Tuhan Yang Maha Pasif
Generasi Toling Junit dan teman-temannya merasa memperoleh keunikan berpikir tatkala mendengar dari para Pakde pernyataan Mbah Sot:
“Potensi rakus dan dendam mungkin sama besarnya di dalam jiwa setiap orang. Kerakusan dan dendam itu sendiri mungkin sebenarnya berasal atau berakar pada satu potensialitas negatif dalam psikologi manusia”
Kalau teksnya hanya sampai di situ, benar-benar tidak mudah untuk memahaminya. Seintelektual apapun seseorang tidak segera mampu menempatkan konteks itu dalam peta kejiwaan manusia. Tapi untung kemudian Pakde Tarmihim melanjutkan dengan informasi yang akan lebih empirik.
“Kalau berada di ruang kebaikan, manusia langsung bangkit kerakusannya terhadap pahala, yang berpuncak di surga. Kalau manusia melihat keburukan, yang bangkit adalah dendamnya kepada keburukan itu, serta kepada yang berbuat buruk. Kerakusan dan dendam itu membuat manusia tergesa-gesa mentalnya, tidak bisa tenang dalam keheningan ruang dan mengikuti irama waktu”.
“Artinya ia kehilangan kejernihan ilmu, kehilangan kesabaran terhadap kebenaran Allah. Karena dipenjara oleh nafsu kerakusan terhadap perolehan pahala, serta dibakar dendam yang membuatnya ingin Tuhan menyegerakan adzab. Bahkan diam-diam ia berasumsi bahwa adzab itu tak akan pernah terjadi kalau ia tidak memohonnya kepada Tuhan”
“Seolah-olah Allah adalah Tuhan Yang Maha Pasif, sehingga harus didorong-dorong, dirangsang-rangsang, bahkan terkadang seperti diperintah oleh kemauan manusia. Padahal Allah itu ‘Maha Penguasa Hari Pembalasan’ [1] (Al-Fatihah: 4). Mereka terus mendesak: ‘Kapan Hari Pembalasan itu tiba?’ [2] (Adz-Dzariyat: 12). Lantas karena berputus asa atas irama Tuhan, manusia terjebak untuk menyangka bahkan meyakini bahwa Hari Pembalasan adalah Hari Kiamat”.