-kebaikan yang kita petik di Maiyah ini bisa kita tulis kembali, baik melalui deretan kata maupun tingkah laku kita. Agar siapapun saja yang mau, bisa turut belajar membaca tulisan-tulisan Maiyah ini.
Tentu adanya tulisan-tulisan tersebut bukan berarti kita ingin mencekoki orang lain dengan Maiyah. Ini bukan pula bermaksud menonjol-nonjolkan Maiyah. Karena Maiyah telah kita simpan rapat-rapat di dapur pribadi kita. Sedang yang kita suguhkan adalah hidangannya. Ya, ini hanya sebagai wujud syukur, berbagi hidangan keindahan dan kebaikan yang kita dapatkan. Karena segala hidangan ini terlalu indah jika kita nikmati sendirian.
Lamat-lamat, saya pun mencoba melihat sekitar. Yaumul marhamah, malam penuh kasih sayang, yang menjadi tema PadhangmBulan kala itu begitu sangat terasa. Saya pun larut dalam suasana penuh kasih sayang ini. Semua berasa sangat indah. Bahkan, sekadar ucapan “Matur suwun”, penjual kopi pun terdengar sangat indah.
Meskipun duduk di tengah-tengah kerumunan orang yang masih belum saling mengenal saat Maiyahan, tapi rasanya jamaah sudah saling mengenal. Tanpa komando, mereka saling memberi rasa aman dan mengupayakan keselamatan satu sama lain.
Suatu ketika saya melihat ada dompet jatuh, juga uang jatuh di depan salah seorang jamaah. Tak ada yang melihatnya kala itu, karena semua pasang mata sedang fokus dengan yang di depan sana. Mendapatkan kesempatan seperti itu, alih-alih ia mengambil dompet dan uang itu untuk dimasukkan ke kantongnya, malah ia kasihkan ke sang empunya yang duduk membelakanginya. Ada juga yang tiba-tiba memberikan pinjaman jas hujan kepada jamaah yang belum ia kenal sama sekali sebelumnya, membantu jamaah lain yang tiba-tiba ban sepeda motornya bocor saat mau pulang Maiyahan, dan masih banyak lagi dongeng-dongeng lainnya. Yang jelas, tidak sedikit persinggungan-persinggungan antarjamaah, baik saat Maiyahan maupun di luar Maiyahan yang sejurus kemudian membuat saya mbatin, “Merekalah orang-orang yang berusaha saling mengamankan dan mengupayakan keselamatan satu sama lain.”
Ilmu Pawang
Bukankah ini suatu pemandangan yang unik. Saat di luar sana tidak sedikit yang dihujani dengan undang-undang dan seabrek peraturan-peraturan, dan justru tidak sedikit pula yang mencoba menerjangnya, jamaah Maiyah di sini justru dibebaskan sebebas-bebasnya. Tidak ada aturan sama sekali di sini. Akan tetapi, nyatanya ini tak membuat jamaah brutal. Mereka justru saling mengikat di tengah-tengah kebebasan yang diberikan.
Pemandangan kebebasan ini seolah menggambarkan pengamalan dari ungkapan “Meninggalkan madharat lebih baik daripada mengambil manfaat”. Ketika menghadapi suatu hal dan sesuatu itu mengandung madharat di samping manfaat, meninggalkannya dengan dalih menghindari madharat jauh lebih baik daripada tetap memaksakan guna mengambil manfaatnya itu.
Hukum, peraturan memang ada manfaatnya. Akan tetapi juga tetap ada madharatnya. Ia bagaikan pisau tajam. Ia bisa sangat berguna untuk membantu memotong, menyembelih, mengolah makanan, dan lain sebagainya. Akan tetapi, jika kita tidak berhati-hati menggunakannya, ia bisa saja menjelma menjadi alat yang sangat berbahaya. Ia bisa melukai, bahkan bisa sampai membunuh. Pertanyaannya, jika kita masih belum begitu ahli menggunakannya, lebih baik mana, kita memproduksi hukum sebanyak-banyaknya, memproduksi ‘pisau’ tersebut sebanyak-banyaknya, ataukah menghentikan total pemproduksiannya tersebut.
Tunggu dulu. Tidak ahli menggunakan hukum bagaimana maksudnya? Mohon maaf, bukan bermaksud memberikan stempel ahli ataupun tidak ahli kepada siapapun. Untuk lebih baik dan jelasnya, coba kita pelajari bersama-sama saja.
Sekarang coba kita tengok, betapa tidak sedikitnya aturan-aturan, hukum, undang-undang yang diberlakukan di sekitar kita. Tidak sedikit dari kita yang tahu, tapi tidak sedikit pula yang terkadang abai akannya. Selain itu, terkadang hukum itu dipaksakan dipukul rata. Jika ada seseorang atau suatu wilayah yang terjadi kasus, tiba-tiba diberlakukan hukum secara menyeluruh.
Coba bayangkan, bagaimana perasaan anda jika teman anda ketahuan menyontek dan tiba-tiba anda juga kena imbasnya. Anda selalu dicurigai dan selalu diawasi. Saya jadi teringat waktu masih kecil, saat mbeling-mbelingnya saya. Kala itu, ada suatu kesalahan yang diperbuat teman saya. Lalu saya yang dituduh melakukannya. Saya pun memberontak sambil mengancam, “Kalau saya dituduh nakal, saya nakal beneran kapok”. Meskipun sebenarnya, saya juga masih takut kalau disuruh nakal beneran waktu itu. Artinya, bukan tidak mungkin jika orang yang tidak tahu apa-apa, kemudian diberikan aturan-aturan yang mengekangnya, selalu dicurigai seperti itu, kemudian orang tersebut justru benar-benar melakukan yang dilarang itu.
Dan untungnya, di Maiyah tidak seperti itu. Kita diajarkan untuk mendahulukan kasih sayang. Kita diajari oleh para ‘pawang’ untuk kemudian sedikit demi sedikit belajar menjadi ‘pawang’. Para Marja’ Maiyah bagaikan pawang. Beliau-beliau tahu bagaimana memperlakukan dan menggiring para jamaah untuk sama-sama sinau bareng mencari kebenaran, kebaikan, dan keindahan sejati, tanpa harus mendahulukan kekerasan sama sekali.
Coba lihat bagaimana para pawang itu menjinakkan ular dan hewan-hewan lainnya. Apakah mereka menggunakan kekerasan? Tidak, bukan? Mereka mencoba menuruti dan mengikuti ke arah mana si hewan ingin pergi. Sembari pelan-pelan dijinakkan, dan tanpa sadar si hewan sudah jatuh dipelukan sang pawang.
Para pawang mengerti akan kondisi dan situasi yang dipawangi. Mereka mendahulukan kasih sayang dalam melayani. Dan inilah yang diajarkan kepada kita di sini. Kita diajarkan untuk melihat segala sesuatu dari berbagai sisi. Tidak terburu-buru menilai dan memutuskan sesuatu hanya dari satu sisi. Lalu berusaha mendahulukan kasih sayang dalam melayani dan menangani.
Lagi-lagi, ini hanyalah bagian kecil dari tulisan kasih sayang yang bisa kita jumpai dalam lembaran-lembaran Maiyahan ini. Semoga kita terus bisa mencari dan mempelajari. Hingga ini bisa menjadi bahan kita untuk pelan-pelan mempelajari keutuhan kitab silmi.