Tuhan Sebagai Pelengkap Penderita
Pada edisi kesepuluh saya akan paksa khatamkan tulisan ini. Sekadar sebagai laporan pengabdian kepada yang menugasi saya menjadi rakyat kecil di Indonesia yang besar. Asalkan Beliau tidak memurkai saya, cukuplah sudah darma dan ibadat hidup saya.
Adapun bangsa Indonesia, udah pada gedè, wis gerang-gerang. Bangsa besar ini, dengan seluruh perangkat sejarahnya, sudah sangat dewasa dan matang untuk tepat melangkah ke masa depan. Saya merdeka untuk kembali masuk hutan dengan hati tenteram. Karena bangsa ini sudah tenang, sudah mencapai toto tentrem kerto raharjo, gemah ripah loh jinawi. Sudah baldatun thayyibatun, dan toh tidak terlalu penting apakah Robbun Ghofur atau tidak.
Sejauh ini telah saya kuak-kuak sejumlah pintu di masa silam. Ah, tetapi semua itu terlalu jauh ke belakang. Memangnya ada yang merasa perlu tahu tentang masa silam? Apakah pernah ada gejala bahwa Indonesia membutuhkan belajar kepada masa silam? Seberapa jauh rentang ke masa lampau yang diperlukan oleh Indonesia hari ini untuk lompatan terjauhnya ke masa depan? Agar NKRI tahu dirinya, perlukah anak-anak bangsa mempelajari era Salakanagara, Keritang, Kanjuruhan, Nan Sarunai, Mengwi, atau sekadar Mataram Islam kemarin sore? Apakah rakyat Ngayogyakartahadiningrat yang kemarin gaduh antara Buwono dengan Bawono, mengerti berapa dan apa saja buku acuan konstitusi Kesultanannya?
Apakah Presiden dan para Menteri perlu tahu Kerajaan besar Sriwijaya atau Majapahit dulu sistemnya Kesatuan ataukah Persemakmuran? Apakah Tanjung Puri, Mandar, Gowa, Dipa dan Daha adalah Kerajaan Otoriter, Pemerintahan Monarki, ataukah Koalisi Perdikan-perdikan? Apa Mensos dan Mendiknas perlu tahu apa itu Selapanan Kendi Emas yang diminum bergiliran di Trowulan? Kalau ada yang berpikir tentang Negara Persemakmuran Indonesia, kita tegur: Negara Kesatuan saja berhasil dipecah belah, apalagi kita memecah belah diri kita sendiri dengan Persemakmuran. Kita tidak semakin tahu akan melangkah ke mana dalam sejarah.
Pada pemerintahan ratusan Kerajaan di Nusantara kemarin-kemarin itu apakah dipilah antara Kepala Negara dengan Kepala Pemerintahan? Apakah berbeda antara Bendahara Negara dengan Kasir Pemerintahan di kantor Kementerian Keuangan? Supaya kita bisa belajar memastikan KPK, KY, MK dan sejumlah institusi lain itu Lembaga Pemerintah ataukah Lembaga Negara? Ketua KPK dilantik oleh Kepala Negara atau oleh Kepala Pemerintahan? Siapa yang paling harus diawasi oleh KPK? Kepala Negara ataukah Kepala Pemerintahan? Bagaimana mungkin dia mengawasi pihak yang melantiknya?
ASN itu pekerja Negara atau karyawan Pemerintah? Apa perbedaan konstitusional antara ASN dengan ASP? Apakah ASN di Kantor Kabupaten adalah bawahannya Bupati? Apakah mereka harus taat kepada Undang-undang Negara ataukah kepada Bupati? Apakah rakyat itu bawahannya Pemerintah, ataukah pemilik tanah air dan Negara? Kenapa para Bos Indonesia ini mengemis-ngemis kepada karyawan-karyawannya yang mereka upah? Kenapa rakyat membungkuk-bungkuk di hadapan buruh yang diupahnya, seperti bersujud-sujud kepada Tuhan agar dilimpahi rejeki?
Terserah apapun, yang penting NKRI Harga Mati. Tapi bertanyalah kepada anak-anak di Sekolah, mahasiswa di kampus, penjual makanan di jalanan, para direktur di kantor, para pejabat di pendopo, atau siapa saja: Apa maksudnya NKRI Harga Mati? Sadumuk bathuk senyari bumi? Tanah menghampar, gedung-gedung menjulang, hutan dan kebun mencakrawala, modal dan uang berputar-putar, maju makmur sejahtera “tapi bukan kami punya” kata Leo Kristi Imam Sukarno? Anak cucuku generasi milenial, berhimpunlah, susunlah peta data, bagan, grafik dan statistik NKRI Harga Mati.
Ah, alangkah bising. Betapa gaduh NKRI. Orde Lama itu baik atau terkutuk? Pertanyaan ini sangat berdekatan atau mungkin sama dengan pertanyaan: Bung Karno itu baik atau terkutuk? Orde Baru itu positif atau negatif? Pak Harto itu Pengkhianat Bangsa atau Bapak Pembangunan? Kemudian Reformasi: makhluk apa dan beralamat di mana sebenarnya? Ia rombongan Malaikat atau gerombolan Iblis? Pak Harto lengser ataukah dilengserkan? Turun atau diturunkan? Dia ikhlas mundur atau dipaksa mundur? Kalau ikhlas, kenapa dan bagaimana bisa? Kalau dipaksa mundur, siapa dan apa yang memaksanya? Kemudian Habibie, Gus Dur, Mega, SBY dan yang sekarang: bagaimana sebenarnya kita menggambarnya berdasarkan nilai ilmu sejarah, teori kebangsaan dan manajemen kenegaraan?
Kalau sorga bercampur aduk dengan neraka, bagaimana cara menempuh perjalanan dan menggapai arah cita-cita? Siang malam lalat-lalat dan nyamuk-nyamuk beterbangan mengitari kepala dan badan kita. Hari ini saja berapa ratus hoax lalu lalang di medsos. Pun di media massa, seberapa jauh berita-beritanya bukan hoax, kalau kualifikasinya diperketat secara prinsip fakta dan etika jurnalisme? Dan kalau saya lapor ke Anda bahwa itu dan itu adalah hoax, atas dasar apa Anda percaya bahwa informasi saya itu sendiri bukan hoax?
Apa pedomannya, siapa marja’nya atau institusi mana pusat acuan kebenaran untuk memastikan satu huruf itu hoax atau bukan hoax? Pemerintah? Kementerian Kominfo? Bagaimana kalau kriteria mereka tentang hoax adalah segala sesuatu yang merugikan mereka, yang tidak sejalan dengan kepentingan mereka? Kepada siapa kita bertanya sesuatu itu dusta atau jujur? Kepada Nabi Ibrahim, Nabi Musa, Nabi Isa dan Nabi Muhammad? Di mana alamat kantor dan rumah beliau-beliau?
Atau kepada Malaikat Isrofil? Yang suka tiup-tiup terompet kasih-kasih kabar kepada manusia? Coba tanya ke Pusat Informasi di Lembaga-lembaga Pemerintah, Universitas, Ormas, atau Kantor Intelijen: apakah ada lembar atau file database tentang Malaikat? Atau baiknya ke Tuhan langsung? Bagaimana caranya berkomunikasi dengan Tuhan? Pakai Bahasa apa? Bagaimana prosedur dan upacaranya? Coba tanya langsung kepada Presiden atau Ketua DPR: apakah Tuhan benar-benar ada? Kalau ada, Tuhan itu Maha Kepala Negara yang mengatur langkah kita, ataukah Tuhan adalah anak buah kita yang harus patuh kepada kemauan dan konstitusi kita? Tuhan itu faktor primer, atau pelengkap penderita?
Betapa teguh iman bangsa Indonesia. Semua berdiri tegap, melangkah berderap ke depan dengan mantap. Tak ada kecemasan apapun di wajah mereka. Indonesia semakin bangkit dan sejahtera. Tak masalah bahwa itu semua bukan lagi milik mereka, yang penting memperoleh cipratan-cipratannya.