Tujuh Keberuntungan
Setiap kali keadaan dunia menyeretku untuk berputus asa, kuingat Abu Amamah Al-Bahill yang menyampaikan kabar dari Baginda Muhammad yang membesarkan hati ummatnya: “Beruntunglah orang yang pernah melihatku dan ia beriman kepadaku, dan beruntunglah, beruntunglah, beruntunglah, beruntunglah, beruntunglah, beruntunglah, beruntunglah, bagi orang yang tidak pernah melihatku, namun ia beriman kepadaku.” [1] (HR Ahmad dan Bukhari).
Tujuh kali lipat keberuntungan. Terhampar tujuh Iqra`. Bagi kita yang hidup tidak bersama dan di masa beliau. Sedangkan bagi para Sahabat yang penuh kemuliaan dan Kaum Muslimin yang berkomunitas dengan beliau di Mekkah dan Madinah, hanya satu keberuntungan.
Itu bisa semacam retorika komunikasi, diplomasi psikologis, tapi bisa juga logika sejarah dan dialektika sosial kebudayaan. Tidak bisa dibantah bahwa masyarakat yang paling berbahagia dalam sejarah ummat manusia adalah yang ditakdirkan Allah hidup di masa Muhammad dan berinteraksi langsung dengan beliau sehari-hari. Semua Kaum Muslimin mendambakan nuansa kehidupan di mana mereka bisa merasakan langsung perilaku lemah lembut beliau, tutur kata santun, kerendahan hati, kejelataan dan kesederhanaan sikap, kematangan dan kemuliaan setiap pengambilan keputusan beliau untuk masyarakat.
Tetapi masyarakat yang hidup di lingkungan yang subur durian, pada akhirnya tidak memiliki kebutuhan, penghormatan, dan kerinduan terhadap nikmatnya durian. Berbeda dengan masyarakat yang jauh dari durian, mereka selalu mengalami rasa ingin durian, rasa butuh durian, menjunjung kenikmatan durian, dan meletakkan harga durian di tingkat yang tinggi. “Sawang sinawang”, demikian Iqra` orang Jawa.