CakNun.com

Tetralogi Daur: Masa Kini-Masa Depan-Masa Lalu

Hanifah Mustika Wati
Waktu baca ± 3 menit

Senin pagi, 12 Juni 2017, terbit artikel Terus Bersyukur dengan Mentadabburi Daur. Ternyata redaktur caknun.com mereview beberapa tadabbur daur. Di tengah-tengah bacaan ada pernyataan bahwa seri Daur akan diterbitkan berupa buku. Tidak tanggung-tanggung, tak hanya sebuah buku, tetapi tetralogi. Ini adalah kabar gembira.

Beberapa bulan lalu saat Daur 1 terbit setiap hari, saya membayangkan suatu saat akan ada sebuah buku yang merupakan versi cetak dari Daur. Kadang-kadang saya juga tidak terlalu berharap bahwa Daur akan diterbitkan. Apakah Daur ini akan menjadi sebuah buku atau tidak, itu tak masalah karena Mbah Nun sudah sangat berbaik hati menemani JM dan anak cucu berproses bersama dan melalui Daur. Ditambah lagi dengan adanya kesempatan untuk ber-tadabbur daur di rubrik Tadabur Daur.

Keunikan dari buku Daur yang hendak dilaunching ini telah tertuang dalam Perisa Tuhan. Tulisan itu juga mewakili perasaan saya. Belakangan ini, buku-buku agama yang beredar di pasaran cenderung menyarankan kita untuk menjual amal ibadah demi kepentingan sesaat, dan dipersempit lagi untuk kepentingan rezeki. Hal ini katanya “baik” sebagai motivasi ibadah, namun sebagian besar orang menerapkannya untuk kepentingan jangka pendek dan memandang bahwa beribadah tujuannya agar memperoleh rezeki, jodoh, anak, harta, segala materi duniawi saja.

Berbeda dengan buku-buku Mbah Nun yang membuat pembacanya selesai membaca satu buku ingin segera membaca buku Mbah Nun yang lain. Banyak pelajaran dan pemikiran kreatif dari setiap tulisan beliau. Saya sempat heran juga betapa buku itu diterbitkan lebih dari seperempat abad lalu, namun masih relevan dengan keadaan sekarang dan tidak terkesan jadul.

Salah satu yang terkenang menurut saya adalah buku-buku Mbah Nun selalu memberi kesempatan kepada kita untuk berada di zaman di mana buku itu ditulis pertama kali. Pada buku Markesot Bertutur Lagi: Bagaimana saya seperti memasuki zaman tahun 80-an dengan berbagai serba serbi kehidupan saat itu–kehidupan markesot dan teman-temannya di era orde baru, pemilu, kondisi sosial, ekonomi, kebudayaan, keagamaan, dan kesenian. Begitupun buku yang lain, sehingga dari buku-buku itulah saya seakan terseret dan benar-benar merasakan hidup saat zaman itu, namun muatannya tetap hidup pada zaman ini. Buku-buku tersebut membuat saya belajar menghargai pentingnya sejarah.

Selama hari-hari tayangnya Daur di caknun.com, ia menjadi rujukan saya ketika menilai carut-marut keadaan sekarang, kondisi ketidakseimbangan hidup, toksik-toksik berupa berita di berbagai media yang tidak jelas kebenarannya, semua diseimbangkan kembali dan ternetralisir oleh Daur. Daur bagi saya berfungsi sebagai filter informasi berbagai media lain.

Kembali ke soal sejarah, bagi kita yang membaca Daur tahun lalu, tahun ini maupun tahun depan mungkin itu berisi isu hangat dan kekinian. Namun bagi generasi anak cucu kita, itu adalah sejarah. Maka Tetralogi Daur ini tidak hanya bertujuan untuk membahas apa yang ada sekarang ini, tapi itu adalah warisan terbaik bagi anak cucu kita pada masa depan. Selama ini saya tak pernah peduli anak cucu, namun semenjak membaca buku-buku Mbah Nun, saya merasa mendapatkan warisan yang tak ternilai bagi generasi sekarang.

Begitu pula dengan Daur, anak cucu kita suatu saat nanti tak kehilangan rujukan. Mereka bisa mengetahui seperti apa kehidupan pada era ini.  Mungkin suatu saat nanti akan lebih baik kondisinya atau bagaimana, kita tak tahu. Dengan adanya Tetralogi Daur, kita dan anak cucu kita bisa bersyukur. 20-30 tahun lagi, anak cucu kita akan bersyukur karena dapat mengetahui dan belajar dari kondisi sekarang, sebagaimana generasi yang lahir pada tahun 80-90-an dapat membaca buku-buku Mbah Nun yang terbit tahun 80-90-an, serta belajar darinya.

Terima kasih Mbah Nun yang telah mengajarkan kami untuk tidak hanya berpikir tentang saat ini saja, tentang diri sendiri saja. Terima kasih telah mengajarkan bagaimana berterima kasih kepada generasi ayah ibu, kakek nenek kita, dan bagaimana menjaga dan berterima kasih kepada generasi anak-cucu kita.

Early Bird dan Petani Pioneer

Dan tentu saja Mbah Nun sudah sangat berbaik hati dengan memberikan kesempatan kepada anak cucu dan JM menjadi early bird Tetralogi Daur. Bagaimana tidak, sejak terbitnya Daur 1 – Dosaku Doaku kita sudah dipersilakan menikmatinya. Dan baru setahun setelahnya diterbitkan bukunya. Sungguh kenikmatan yang luar biasa bagi anak cucu dan JM untuk menjadi early bird Tetralogi Daur.

Petani pioneer. Kewajiban kita untuk terus nandur, merawat, dan memupuk yang disemaikan Mbak Nun. Beliau mendidik dan melatih kita cara bertadabbur, tidak hanya sekali, namun setiap saat, baik di acara tadabburan, di simpul-simpul Maiyah, di setiap tulisan Mbah Nun di caknun.com, dan sekaligus kesempatan untuk praktek langsung bertadabbur dengan menulis di Tadabbur Daur.

Kesempatan untuk mentadabburi Daur ini merupakan salah satu wahana untuk menjadi petani pionir. Disamping itu, anak cucu dan JM pasti bertadabbur setiap hari menurut cara yang paling sesuai dengan diri masing-masing. Kesempatan bertadabbur ini ibarat Mbah Nun menuntun anak cucu dan JM menaiki satu persatu anak tangga. Selain menuntun, Mbah Nun juga tak mengekang, dengan cara menanamkan Ajaran Kulit Mangga: memberikan pelok, bukan buah mangga yang sudah matang.

Selamat dan sukses atas launchingnya buku Tetralogi Daur, dan selamat kepada anak cucu dan JM yang menjadi saksi berkembangnya embrio dan lahirnya Tetralogi Daur.

Mojokerto, Romadhon 1438 H

Lainnya