Tuhan dalam Undang-undang
“Masyarakat menyebut-Mu dalam sujudnya, bahkan mencantumkan-Mu dalam filosofi dan undang-undangnya, namun meyakini bahwa tidaklah relevan dan proporsional untuk meletakkan-Nya sebagai faktor primer dalam rapat-rapatnya, dalam musyawarah pembangunan Negaranya. Aku berlindung kepada-Mu dari kelalaian yang memalukan hakikat kemakhlukan manusia itu, terlebih lagi tingkat ahsanu-taqwimnya. Wahai Maha Penuntun, letakkan aku di bagian dari jalanan-jalanan menuju-Mu yang memungkinkan aku ditimpa kelalaian ber-Iqra`”
“Dengan segala ketidakberdayaan hakikat dan wujudku, berilah aku tanda-tanda bahwa aku tidak berada di dalam golongan orang yang Engkau sesatkan. “Demikianlah Allah membiarkan sesat orang-orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan tidak ada yang mengetahui tentara Tuhanmu melainkan Dia sendiri. Dan Saqar itu tiada lain hanyalah peringatan bagi manusia”. [1] (Al-Mudatstsir: 31)
“Tiap saat aku berpapasan dan berada dalam kerumunan sejuta wajah, yang aku tidak pernah benar-benar tahu yang mana wajah para Malaikat-Mu dan mana wajah Iblis dan Setan yang begitu canggih menjalani perjanjian dengan-Mu untuk menggelincirkan langkahku. Aku tak pernah matang penglihatan dalam mengamati mana prajurit-prajurit Malaikat-Mu dan mana anggota-anggota pasukan Iblis-Mu, yang sangat tekun dan teliti mencari dan menemukan bukti kebenaran hipotesisnya bahwa manusia adalah makhluk perusak bumi dan penumpah darah sesamanya”
“Demi penantian rindu-Mu kepada para pecinta-Mu, aku memohon kepercayaan-Mu bahwa tak pernah aku memisahkan-Mu dari alam, dunia, Negara, dan apapun saja. Tak pernah aku tak menemukan-Mu di setiap sapuan angin yang menerbangkan debu. Aku tak hanya menerapkan-Mu dalam undang-undang kehidupanku: aku bahkan selalu bersetia berada di dalam Undang-undang-Mu”.