Tinggal Satu Gerbang
Sepanjang aku dititipi tulisan, terus kuberikan kepada siapa saja yang mau. Tidak ada tujuan untuk “dimuat di media” sebagaimana dulu. Juga tidak dalam rangka “menjalani profesi sebagai penulis”. Hidupku nir-profesi.
Allah menganugerahkan kepadaku kehidupan yang sangat merdeka. Sehingga kewajiban utama hidupku adalah berupaya untuk selalu memerdekakan. Dunia, dengan semua kejadian di dalamnya, adalah arena utama pandanganku, tetapi bukan tujuan hidupku. Jadi aku memerdekakan dunia dan penghuninya untuk melakukan apa saja. Juga Indonesia.
Kucoba memahami bahwa ketidakmampuanku untuk berbuat apa-apa kepada Indonesia justru merupakan kemerdekaanku. Siapapun tidak berhak membebani atau menagih apapun kepada orang yang tidak mampu. Kalau aku tak sanggup memanggul sekuintal beras, maka aku tak bisa disalahkan kalau tak memanggulnya.
Apalagi cintaku kepada Indonesia, tidak tumbuh menjadi apa-apa. Kulakukan nasihat Al-Qur`an “tawashou bil-haq watawashou bis-shobr”, mensedekahi kebenaran dan kesabaran, produknya adalah “shummun bukmun ‘umyun”, tuli, buta, dan bisu. Tawaran perbaikan, solusi, perubahan, dan apapun, terbentur pada “fi qulubihim maradlun fazadahumululLahu maradla”, bersarang penyakit dalam hatinya dan Allah menambahkan penyakit itu. Awalnya itu menyedihkanku dalam memikirkannya, akhirnya memerdekakanku darinya.
Tak ada pilihan lain kecuali kutempuh jalanku sendiri. Kutempuh “sabil”, “syari’”, “thariq”, dan “shirath” sendiri, termasuk dengan kemerdekaan untuk tak perlu menjelaskan sistem-empat itu kepadanya. Kepada yang tak bertelinga, aku merdeka untuk tak berkata-kata. Kepada domba, cambuk pun tak kan kubawa. Revolusi, reformasi, restorasi, perubahan dengan metode apapun yang pernah dirumuskan oleh peradaban manusia – telah ratusan kali kuhisab dan kusimulasi kadar manfaat dan mudaratnya. Dan kuputuskan untuk kusimpan di laci.
Tinggal satu saja gerbangnya, tetapi aku merdeka untuk membiarkannya ditabiri rahasia. Tetapi sejarah adalah hujan amat deras, sehingga kemerdekaanku adalah berjuang menemukan sela-sela kosong di antara titik-titik air hujan. Sudah pasti tak bisa kuhindari untuk “basah kuyup” oleh hujan deras silang sengkarut Indonesia. Maka jalannya adalah “topo ngramé”: kutelusuri lorong sepi hidupku sendiri.
Begitu lahir dari Rahim Ibu dan menjadi bagian dari penduduk bumi, pekerjaan utamaku sebagai bayi adalah mempersiapkan diri untuk melakukan penelitian yang panjang. Penelitian atas diriku sendiri, atas dunia di mana aku “dicampakkan” dan atas seluruh kehidupan.
Meneliti, mengenali, mengidentifikasi, memilah, memahami, mengerti, mendalami, menyelami, menghayati, mencatati, dan mentekadi penuntasan ujian yang kujalani ini. “Outbond” sejenak di bumi. “Urip ming mampir ngombe”, hidup hanya minggir sebentar di Rest Area. Di rentang jalan tol melingkar dari Sorga ke Sorga. Dari kampung halamanku mudik ke kampung halamanku. Sangkan-ku Sorga, paran-ku Sorga. Inna lilLahi wa inna ilaiHi roji’un: itulah GBHN jalan hidupku.
Mungkin sangat panjang, atau justru pendek: Tuhan merahasiakan ketetapan-Nya atasku dan semua makhluk-Nya. Kutelusuri masa bayiku, kanak-kanakku, remajaku, dewasa dan tuaku, dengan hanya satu profesi: menjalani ujian dari-Nya. Tersedia untuk proses pembelajaran hidupku itu asisten-asisten di keluarga Ibu Bapakku, di TK, Sekolah, Universitas, dan banyak Asisten Dosen hidupku lainnya.
Bahkan sesudah kelas-kelas pendidikan itu di muka bumi telah disiapkan pula sangat banyak institusi untuk membantu manusia agar mencapai sukses dalam hidupnya. Sukses yang dimaksud adalah menjadi orang pintar, hebat, kaya, dan utamanya berkuasa: kalau perlu berkuasa atas sebanyak mungkin tanah, modal, uang, akses-akses. Manusia ditunggu oleh Bank, Perusahaan, Negara, Kementerian, serta berbagai perangkat lainnya – agar tidak tertinggal, tidak terbelakang, tidak inferior atau menjadi orang buangan yang digilas dan disingkirkan dari peradaban di bumi.
Namun selain Ibu, Bapak, dan keluarga, tak kupakai semua Lembaga-lembaga itu. Sejak sebelum Allah menjadwalku untuk melakukan perjanjian “AlasTu biRobbikum”, Ia memasang di dalam diriku “nurani” (dua cahaya, yang memancar dari-Nya dan memantul padaku), semacam chips dengan double bahkan multi-compatibilities. Dari berbagai arah semesta merasuk ke seluruh pori-pori, terutama melalui magnet listrik di atas ubun-ubunku, Allah mengirim petugas-petugas-Nya untuk merawat dan memelihara kemurnian dan kesehatan chips itu.
Mekanisme dua cahaya itu, yang menjaraki hidupku dengan Lembaga-lembaga Peradaban dan kependidikan di bumi, menginformasikan kepadaku bahwa ia menemukan Laboratorium yang menjagaku agar tidak berjalan melenceng dari As-Shirath Al-Mustaqim dan sangkan paran Inni lilLahi wa laHu wa inni roji’un ilaiHi. Maka sejak bayiku telah teraktivasi suatu sensor terhadap semua fakta dan gejala dunia, Negara, Agama yang dibendakan, kemakmuran yang tidak dirohanikan, serta rahmat yang tidak ditransformasikan menjadi barokah.
Dan itu membawaku ke jalan sunyi. Bukan beribu jalanan ramai riuh rendah yang hampir semua manusia sedang menjalani, berebut, berkejaran, mempersaingkan menang kalah di bumi.
Kujalani Transformasi Sulbi di Rahim Ibunda Chalimahku, Tuhan melakukan rekonfirmasi: “AlasTu biRobbikum?”. Bukankah Aku Pengasuhmu? Dan aku menjawab: “Balaa syahidna”, niscaya memang demikianlah, sepenuhnya aku bersaksi. Kemudian kudengar tangis jiwaku dari mulutku sendiri tatkala lahir.
Sampai hari ini belum ketemukan kenapa aku menangis. Mungkin sudah ada kepustakaannya. Tetapi belum kutemukan di semua buku, literasi, teks kurikulum, mata pelajaran, sekolah, fakultas dan universitas. Seolah tangis bayi itu bukan Ibu Ilmu, yang bisa menjadi acuan sangat dasar untuk menyusun bagan-bagan manajemen bagaimana manusia mengelola hidupnya.
Jakarta, 16 September 2017