Tuhan di Bilik Terpencil
Mbah Sot sangat takjub kepada akal dan logika Nabi Isa:
“Maha Suci Engkau, tidaklah patut bagiku mengatakan apa yang bukan hakku. Jika aku pernah mengatakan maka tentulah Engkau mengetahui apa yang ada pada diriku dan aku tidak mengetahui apa yang ada pada diri Engkau. Sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui perkara yang ghaib” [1] (Al-Maidah: 116).
Tetapi ummat manusia di seantero permukaan bumi, sanggup menafikan perbincangan antara Tuhan dengan hamba-Nya yang Ia Nabi-kan itu. Kesanggupan untuk menggunakan akal yang aneh itu justru ketika ummat manusia merasa dirinya berada pada era Peradaban paling rasional dibanding era-era lain dalam sejarah ummat manusia sejak Bapak Adam.
Penduduk bumi meyakini bahwa kurun hingga abad 21 ini adalah rentang panjang kemajuan manusia, yang melebihi pencapaian kemajuan era manapun dalam sejarah. Sampai ke kemewahan nilai dan sistem yang misalnya disebut Demokrasi. Sedemikian majunya penduduk bumi saat ini sehingga kedudukan Demokrasi mengatasi kedudukan Tuhan pada sistem nilai di alam pikiran mereka. Sampai-sampai mereka memproklamasikan apa yang disebut Sekulerisme, yang secara sangat tegas dan keras memilah urusan manusia dengan urusan Tuhan. Memisahkan bumi dari langit. Memagari wilayah Agama dan Ketuhanan dengan urusan Negara dan Kebudayaan.
Dan itu diikuti oleh hampir semua penyembah Tuhan dan pemeluk Agama. Penduduk bumi menyembunyikan Tuhan di bilik-bilik terpencil, di pojokan konteks, di relung hati kecil. Kalau kata Tuhan muncul di mulut mereka, yang dimaksud adalah Tuhan dalam konsep Sekularisme.