CakNun.com

Tugas yang Mulia

Muhammadona Setiawan
Waktu baca ± 4 menit

Alhamdulillah, Sabtu lalu (9/9) di hadapan bapak mertua, penghulu dari KUA, rekan, sahabat serta keluarga dekat, saya berhasil melafalkan kalimat akad dengan benar dan lancar. Itulah kali pertama saya merasakan dag dig dug luar biasa. Biasanya ngomong di depan banyak orang tidak grogi. Tetapi kemarin lain. Canggungnya bikin sesak dada, mulut rasanya berat untuk berkata-kata. Akhirnya dengan diawali Bismillah, lisan ini mengucap jelas dan tegas :

“Saya terima, nikah dan kawin-nya Barokah Nur Fitriani putri Bapak dengan mas kawin tersebut, saya bayar TUNAI”.

“Saaah…?”, tanya sang penghulu.

“Saaaahhhhh…”, jawab seluruh saksi.

Alhamdulillahirobbil’alamin.

Kini saya telah resmi melepas status lajang. Dan memiliki peran baru yaitu menjadi suami. Sekaligus sebagai kepala rumah tangga. Menjadi pemimpin keluarga. Ahh, rasanya seperti mimpi. Belum sepenuhnya yakin kalau telah beristri. Bahkan sampai sekarang, kadang percaya ndak percaya kalau saya telah mempunyai teman tidur di malam hari.

Laki-laki di dalam keluarga ialah leader. Pihak utama yang menjadi teladan juga panutan. Imam bagi istri dan anak-anak kelak. Baik-buruk kehidupan rumah tangga menjadi tanggung jawab penuh seorang suami. Pertanyaan-nya sekarang adalah: kalau istri bermakmum kepada suami, lalu suami bermakmum kepada siapa?”

Tiba-tiba pertanyaan tersebut melintas dalam benak begitu saja. Saya berpikir keras dan coba mencari apa jawaban dari pertanyaan di atas. Merenung, membaca, mengamati, meresapi, sampai akhirnya kembali. Kembali untuk menyimak ungkapan, wejangan, nasihat atau ular-ular dari Simbah guru saya.

Saya bukan panutan siapapun. Kita makhluk yang berbeda, meskipun sama sangkan-parannya. Kita hewan yang berbeda, daun yang tidak sama, wajah yang beragam-ragam pengalamannya. Satu-satunya yang rasional untuk kita jadikan panutan dan kita ikuti, adalah makhluk paling senior ciptaan Allah, yang hakiki wujudnya berada di wilayah sangat hulu, ialah Kanjeng Nabi kita Muhammad. Kalian semua dan saya berposisi sama: yakni berbaris menjadi makmum beliau...” — Daur 242Pemimpin Keluarga-keluarga.

Senada dengan apa yang di-ular-ular-kan oleh Mbah Sot bahwa yang layak dan patut menjadi panutan (uswatun khasanah) seorang laki-laki sekaligus suami tidak lain ialah Kanjeng Baginda Nabi. Rasul ialah laki-laki paling mulia. Rasul ialah suami paling siaga. Dan Rasul juga seorang ayah yang penyayang kepada seluruh anggota keluarganya. Rasulullah Muhammad Saw adalah rujukan pertama bagi seorang suami (imam) dalam membina rumah tangga.

Kisah romantis kehidupan keluarga Nabi dapat kita tiru dan praktekkan dalam kehidupan nyata kita sehari-hari. Dari hal yang ringan sampai yang mendalam. Ada sebuah riwayat menceritakan bahwa ketika usai sholat atau saat Nabi hendak pergi ke Masjid dalam keadaan suci, tak segan beliau mencium kening sang istri. Dan beliau tidak mengulangi wudlunya. Saya pun jadi ikut-ikutan. Bahkan berani berimprovisasi. Maksudnya begini: ketika saya dan istri shalat berjamaah di rumah, dan usai mengucap salam, istri pun mencium punggung telapak tangan kanan saya sebagai bentuk penghormatan. Kemudian saya balas dengan kecupan di tujuh bagian wajah sebagai wujud pengayoman: kening, pelupuk mata kanan, pelupuk mata kiri, hidung, pipi kanan, pipi kiri, dan bibir.

Kenapa mesti tujuh tempat? Apa alasannya? Apa ada tuntunannya? Maaf, buat saya tidak perlu harus ada alasan atau tuntunan untuk melakukan-nya. Yang demikian hanya sekedar eksperimen kecil versi saya sendiri dan sedikit menggunakan ilmu othak-athik gathuk. Al-Fatihah itu terdiri dari tujuh ayat, dan bagian wajah perempuan yang nampak ketika mengenakan kerudung atau mukena ada tujuh bagian. Mulai dari kening, sepasang mata, pipi kanan-kiri, hidung dan juga bibir. Itulah alasan saya mencium tujuh bagian pada wajah sang istri.

Saya baca per ayat dari surah Al-Fatihah baru disusul dengan kecupan. Urutannya: Bismillahirahmannirahim – kemudian mencium kening. Alhamdulillahirabbil’alamin – mencium pelupuk mata kanan dan seterusnya hingga selesai pada kata amin, berakhir di bagian bibir. Hal itu saya lakukan dalam rangka mendoakan untuk kebaikan istri berikut luapan syukur kepada Tuhan Yang Esa karena telah dianugerahi perhiasan paling indah sedunia.

Markesot mengemukakan bahwa menurut pendalaman permenungan yang ia lakukan selama ini, salah satu pertahanan bangsa Indonesia dari amarah Allah adalah karena kesungguh-sungguhan mereka dalam berkeluarga dan membangun rumah tangga. Mereka mungkin munafik dalam menjalankan Negara dan Pemerintahan, mungkin lamis dalam kehidupan bermasyarakat, serta hipokrit di area manifestasi nilai-nilai rohani dan kebudayaan. Tetapi rata-rata mereka sangat serius, mendalam, sungguh-sungguh dan khusyu’ dalam hal berkeluarga dan berumah tangga.” — Daur 242 – Pemimpin Keluarga-Keluarga)

Pernah pula saya dengar satu kisah di mana setiap ada orang yang mau menikah, maka yang namanya Iblis itu akan marah dan murka. Mereka (Iblis dkk) ndak rela melihat anak keturunan Adam membangun keluarga. Mereka tidak senang melihat laki-laki dan perempuan bersatu dalam ikatan suci pernikahan. Mereka jengkel, mereka mangkel, gondhok dan berupaya keras bagaimana caranya agar pernikahan manusia itu gagal. Batal dan urung dilaksanakan. Mereka melempar fitnah, menyebar caci-maki, iri-dengki dan menebar aroma kebencian. Iblis beserta bala tentaranya mengadu domba pihak sini dengan pihak sana. Mereka membisiki kejahatan melalui dada manusia (allazii yuwaswisu fii shuduurin-naas).

Maka salah satu cara untuk melawan godaan dan juga perlawanan Iblis adalah dengan cara melangsungkan pernikahan. Kalau saya atau anda saat ini sudah menikah, itu artinya kita telah menutup 99 persen celah pintu maksiat. Menikah mampu menjaga pandangan kita. Menikah dapat meminimalisir peluang-peluang kita untuk berbuat zina dan dosa. Dengan serius, mendalam, sungguh-sungguh, khusyuk dalam hal berkeluarga dan berumah tangga, maka kita telah berani mendesak para iblis jahanam, setan gentayangan, tuyul gundul untuk mau tidak mau mengibarkan bendera putih di hadapan kita.

Sedangkan kaum muda generasi Junit Toling Jitul, dijajagi Markesot dan temannya, baik anak-anak muda di kalangan persekolahan dan pesantren, dunia usaha, aktivis olahraga, atau apapun wilayah kegiatan mereka — kalau ditanya apa motivasi pembelajaran dan kerja keras mereka, jawabannya sama persis: “Untuk membahagiakan Ibu, Bapak dan keluarga saya”. — Daur 242 –  Pemimpin Keluarga-Keluarga

Alhamdulillah, kini saya telah resmi menjadi suami, menjadi kepala rumah tangga, pemimpin keluarga. Kalau ditanya apa motivasi anda menikah? Maka dengan lugu saya akan jawab: “Saya tidak punya motivasi apapun dalam menikah. Saya hanya ndherek kersane Gusti Allah dan nerokke sunnahe Rasulullah.”

Barulah kalau ada yang tanya, apa tugas seorang pemimpin keluarga? Maka jawaban saya persis dengan generasi Junit Toling Jitul dan kaum muda lain-nya. Yaitu membahagiakan ibu, bapak, dan keluarga saya. Tapi jangan salah, itu tugas yang teramat mulia.

Sragen, 12 September 2017

Lainnya

Meng-Hakim-i Pluralisme

Meng-Hakim-i Pluralisme

Meng-Hakim-i bukan menghakimi, pluralisme bukan pluralitasnya. Meng-Hakim-i maksudnya di sini adalah menempatkan kesadaran Al-Hakim kepada objek yang sedang kita bedah bersama.

Muhammad Zuriat Fadil
M.Z. Fadil