CakNun.com

Tugas Kita Mencari, Bukan Menemukan

Fahmi Agustian
Waktu baca ± 3 menit

Dalam forum Kenduri Cinta edisi Mei lalu, Cak Nun kurang lebih mengungkapkan, “Manusia tidak punya kemampuan untuk menangkap dan menerima kebenaran Allah. Manusia sangat rendah software-nya untuk mengakses kebenaran sejati dari Allah”.

Bagi saya, apa yang disampaikan Cak Nun ini merupakan sebuah peringatan bahwa tidak secuil pun manusia berhak merasa sombong telah memahami kebenaran sejati. Bahwa pada faktanya hari ini, kebenaran yang diyakini, kemudian dipaksakan untuk diyakini pula oleh orang lain, sebenarnya hanyalah hasil ijtihad pribadi masing-masing. Tidak satu pun manusia berhak merasa paling mengetahui apa yang disebut dengan kebenaran sejati dari Allah itu.

Tafsir demi tafsir, pemahaman demi pemahaman, ijtihad demi ijtihad pada hakikatnya hanyalah usaha manusia, sebuah proses perjalanan manusia dalam rangka mencari kebenaran yang sejati. Bukankah yang ditagih oleh Allah adalah mencari, bukan menemukan? Sekali pun kita tidak pernah diperintah oleh Allah untuk menemukan kebenaran yang sejati, yang diperintahkan oleh Allah adalah kita mencari.

Adapun proses pencarian yang dilakukan setiap manusia tentu saja berbeda antara satu dengan yang lainnya. Ada banyak faktor mempengaruhi proses pencarian itu. Katakanlah hidup adalah sebuah perjalanan, ketika kita berangkat dari Yogyakarta menuju Jakarta, proses perjalanan yang dialami antara mereka yang naik pesawat terbang dan yang menaiki bus atau kereta api tentu tidak sama. Semuanya menuju ke satu tujuan yang sama, tetapi dari durasi perjalanannya saja sudah berbeda satu sama lain. Selain itu masing-masing jenis sarana yang digunakan memiliki risiko yang juga berbeda satu sama lain. Begitulah adanya proses pencarian manusia terhadap sebuah kebenaran. Dan meskipun pada akhirnya semua berhasil mencapai tujuan di titik yang sama, pada akhirnya masing-masing memiliki pengalaman yang berbeda juga antara satu dengan yang lainnya. Itulah proses.

Saya sendiri menggambarkan bahwa Hidayah itu seperti sebuah software. Dan saya meyakini bahwa Allah tidak pernah henti-hentinya menurunkan Hidayah-Nya untuk seluruh ummat manusia. Persoalannya, apakah hardware yang dimiliki manusia itu kompatibel dengan Hidayah yang diturunkan Allah?

Jika Anda memiliki perangkat komputer, Anda tidak akan sembarangan meng-install software di komputer yang anda miliki itu. Setiap software memiliki persyaratan spesifikasi hardware dan juga sistem operasi yang sudah tertanam lebih dahulu di komputer tersebut. Jika Anda memaksakan untuk meng-install software yang melebihi kapabilitas komputer Anda, akibatnya justru bisa membikin komputer Anda tidak stabil. Mungkin bisa ter-install, tetapi kinerjanya tentu tidak maksimal, bahkan pada titik tertentu justru bisa mengakibatkan komputer Anda crash.

Maka, yang seharusnya dilakukan manusia sebelum menangkap Hidayah dari Allah adalah meng-upgrade terlebih dahulu komponen-komponen baik hardware maupun software yang ada dalam dirinya. Derasnya arus informasi yang ada saat ini menjadikan manusia terlalu cepat memaksakan diri mengaplikasikan informasi yang baru didapatnya untuk dijadikan pijakan kebenaran yang ia yakini. Bahkan, pada tahap selanjutnya, belum sempat kebenaran itu benar-benar dipahami, sudah ia paksakan untuk juga diyakini oleh orang lain. Tidak mengherankan jika pada akhirnya kemudian kita melihat fakta hari ini sesama manusia saling berbenturan hanya karena mempertentangkan kebenarannya masing-masing di hadapan umum.

Dalam forum Kenduri Cinta yang lalu Cak Nun juga mengungkapkan pandangan bahwa Islam adalah sebuah tatanan sistem nilai yang sangat lengkap, yang karena begitu lengkapnya dan sempurnanya Islam, pada hakikatnya manusia tidak mampu menerapkan 100% Islam dalam kehidupan mereka. Kita sebagai manusia hanya mampu berusaha mengaplikasikan sebagian dari cipratan kesempuranaan Islam itu. Maka dalam beberapa Maiyahan terakhir, Cak Nun dan Cak Fuad menawarkan metode “Silmi”. Mengambil ayat; udkhuluu fii-s-silmi kaffah. Allah sendiri yang menyatakan bukan udkhuluu fii-l-islami kaffah. Bukan Islam, melainkan Silmi.

Begitulah Allah dengan sifat Ar-Rahman dan Ar Arahim mengasihi dan menyayangi kita sebagai makhluk ciptaan terbaiknya, ahsanu taqwiim. Allah tidak pernah memaksakan manusia melakukan sesuatu melebihi kapasitas dan kemampuannya; laa yukallifullaha nafsan illaa wus’ahaa. Dalam bahasa sehari-harinya, mungkin Allah ingin mengatakan kepada kita;” Sudahlah, lakukan semampumu, sekuat tenagamu, asalkan engkau paham dan mengerti bahwa hanya kepada-Ku engkau berharap”. Wa ilaa robbika farghob.

Begitu juga kita sebagai Jama’ah Maiyah, dalam setiap Maiyahan yang seharusnya kita kedepankan adalah pijakan sikap rendah hati, baik sebelum Maiyahan maupun sesudah Maiyahan. Sehingga, ketika kita bersentuhan dengan mereka yang berada di luar Maiyah, kita bersikap lemah lembut, rendah hati, tidak mempertontonkan kebenaran yang kita dapatkan di Maiyah. Bukankah Cak Nun sudah mengingatkan kita bahwa kebenaran cukup kita simpan di dapur saja, yang kita sajikan di etalase adalah kebaikan dan keindahan yang merupakan output dari kebenaran yang kita yakini itu.

Lainnya

Topik